Jumat 09 Dec 2016 16:00 WIB

'Kalau di Rumah Takut Runtuh'

Red:

Republika/Wihdan Hidayat      

 

 

 

 

 

 

 

 

Enam anak laki-laki tampak riang bermain di atas gerobak tak terpakai di ujung kompleks Pesantren Al Hijrah, Gampong Masjid Tuha, Meureudu, Pidie Jaya, Aceh. Raut wajah mereka tak menunjukkan ekspresi takut atau tertekan.

Antusiasme ditunjukkan saat Republika mendatangi mereka dan mengutarakan niat untuk berbincang. Memang, tak semua bocah usia 9-14 tahun tersebut pandai berbahasa Indonesia.

Namun, raut wajah dan bahasa tubuh mereka jelas menunjukkan sambutan hangat atas niat saya. "Selfie dulu Kak, selfie," teriak mereka bersahut-sahutan, minta difoto bersama.

Republika pun terpaksa mengangkat ponsel dan membidik kamera ke arah mereka. Sontak, mereka langsung saling merangkul dan mengangkat tangan dengan berbagai acungan jari.

Ada yang mengacungkan jempol, jari telunjuk dan tengah, tak ketinggalan acungan tiga jari, yang kerap digunakan para anak metal. Seusai melihat sejumlah foto hasil bidikan, kami mulai berbincang santai.

Mereka mengatakan mulai berada di posko pengungsian Pesantren Al Hijrah sejak hari pertama gempa pada Rabu (7/12) kemarin. Bocah-bocah ini pun mengaku menikmati tinggal sementara waktu di posko tersebut.

"Nginap di sini enak, ngerasa aman, nggak takut lagi sama gempa. Kalau di rumah takut runtuh rumahnya," kata Musyfil Ahzan (10 tahun), salah seorang anak, Kamis (8/12).

Siswa kelas 4 salah satu Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Meureudu ini pun justru mengaku senang berada di pengungsian. Di posko tersebut, dia bisa bertemu dan bermain tanpa batasan waktu dengan teman-temannya yang juga mengungsi di sana.

"Enak, jadi semangat, ngumpul sama kawan-kawan," ujar dia. Hal senada disampaikan Agni Maulana (12). Siswa kelas 6 salah satu SD di Meureudu ini mengaku justru senang bisa tidur di posko pengungsian.

"Mau tidur dag dig dug, takut kali. Tapi sekarang, udah nggak takut lagi karena tidur di luar," kata dia. Rekan mereka, Zulfahmi (14) memang mengalami sedikit ketakutan saat gempa terjadi. Namun, dia mengaku, tidak mengalami trauma atau rasa takut yang berlebih setelah kejadian tersebut.

"Cuma kalau di dalam rumah atau ruangan memang masih takut. Nggak tahulah kapan pulang ke rumahnya, tunggu berhenti dulu gempanya," kata Zulfahmi.

Saat kejadian, siswa kelas X salah satu SMA di Meureudu ini telah bangun dari tidurnya. Kala itu, dia sedang berada di ruang keluarga dan menonton televisi.

"Tiba-tiba, goyang terus mati lampu. Langsunglah lari keluar semua kami, ngumpul di masjid ini (masjid di depan posko Pesantren Al Hijrah)," ujar dia.

"Kencang kali, dahsyat gempa kemarin itu. Tanahnya sampai retak," kata Hafiz (11), rekan mereka, menyambung kalimat Zulfahmi.

Siswa kelas 5 di salah satu SD ini pun tiba-tiba bertanya kepada Republikaperihal kedatangan Presiden Jokowi ke posko pengungsian mereka. Pertanyaannya ini langsung memancing kalimat serupa bernada antusias dari teman-temannya yang lain.

"Jokowi kapan datang ke sini, Kak?", "Bawa oleh-oleh nggak?" tanya mereka dengan senyuman lebar.

"Senang kalilah, Kak, kalau Jokowi ke sini. Kami mau salim," kata Agni sambil sesekali melompat kecil. "Mau minta uang buat jajan," ujar Hafiz disambut gelak tawa teman-temannya yang lain.

Para bocah ini tak mempermasalahkan kondisi posko pengungsian yang ramai dan mengharuskan untuk berdesakan dengan keluarga lain. Mereka pun tidak terlalu mengeluh meski tidur di luar ruangan dengan dinginnya malam dan serbuan nyamuk.

"Emang dingin, tapi nggak apa-apalah. Maunya dikasih selimut, baju, makanan enak ke sini," kata Zulfahmi disambut anggukan tanda setuju dari teman-temannya.

Ibu Musyfil Ahzan, Nurlaila (31) saat ditemui Republika, mengklaim anaknya dan teman-temannya tidak terlihat trauma akibat gempa pada Rabu subuh kemarin.

"Alhamdulillah, mereka nggak trauma. Contohnya anak saya dari pagi main terus. Syukur Alhamdulillah. Kalau trauma pasti tampak stres, ini alhamdulillah biasa aja dia," kata Nurlaila.

Nurlaila mengatakan, meski tidak terlihat trauma, anak-anak yang berada di posko pengungsian tersebut masih takut untuk kembali dan tidur di rumah mereka. Hal ini juga terjadi pada ketiga anaknya.

"Senang kali mereka tidur di luar karena suka dingin kan. Untung nyamuk nggak seberapa. Pokoknya mereka kayak nggak peduli sama kejadian ini," ujar dia.

Nurlaila pun berharap, berbagai pihak dapat memberikan bantuan sejumlah kebutuhan bagi para pengungsi. "Yang penting makanan bergizi, selimut untuk tidur, susu untuk anak, pampers, roti untuk anak," katanya.

Pondok Ceria

Untuk merespons kebutuhan pengungsi anak korban gempa Aceh, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto bersama Kementerian Sosial (Kemensos) berencana, mendirikan Pondok Ceria atau trauma centre untuk memulihkan psikologis mereka. Ia menyebutkan, kegiatan pondok ceria, antara lain, mengajak anak-anak korban untuk bermain, melukis, dan bernyanyi sehingga bisa melupakan kehilangan orang tua atau sanak saudaranya.

Kegiatan tersebut, menurut Kak Seto, akan dilakukan berkesinambungan sampai selama proses pemulihan pascagempa berkekuatan 6,5 pada skala Richter (SR), Rabu (7/12) pagi. Kegiatan serupa pernah dilakukan oleh lembaganya pada musibah bencana tsunami Aceh dan gempa bumi Yogyakarta.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, membenarkan pendapat para pengungsi tersebut.

"Tenaga medis, khususnya ahli ortopedi, sangat banyak dibutuhkan. Sebab, banyak korban cedera dan patah tulang akibat tertimbun reruntuhan bangunan," ujarnya di kantor BNPB.

Para balita di pengungsian juga memerlukan bantuan bahan makanan pengganti ASI (MPASI). Kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak bagi pengungsi adalah bahan makanan, obat-obatan, vitamin, dan peralatan medis.

Selain itu, bantuan alat berat dan air bersih tetap dibutuhkan pengungsi. Saat ini sebanyak 3.267 orang mengungsi setelah guncangan gempa pada Rabu (7/12).

Warga ditampung di 13 titik pengungsian. Menurut Sutopo, pengungsi berasal dari Kabupaten Pidie Jaya (2.154 orang) dan Kabupaten Bireuen (1.113 orang).      Oleh Issha Harruma, Dian Erika Nugraheny/antara, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement