Jumat 09 Dec 2016 16:00 WIB

Time: Donald Trump, Presiden Amerika (tak) Serikat

Red:

Seperti layaknya edisi-edisi akhir tahun lainnya, sampul depan Time, majalah dari Amerika Serikat yang tersohor itu, menampilkan tokoh yang mereka anggap paling berpengaruh setahun belakangan. Kali ini, dilatari biru tua, seorang sosok pria paruh baya duduk di kursi yang setengah membelakangi pembaca.

Pria gempal dengan rambut dicat pirang itu membalik muka dan menatap tajam ke arah kamera. Matanya ia picingkan. Separuh wajahnya sengaja digelapkan. Ia duduk di kursi mewah. Kursi kayu berwarna cokelat dengan lapis kulit.

Pada bagian kanan sampul terbitan Desember tersebut, nama orang itu ditulis seluruhnya dengan huruf kapital: Donald Trump. Jabatannya ditulis dengan huruf yang juga seluruhnya kapital, tapi dengan ukuran lebih kecil di bawah nama tersebut. "President of The Devided States of America".

Atribut itu adalah pelesetan. Resminya, setelah nanti dilantik, jabatan Trump yang terpilih melalui pemilihan presiden Oktober lalu adalah "President of The United States of America". Yang dilakukan awak redaksi Time adalah mengganti kata "united" yang artinya bersatu dengan "devided" yang artinya terbelah.

Dalam satu kata itu, riak yang dipicu Trump semenjak mengumumkan pencalonan dirinya sebagai kandidat presiden AS melalui Partai Republik digambarkan. Bagaimana ia mendongkrak popularitas dan keterpilihan melalui pesan-pesan yang terkesan hendak memecah Amerika Serikat berdasarkan kelas ekonomi, gender, ras, pribumi dan imigran, serta agama.

Lalu, apa sebenarnya alasan Time memilih Trump sebagai Person of The Year? Pemimpin redaksi Time, Nancy Gibbs, menjelaskan, ini merupakan ke-90 kalinya majalah tersebut mendaulat sosok berpengaruh sepanjang tahun. Tetapi, ia menegaskan, pengaruh yang dimaksud tidak selalu bermakna baik.

Adolf Hitler, pimpinan Nazi Jerman yang berperan memicu pembasmian etnis Yahudi dan Perang Dunia II sekaligus, pernah juga menjadi "Man of The Year" pada 1938. Saat itu, ia digambar dari arah belakang pada sampul muka. Pada 1941, Time juga menampilkan Hitler di sampul muka dengan posisi sedang duduk di kursi seperti Trump kali ini. Selain Hitler, diktator Uni Soviet Joseph Stallin juga pernah dipilih Time pada 1942.

"Jadi, tahun ini apa? Baik atau buruk? Tantangan untuk Donald Trump adalah betapa besarnya negara ini terbelah mengenai pertanyaan tadi," kata Gibbs, dalam tulisan utamanya di Time, Rabu (7/12). Menurut dia, bagi sebagian orang, kemenangan Trump menunjukkan pemberontakan terhadap kelompok elite dari parpol, akademisi, dan media masa, yang arogan.

Sedangkan bagi pendukungnya, Trump dinilai bisa membawa perubahan bagi kondisi ekonomi AS yang belum bisa dikatakan membaik. "Bagi penentangnya, dia membawa rasa takut lantaran apa yang mungkin dilakukannya dan apa yang dilakukan atas namanya," kata Nancy.

Nancy Gibbs juga mengatakan, Time memilih Trump sebagai pria tahun ini karena ia merupakan pria yang berbicara terus terang. Ia juga dinilai menggambar ulang peta politik di Amerika. "Ini juga merupakan teguran bagi kelas pemerintah yang arogan," tulis Gibbs. Kelas pemerintah yang ia maksud adalah kubu Demokrat dan Barack Obama yang sudah berjaya selama delapan tahun terakhir.

Hasil pemilu AS pada akhirnya, memang menggambarkan sebuah negara demokrasi yang tak bisa lagi sepenuhnya disebut "united". Perolehan suara Trump dibandingkan  saingannya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, terpaut sangat tipis. Jika tak dibantu sistem perwakilan pemilih elektoral dalam Pemilihan Presiden AS, Trump bahkan mestinya tak terpilih karena raihan suara populernya kalah dari Hillary.

Kemenangan Donald Trump juga membalikkan semua survei di AS sebelumnya memprediksi kemenangan telak Hillary. Selain itu, Trump juga berhasil mengatasi media-media berpengaruh di AS yang sebagian secara terbuka mendukung Hillary. Kemenangannya juga menyangkal kampanye masif para tokoh budaya populer, yang nyaris seluruhnya berdiri di belakang Hillary.

Selepas pemilu, berbagai aksi unjuk rasa kian menegaskan terjadinya perpecahan dalam masyarakat di AS. Ribuan orang turun ke jalan. Mereka meneriakkan, "Tak sudi dipimpin Trump". Isu tentang sejumlah negara bagian yang tak memenangkan Trump bakal mundur dari serikat juga bermunculan.

Sementara di akar rumput, retorika Trump soal Muslim dan imigran juga mewujud jadi ancaman. Sejak terpilihnya Trump, lembaga pemantau kelompok-kelompok radikal AS, Southern Poverty Law Center, mencatat sedikitnya 867 kasus kebencian terhadap Muslim di AS. Sejak Trump mulai menyatakan pencalonan dirinya pada 2015 lalu, FBI mencatat terjadi lonjakan 67 persen kasus kekerasan terhadap Muslim di AS.

Laporan soal pelecehan yang diterima Muslimah juga meningkat. Peningkatan pelecehan tak hanya di negara bagian kantong pendukung Trump di bagian selatan AS. Kasus-kasus pelecehan bahkan sudah terjadi di kota-kota multikultural yang dimenangi Hillary, seperti New York dan Washington.

Pekan lalu, misalnya, berbagai media di AS, di antaranya New York Daily News, melaporkan seorang siswi berjilbab dari Baruch Colledge dikepung tiga pemuda mabuk, yang terus-menerus meneriakkan nama Donald Trump di stasiun kereta bawah tanah New York City. Seorang petugas polwan NYPD yang berhijab di New York juga melaporkan seorang pria mengancam dia dan anaknya.

Di Washington, seperti dilansir BBC, anggota parlemen Amerika Serikat keturunan Somalia, Ilhan Omar mengalami serangan kebencian saat menggunakan taksi. Perempuan itu mengatakan, sopir taksi mengancam akan melepas jilbab yang ia kenakan. Pengemudi itu juga menyebut Omar adalah anggota dari kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Terpilihnya Trump sebagai "Person of the Year" versi Trump kembali membelah warganet. Kebanyakan mengecam pilihan Time, tapi tak sedikit juga yang menilai ada pesan-pesan tersembunyi di balik sampul kemarin. Sebagian melihat Time sengaja menaruh kepala Trump tepat menutupi bagian bahwa huruf "M" agar terkesan mirip setan bertanduk. Time dengan lekas menampik hal itu dilakukan dengan sengaja.        Oleh Dyah Ratna Meta Novia, Puti Almas, Hasanul Rizqa, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement