Rabu 30 Nov 2016 11:00 WIB

Presiden: Aksi 212 Bukan Demo

Red:
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) berjalan kaki menuju Jakarta di Jalan Raya Tasikmalaya-Malangbong, Kampung Cipeudeuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (29/11).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) berjalan kaki menuju Jakarta di Jalan Raya Tasikmalaya-Malangbong, Kampung Cipeudeuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (29/11).

JAKARTA -- Perubahan prosesi aksi unjuk rasa pada 2 Desember nanti melunakkan sikap pemerintah terhadap agenda tersebut.  Presiden Joko Widodo menilai, aksi yang mulanya dipicu dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu tak lagi bisa disebut aksi unjuk rasa.

"Tidak ada demo, yang ada adalah doa bersama," kata Presiden seusai upacara HUT ke-45 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Lapangan Silang Selatan Monas, Selasa (29/11). Presiden menambahkan, doa bersama tersebut mengisi rangkaian aksi, baik sebelum maupun setelah shalat Jumat.

Pergeseran prosesi Aksi 212 diputuskan melalui pembicaraan antara pihak kepolisian dan pucuk pimpinan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) pada Senin (28/11). Aksi yang sebelumnya direncanakan sebagai zikir bersama di ruas jalan utama DKI Jakarta diubah menjadi aksi gelar sajadah di Lapangan Silang Monas. Selain itu, aksi juga dibatasi dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Anggota Polri dan Prajurit TNI juga diundang berbaur dengan peserta aksi.

Menyusul kesepakatan itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mencabut perintah bagi kepolisian daerah menghalangi peserta dari daerah. Di lain pihak, pimpinan GNPF berkeras bahwa Aksi 212 tetap akan menyuarakan tuntutan agar Ahok yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama segera ditahan.

Presiden juga tak menginginkan aksi unjuk rasa yang digelar belakangan, terutama terkait status Ahok, disebut sebagai tanda-tanda perpecahan. Dia pun menilai istilah perlunya rujuk nasional tak tepat.

Bagi Presiden, istilah rekonsiliasi baru tepat dipakai dalam kondisi bangsa Indonesia sudah terpecah tajam dan harus didamaikan. Sementara, menurut Jokowi, kondisi di masyarakat saat ini sudah relatif tenang, tak ada yang bertikai. "Hanya perlu kita ingatkan pada semuanya tentang pentingnya Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika."

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga sempat menyatakan tak melarang aparatur sipil negara (ASN) mengikuti Aksi 212. "Nggak ada masalah. Silakan mau PNS, mau prajurit TNI, ataupun kepolisian, membaurlah. Ini kan agendanya doa bersama untuk bangsa dan negara," kata Tjahjo seusai upacara HUT ke-45 Korpri, kemarin.

Ia juga tidak melarang apabila aparatur negara ingin melaksanakan shalat Jumat bersama dengan para peserta aksi damai. "Saya kira kan cuma sebentar jadi boleh-boleh saja," kata dia. Ia juga menjanjikan tak ada sanksi bagi kepala-kepala daerah yang memfasilitasi para peserta aksi dari daerah berangkat ke Jakarta.

Kendati demikian, pada sore hari, Kemendagri mengeluarkan rilis yang mengoreksi pernyataan Mendagri pada pagi hari tersebut. "PNS sebagai perekat bangsa wajib jaga stabilitas di daerah. Kalau mau mendoakan, silakan saja, tapi doakan dari kantor di daerah masing-masing," kata Tjahjo dalam keterangan pers yang diterima Republika.

 

Rilis itu mendasari perubahan pernyataan Tjahjo dengan pesannya dalam Rapat Koordinasi Gubernur (Rakorgub) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beberapa waktu lalu. Dalam rapat tersebut, Tjahjo menyatakan, kewajiban utama PNS adalah melayani masyarakat.

Sementara itu, terkait agenda Aksi 212, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahkan mengajak masyarakat dan elemen umat Islam untuk bisa berpartisipasi dalam Aksi Bela Islam III tersebut. Sebelumnya, PKS bersikap netral terhadap aksi unjuk rasa pemidanaan Ahok.

Ajakan tersebut ditandatangani Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman dan Sekjen PKS Mustafa Kamal, Selasa (29/11). "PKS menyerukan agar umat Islam meluruskan niat, merapatkan barisan, dan saling menolong. Juga tetap menjaga ketertiban umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Sohibul, di Kompleks Parlemen Senayan.

Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan sikap tidak melarang atau menganjurkan kadernya ataupun masyarakat mengikuti Aksi 212. Syaratnya, harus dilakukan dengan aman, tidak mengganggu ketertiban, dan fokus pada isu yang disuarakan. Meski begitu, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding mengatakan, PKB bersama ulama akan memantau proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. rep: Halimatus Sa'diyah, Noer Qomariah K, Umar Mukhtar/Fuji Pratiwi ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement