Rabu 30 Nov 2016 11:00 WIB

Pelajar Dukung Moratorium UN

Red:
  Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).   (ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). (ilustrasi)

JAKARTA -- Pelajar di sejumlah daerah di Tanah Air mendukung langkah pemerintah yang akan memoratorium ujian nasional (UN). Sementara itu, para guru menyampaikan pro dan kontra ihwal rencana yang akan diputuskan pemerintah dalam waktu dekat tersebut.

Pelajar kelas IX SMP Negeri 1 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Gilang Hanggara menyatakan dukungannya. Menurut dia, sistem UN tidak adil terkait penentuan kelulusan peserta didik. "Saya setuju," ujar Gilang kepada Republika di Mataram, Selasa (29/11). Pelajar kelas VII SMP Negeri 3 Kaduhejo, Pandeglang, Banten, Agis Tania mengaku senang apabila UN dimoratorium.

Sebab, berdasarkan pengalamannya semasa sekolah dasar (SD), UN telah membuat dia waswas. Kekhawatiran tidak lulus sekolah membayanginya dalam proses belajar menjelang ujian.

Pelajar kelas XI SMA Negeri 2 Padang, Sumatra Barat, Dwi Salsabila juga mengaku lega dengan moratorium UN. Alasannya, UN selama ini dinilai menjadi sesuatu yang menakutkan. Pangkal ketakutan Dwi adalah UN menjadi penentu kelulusan peserta didik setelah tiga tahun menempuh pendidikan. "Rasanya tidak adil kalau kelulusan hanya ditentukan dari UN, yang dilangsungkan beberapa hari padahal sekolahnya tiga tahun," katanya.

Maka tak heran, jika banyak siswa menempuh berbagai cara agar bisa lulus UN. Tidak terkecuali membeli kunci jawaban soal ujian. Jika nantinya UN benar dimoratorium, pelajar kelas IX SMP Muhammadiyah 2 Surabaya, Jawa Timur, Noval Ramadhan menyatakan hal tersebut tidak akan memengaruhi semangat belajarnya. "Ada UN atau tidak ada UN, ya tetap belajar," ujar Noval.

Meski mengaku setuju dengan langkah pemerintah, Noval menilai UN penting untuk mengukur prestasi siswa secara nasional. "Tapi kalau UN dihapus tidak apa-apa, karena percuma nilai UN bagus kalau perilaku siswanya jelek," katanya.

Berbeda dengan para pelajar, para guru di sejumlah daerah di Indonesia memiliki pandangan beragam terkait moratorium UN. Pihak yang pro menilai sudah seyogianya langkah ini diambil, sementara yang kontra menyebut UN tetap standar yang pas untuk mengukur kualitas pendidikan.

Guru SMKN 2 Yogyakarta Sudarto menilai, langkah pemerintah yang akan memoratorium UN sudah tepat. Sebab, sudah seharusnya UN dijalankan untuk sekolah-sekolah, yang mempunyai prasarana dan sarana pendidikan yang sama.

"Kalau UN diterapkan ke sekolah yang fasilitasnya berbeda nanti hasilnya tidak bisa seimbang," kata Sudarto. Oleh karena itu, dia menilai, sebaiknya ujian akhir untuk menentukan kelulusan pelajar diselenggarakan di masing-masing daerah.

Tujuannya, agar bisa dilakukan evaluasi terhadap kondisi masing-masing sekolah.

Kepala SMK Bhakti Insani, Kota Bogor, Jawa Barat, Budiono mengatakan, langkah pemerintah yang akan melaksanakan desentralisasi UN sudah benar. Menurut dia, standar pendidikan nasional tidak bisa disamaratakan antardaerah.

"Dari dulu memang harus dihapus UN. Misalnya, Jawa dengan Kalimantan itu sangat jauh (kualitas pendidikannya)," ujar Budiono. Ia menambahkan, jika moratorium UN diambil pemerintah, sosialisasi harus segera dilakukan.

Apalagi, UN tahun depan telah dimulai persiapannya. "Menurut saya, bisa desentralisasi, tapi nggak di 2017. Mungkin tahun berikutnya," kata Budiono.

Kepala Sekolah SMAN 1 Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta, Tri Sugiharto menyayangkan rencana pemerintah memoratorium UN. Sebab, UN masih diperlukan sebagai standar keberhasilan pendidikan.

"Di sisi lain, UN juga berperan sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah," kata Tri. Menurut dia, standar mutu pendidikan akan sulit dicapai jika ujian diserahkan pada satuan pendidikan.

Guru SMAN 1 Sleman Agus Suprapto juga menyampaikan hal yang sama. Ia bahkan menyebut, UN masih dibutuhkan sampai 20 tahun ke depan, sambil menunggu kesiapan daerah untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil kesenjangan.

"Jangan lupa pendidikan karakter juga masih jauh panggang daripada api. Padahal itu sangat dibutuhkan," kata Agus. Ia menyampaikan, jika UN digunakan untuk menentukan kelulusan, sekolah pun akan berupaya dalam membekali peserta didik dengan materi yang sesuai dengan kebutuhan.

Guru matematika SMAN 1 Surakarta, Jawa Tengah, Marwanto mengatakan, moratorium UN justru akan menurunkan semangat belajar para pelajar, terutama pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Selama ini, menurut dia, pelajar sudah terbiasa belajar untuk meraih hasil maksimal dalam UN.

"UN telah menjadi tolok ukur dalam pembelajaran, sehingga saya tidak setuju ketika UN dihapus secara total," ujar Marwanto. Meski begitu, ia mengakui, UN masih menjadi masalah, terutama bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil. Tetapi, hal tersebut tak dapat dijadikan alasan sepenuhnya untuk menghapus UN.

"Ini jadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan sekolah-sekolah di daerah, khususnya yang terpencil itu, infrastruktur, sarana, dan prasarana," kata Marwanto.

Sedangkan di Medan, Sumatra Utara, Kepala SMA Negeri 2 Medan Sutrisno mengatakan, siap mematuhi apa pun kebijakan pemerintah terkait moratorium UN. "Kita pihak sekolah hanya ikut saja. Kita mengacu pada yang ditetapkan pemerintah pusat," ujarnya.

Secara pribadi, Sutrisno mengaku jika nantinya UN dimoratorium, program-program yang telah disiapkan bakal terganggu. "Tapi kalau harus dijalankan, ya dijalankan. Disesuaikan dengan kondisi yang ada," kata dia.

Lanjut persiapan

Sejumlah sekolah penyelenggara Ujian Nasional Computer Based Test (UN CBT) di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, tetap melanjutkan persiapan meski isu moratorium UN semakin santer. Sekolah- sekolah ini tetap berpendapat, UN harus dilanjutkan sebagai alat ukur sekaligus pemetaan hasil belajar siswa.

"Hasil akhir proses belajar siswa harus ada," ujar Kepala SMK Nahdlatul Ulama (NU) Ungaran Ahmad Hanik. Menurut dia, perkembangan kognitif peserta didik sulit diukur ketika tidak ada alat evaluasinya.

Hanik justru mengkhawatirkan ketika tidak ada hasil evaluasi akhir, peserta didik nantinya akan lalai. "Siswa nantinya akan beranggapan, untuk apa harus belajar tekun. Karena tidak ada alat evaluasinya atau 'bahasa' gampangnya tidak ada lagi UN," kata dia. rep: Muhammad Nursyamsyi, Umi Nur Fadhilah, Retno Wulandhari, Binti Sholikah, Neni Ridarineni, Santi Sopia, Andrian Saputra, Rizma Riyandi, Issha Harruma, Bowo Pribadi ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement