Ahad 27 Nov 2016 15:00 WIB

Mulai Senin, UU ITE Revisi Resmi Berlaku

Red:

JAKARTA  Mulai Senin (28/11), Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil revisi akan berlaku. Ini sesuai dengan ketentuan bahwa sebuah undang-undang akan berlaku setelah 30 hari usai disahkan, yaitu pada 27 Oktober lalu.

Undang-Undang ITE hasil revisi antara lain memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet. Yaitu, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40.

Kewenangan tersebut berupa kewajiban untuk mencegah penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan terlarang. Serta kewenangan memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang melanggar hukum.

Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Henry Subiakto menyatakan, berdasarkan Pasal 40 Ayat 2 poin b UU ITE, mulai Senin, pemerintah berwenang untuk menutup akses informasi elektronik dan dokumen elektronik yang muatannya bertentangan dengan undang-undang.

Di undang-undang baru nanti, pemerintah punya kewenangan untuk memblok konten yang melanggar undang-undang. Misalnya, pornografi, anti-NKRI, anti-Pancasila, ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Itu termasuk pelanggaran undang-undang, ujar Henry di Jakarta, Sabtu (26/11).

Meski demikian, lanjut Henry, pemerintah tidak serta-merta represif dengan Pasal 40 tersebut. Pemerintah, kata dia, ingin tetap mendahulukan pendidikan atau media literasi kepada khalayak.

Hal itu, kata dia, dilakukan agar dapat mendidik pengguna media sosial supaya paham rambu-rambu yang ada. Berpendapat bebas. Yang tidak bebas adalah memalsukan fakta, menyebarkan fakta palsu, atau tuduhan yang tidak berdasar, atau menyebarkan informasi kebencian yang berdasarkan SARA. Tapi, kalau kritik kebijakan itu aman," ujarnya.

Di tempat terpisah, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menekankan, masyarakat perlu mendapat literasi dan edukasi sebagai upaya menjaring berbagai informasi dari media sosial (medsos).

"Saat ini, penggunaan telepon pintar sudah sedemikian marak sehingga perlu ada pemahaman yang benar untuk memfilter dari berseliweran berbagai informasi di media sosial," ujar Mensos di Jakarta, Sabtu.

Masyarakat diminta untuk melakukan proses tabayun atau mencari kejelasan atas sebuah informasi terlebih dahulu agar tidak mengganggu atau mendistorsi pemahaman stabilitas bangsa dan negara.

Dia mengajak segenap elemen bangsa untuk menjaga stabilitas negara dari beredarnya berbagai informasi di media sosial yang bisa menimbulkan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat.

"Pada kondisi tersebut, menjadi penting untuk memberikan literasi dan edukasi kepada masyarakat. Sebab, saat ini sebagian besar warga sudah menggunakan smartphone," katanya.

Melalui literasi dan edukasi yang diberikan, maka informasi dari berbagai peristiwa di belahan bumi manapun dengan dinamika seperti apa pun tidak lagi ditelan mentah-mentah, tetapi bisa difilter dengan proses tabayun.

"Bagaimanapun berseliweran berbagai informasi dari media sosial, baik berupa kiriman, beredar berantai, maupun share tidak lantas terpancing yang bisa menimbulkan reaksi tidak perlu, apalagi kontraproduktif," ujarnya.

Pakar media sosial Nukman Luthfie mengimbau masyarakat agar tidak gampang terprovokasi pesan ataupun berita yang disampaikan melalui media sosial, terlebih yang mengajak pada perbuatan melanggar hukum.

Menurutnya, internet menjadi instrumen penting dalam melakukan propaganda pada era komunikasi digital sekarang ini. Untuk itu, ia mengajak seluruh komponen bangsa penggiat media dan media sosial bersikap bijaksana dan menggunakan kepala dingin dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi melalui dunia maya.

Ia mengajak para penggiat dunia maya untuk menyebarkan tulisan, gambar, video, dan meme yang mengajak masyarakat untuk menyebarkan kedamaian di dunia maya, khususnya media sosial.

Sementara, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai, perlu aturan untuk menyaring mana akun yang menyebar berita bohong dan mendidik. Sebab, saat ini belum ada aturan yang secara tegas mengatur peran buzzer.

Dengan begitu, masyarakat bisa tahu mana akun yang menyebar berita bohong dan kebencian atau yang digunakan untuk hal positif. "Tapi, masyarakat disuruh menyaring sendiri apa betul atau tidak akun tersebut," kata Agus.

Ia menjelaskan, saat ini masyarakat menelan begitu saja informasi yang diterima tanpa dicek kebenarannya. Apalagi, informasi yang disebarkan menggunakan unsur agama, suku, dan antargolongan. "Masyarakat terdidik saja belum tentu tahu suatu akun tersebut menyebar fakta atau fitnah."

Tindakan proporsional

Menjelang pilkada tahun depan, diperkirakan semakin banyak netizen yang kerap menyebarkan berita hoax, isu SARA, serta penghinaan dan pencemaran nama baik. Mengantisipasi hal itu, kepolisian menyatakan akan melakukan tindakan proporsional terhadap para pelaku.

"Proporsional saja. Kalau ada pelanggaran, ya diproses. Kalau nggak, kalau bisa diomongin, ya diomongin. Itu kan banyak, bukan satu atau dua orang," ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafly Amar di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (26/11).

Boy menuturkan, untuk mengantisipasi kasus pelanggaran UU ITE, kepolisian akan bekerja sama dengan Kemenkominfo. Antara lain untuk membahas konten yang tidak layak dan secara kasat mata dapat dinilai bernuansa pelanggaran hukum.

"Jadi, ini didiskusikan dan kemudian juga dilakukan langkah-langkah monitoring lebih lanjut. Dalam eksekusi penegakan hukumnya, dikembalikan ke penyidik Polri," kata Boy.

Ia pun meminta masyarakat untuk berhati-hati terkait hal ini. Apalagi, bagi seseorang yang melanggar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE akan dikenakan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda sebesar Rp 1 miliar.

Menurut Boy, kegiatan pembinaan terhadap netizen menjadi penting untuk dilakukan sejak dini sehingga terbangun kesadaran hukum di lingkungan masyarakat.

"Di media sosial juga kan tindakan hukum. Dilindungi oleh hukum sekaligus diatur apabila terjadi pelanggaran ada sanksi. Kita perlu tingkatkan pemahaman kesadaran masyarakat bahwa media sosial itu tidak bisa semaunya karena sudah ada aturan hukum," jelas Boy.       rep: Eko Supriyadi,Muhyiddin/antara, ed: Mansyur Faqih

Tujuh muatan materi pokok revisi UU ITE:

1. Menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada Pasal 27 Ayat 3.

2. Menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling lama enam tahun menjadi empat tahun dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Selain itu, juga menurunkan ancama pidana kekerasan Pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi empat tahun dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 31 Ayat 4 yang mengamanatkan pengaturan cara intersepsi ke dalam UU serta menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 Ayat 1 dan 2 mengenai informasi elektronik sebagai alat bukti hukum.

4. Sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan dengan hukum acara dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

5. Memperkuat peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) UU ITE untuk memutuskan akses terkait tindak pidana TIK.

6. Menambahkan right to be forgotten, yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

7. Memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40.

Kewenangan tersebut berupa kewajiban untuk mencegah penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan terlarang dan kewenangan memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang melanggar hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement