Senin 21 Nov 2016 14:00 WIB

Laporan Kekerasan Anak di Daerah Meningkat

Red:

LOMBOK -- Berbagai daerah masih melaporkan peningkatan jumlah tindak kekerasan terhadap anak-anak. Meski pemerintah telah berupaya menanggulangi lewat pemberatan hukuman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak justru terus meningkat.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) NTB melaporkan, jumlah laporan kekerasan terhadap anak masih menunjukkan tren meningkat. Berdasarkan laporan dari kepolisian, hingga September 2016, tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di NTB tercatat lebih dari 300 kasus.

Dinsos NTB menilai, angka tersebut berpotensi lebih tinggi mengingat masih banyak yang belum terungkap. Jumlah itu juga telah melampaui angka yang dilaporkan tahun lalu. Dari ratusan kasus tersebut, kekerasan fisik ataupun pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak usia lima hingga enam tahun mendominasi. Jumlah itu tersebar secara merata di kabupaten/kota yang ada di NTB.

Tren peningkatan serupa juga tercatat di Jawa Timur (Jatim). "Tahun 2015, ada 672 kasus kekerasan anak dan perempuan, sedangkan tahun 2016 per September saja, sudah mencapai 600-an," kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Ditreskrimum Polda Jatim, Kompol Yasinta, dalam seminar di Surabaya, Sabtu (19/11) malam.

Yasinta mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di Jawa Timur didominasi kejahatan persetubuhan dan kekerasan. Dari 38 kabupaten kota di Jatim, tahun ini Kota dan Kabupaten Malang mendominasi pelaporan kekerasan anak. Jumlah laporan dari Malang melampaui laporan dari Surabaya yang jadi pemuncak tahun lalu.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur juga makin banyak terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Warga yang kian berani melapor ditengarai menjadi salah satu alasan peningkatan tersebut. "Data yang kami himpun, ada delapan kasus kekerasan seksual anak dengan korban sebanyak 112 orang," ujar Ketua KPAI Kabupaten Sukabumi, Dian Yulianto, pekan lalu.

Selain data KPAI, kasus kekerasan seksual terhadap anak juga dicatatkan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sukabumi. "Dari Januari hingga Oktober 2016, tercatat sebanyak 14 anak yang menjadi korban pemerkosaan," ujar Ketua Harian P2TP2A Kabupaten Sukabumi, Elis Nurbaeti. Sementara secara keseluruhan, kasus kekerasan seksual anak mencapai 27 kasus dengan korban sebanyak 49 orang anak.

Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Bandung, Jabar, juga mengungkapkan, data kekerasan terhadap anak periode Januari-September 2016, sudah mencapai 76 kasus. Diperkirakan kasus tersebut akan terus meningkat hingga akhir Desember mendatang.

Bentuk kekerasan yang dialami anak paling banyak pelecehan seksual dan kekerasan fisik, seperti penganiayaan serta penelantaran anak. Kasus-kasus yang muncul banyak terjadi di lingkungan keluarga dan rumah serta sekolah.

Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (BKBPMP) Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga mencatat, kasus kekerasan terhadap anak di wilayah itu meningkat pada 2016. Menurut Kepala BKBPMP Kota Banjarmasin Madyan, kasus kekerasan terhadap anak yang terdata di instansinya sepanjang tahun ini sudah sekitar 30 kasus, sebelumnya pada 2015 sekitar 20 kasus. "Ini memang memilukan, apalagi kasus kekerasan anak yang terkuak terakhir ini terkait ibu angkat yang menyiksa anak asuhnya dengan sadis," ujarnya, Sabtu (19/11).

Kekerasan seksual di Kabupaten Lebak, Banten, juga mengalami kenaikan. Hingga Oktober 2016, mencapai 20 kasus dari sebelumnya sebanyak 15 kasus pada 2015. "Sebagian besar korban kekerasan seksual itu menimpa anak-anak," kata Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana (BP2KB) Kabupaten Lebak, Nani Suryani, di Lebak, Sabtu (19/11). Pelaku kekerasan seksual merentang mulai usia lanjut, dewasa, remaja, dan anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, peningkatan laporan ini karena pencegahan kekerasan seksual terhadap anak tidak dilakukan secara sistematis dan terintergrasi. Kepala Divisi Sosialisasi KPAI Erlinda menilai, banyak pemerintah daerah yang tidak mengimplementasikan program pemerintah pusat ihwal upaya menekan kasus kekerasan seksual terhadap anak.

"Yang lebih parah lagi, pemerintah daerah tidak bisa membaca apa yang dimaksud regulasi (pemerintah pusat) tersebut, itu yang sangat memprihatinkan," kata dia kepada Republika, Ahad (20/11).

Erlinda menilai, harus ada gerakan nasional secara bersama. Ia menyebut, gerakan tersebut sedianya telah tertuang dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Meski begitu, isinya belum maksimal tersosialisasikan hingga daerah.

Gerakan yang melibatkan 18 kementerian/lembaga (K/L) itu mempunyai sebuah komitmen perlindungan anak. Namun, menurut dia, belum semua kepala daerah bisa membahasakan program-program gerakan nasional itu di wilayahnya masing-masing.

Erlinda menuturkan, salah satu hal yang dapat diimplementasikan pemda, yakni komitmen anggaran. Ia menjabarkan, selama ini tidak banyak daerah memiliki program rehabilitasi korban kekerasan seksual dan anak berhadapan dengan hukum.

Selain itu, menurut Erlinda, pemerintah harus membangun karakter anak-anak agar siap menghadapi arus globalisasi. Ia juga meminta aparat penegak hukum aktif melakukan jemput bola. "Kami menagih janji pemerintah bahwa komitmen negara harus dituangkan dalam anggaran untuk pencegahan itu sendiri," kata dia.

Sedangkan Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel, menyatakan, peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak di daerah-daerah belum tentu menunjukkan tren riil. "Saya tidak yakin kasus meningkat. (Yang benar) Insiden atau kasus yang terlaporkan meningkat. Kita pakai asumsi gunung es. Dibedakan antara insiden dan insiden yang terlaporkan yang meningkat," kata Reza saat dihubungi, kemarin.

Reza justru menyambut baik meningkatnya jumlah laporan kasus kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan, sikap masyarakat lebih responsif terhadap kondisi anak-anak yang mendapatkan perlakuan asusila tersebut. Sebab, selama ini masyarakat dinilai memilih diam dan tidak berani melaporkan terjadinya kasus asusila terhadap anak. Dengan banyaknya masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini, menurut dia, dipastikan jumlah kasus yang dilaporkan akan meningkat.

Dengan adanya peningkatan jumlah laporan, diharapkan kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat berkurang, sehingga dapat mencegah para predator anak melakukan aksinya.      rep: M Fauzi Ridwan, Umi Nur Fadhilah/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement