Selasa 01 Nov 2016 14:00 WIB

Pertamina Temukan Hotel dan Restoran Gunakan Elpiji 3 Kg

Red:

 

Republika/Agung Supriyanto  

 

 

 

 

 

 

 

 

UNGARAN -- Kendati ditujukan bagi masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi, kenyataannya elpiji 3 kg tetap dinikmati masyarakat menengah ke atas. Berdasarkan pantauan Republika di sejumlah titik di Tanah Air, praktik tersebut bahkan ditemukan di level komersial.

Seperti di Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pertamina Marketing Operation Regional (MOR) IV/Jawa Tengah-DI Yogyakarta menemukan elpiji 3 kg digunakan oleh para pengusaha di beberapa sektor.

"Pernah ada temuan, elpiji bersubsidi ini digunakan oleh tempat usaha hotel dan restoran, yang semestinya bukan peruntukannya," kata Officer Communication and Relation Pertamina MOR IV, Didi Andrian Indra, di Ungaran, Senin (31/10). Temuan ini, menurut dia, pernah dilaporkan dari kawasan wisata Bandungan, Kabupaten Semarang.

Di sana, kedapatan hotel yang menyetok elpiji 3 kg. Meski bukan digunakan sebagai fasilitas utama untuk memasak, penyimpanan gas oleh pelaku industri berskala menengah itu dapat mengganggu ketersediaan bagi masyarakat miskin dan usaha kecil.

"Ini tidak dibenarkan karena stok bagi konsumen rumah tangga bisa berkurang," ujar Didi. Tidak hanya itu, permasalahan ini juga merupakan bagian dari perilaku sebagian orang, yang tak memanfaatkan energi dengan bijak.

Dikhawatirkan, hal tersebut bisa menyulut persoalan, khususnya ketersediaan gas bersubsidi untuk masyarakat. Terkait distribusi elpiji bersubsidi, Didi mengakui, Pertamina MOR IV hanya merupakan operator.

"Sehingga kami tidak memiliki kewenangan untuk bisa menindak manajemen hotel dan restoran, yang masih menggunakan LPG bersubsidi tersebut," kata Didi. Menanggapi pernyataan Pertamina setempat, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Semarang, Sumardi membantah.

Dia mengatakan, anggota PHRI Kabupaten Semarang sudah beralih menggunakan elpiji nonsubsidi, seperti 5,5 kg, 12 kg, dan 50 kg. Sebab meski tidak bersubsidi, harga gas dari tiga ukuran tersebut dianggap masih terjangkau.

Bahkan, menurut Sumardi, tidak sedikit anggota PHRI Kabupaten Semarang yang telah menggunakan gas ukuran 50 kilogram. Namun, sebagian hotel atau restoran juga ada yang masih menggunakan gas ukuran 12 kg.

"Kalau yang 50 kilogram sekali isi ulang memang cukup berat belanjanya, tapi kalau yang 12 kilogram, saya kira cukup terjangkau," ujar Sumardi.

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, kepala gudang salah satu agen penyalur, Yadi, menilai, saat ini elpiji 3 kg banyak dibeli masyarakat menengah ke atas. Tak ayal, subsidi yang diberikan pemerintah pada setiap tabung elpiji 3 kg tidak tepat sasaran.

"Ini namanya subsidi dari dulu juga aturan sudah diterapkan, subsidi minyak tanah lari ke elpiji. Tapi kenyataannya, dari pangkalan banyak yang dikirim ke warung-warung atau pengecer. Ada ongkos kirim maka harga bisa mencapai Rp 16 ribu sampai Rp 17, lalu warung jualnya Rp 20 ribu," kata Yadi. Otomatis, menurut dia, masyarakat miskin tidak mampu membeli elpiji 3 kg.

"Ini yang bisa beli orang menengah ke atas," ujar Yadi.

Di Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, Bupati Kuryana Aziz mengimbau seluruh pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemkab setempat untuk menggunakan elpiji 5,5 kg, yang tidak disubsidi pemerintah. "Selama ini masyarakat memakai elpiji 12 kg dan elpiji 3 kg atau yang kita kenal dengan gas melon, khusus kepada para PNS, supaya beralih menggunakan gas 5,5 kg," kata Kuryana.

 

Ia menjelaskan, PT Pertamina telah meluncurkan produk baru, Bright Gas 5,5 kg, sehingga program tersebut harus didukung bersama, termasuk para PNS. Sebenarnya, menurut Kuryana, elpiji 3 kg merupakan subsidi dari pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat kalangan bawah, bukan untuk orang mampu termasuk PNS.

Namun, pada kenyataannya, elpiji 3 kg dipakai semua kalangan, termasuk orang mampu. "Saya berharap kepada para PNS yang masih menggunakan elpiji 3 kg, untuk beralih ke Bright Gas 5,5 kg, dan itu harus bagi PNS," katanya.

Kuryana mengatakan, peredaran elpiji 5,5 kg sangat didukung oleh pemerintah sebab gas ini murni tidak ada subsidi dari pemerintah.

Tidak hanya PNS, dia juga meminta kesadaran masyarakat agar beralih dari elpiji 3 kg ke elpiji 5,5 kg.

Sebab, bagi masyarakat yang sudah mampu, mestinya harus beralih ke gas 5,5 kg.

Selisih harga

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, permasalahan seputar elpiji 3 kg tak lepas dari selisih harga. Jika elpiji 3 kg dihargai pada kisaran Rp 20 ribu per tabung, untuk tabung 5,5 kg mencapai Rp 60 ribu.

Penyimpangan tersebut, menurut Kurtubi, membuat distribusi elpji bersubisdi menjadi tidak tepat sasaran. Padahal, subsidinya bersumber dari APBN. Dampak lainnya, terjadi kelangkaan karena ada perebutan pada dua kelompok. Kelompok pertama yang hijrah dari 12 kg ke 3 kg.

Kedua, yang benar-benar berhak menggunakan elpji 3 kg. Kurtubi pun mengaku, ingin mencermati penerapan sistem subsidi tertutup. Setelah sukses di luar Jawa, dalam waktu dekat, Pertamina akan menerapkan di Ibu Kota, Jakarta. Nantinya, pendistribusian langsung menyasar warga miskin berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta per bulan.

Bila terjadi pelanggaran dalam pendistribusian, akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR, yakni soal efek jera untuk pelanggar. "Bentuk sanksinya seperti apa, nanti pemerintah mengajukan proposal ke DPR," kata Kurtubi.

Wakil Presiden Komunikasi Korporat PT Pertamina, Wianda Pusponegoro, menjelaskan, pilot project distribusi tertutup elpiji 3 kg telah dilaksanakan di Tarakan, Kalimantan Utara. Tepatnya pada 1 Oktober, uji coba dilaksanakan di Kecamatan Tarakan Timur.

Skemanya, pemerintah melalui Kementerian ESDM bekerja sama dengan beberapa bank BUMN, untuk pembuatan dan pembagian kartu subsidi kepada masyarakat penerima subsidi elpiji. Pangkalan resmi elpiji 3 kg yang terdaftar di Pertamina, masing-masing akan menerima satu unit EDC.

Setelah itu, penerima elpiji 3 kg akan mendatangi pangkalan untuk membeli sesuai harga subsidi, dengan cara menggesekkan kartu subsidi ke EDC. Distribusi tertutup ini, menurut Wianda, dilakukan dengan tujuan agar elpiji 3 kg tepat sasaran.

Di sisi lain, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap elpiji dengan harga terjangkau, Pertamina juga menyediakan Bright Gas 5,5 kg nonsubsidi. Lebih lanjut, Wianda mengatakan, elpiji 3 kg adalah gas yang disubsidi oleh pemerintah sehingga terdapat kuota.

"Tidak ada kelangkaan dalam catatan kami, Pertamina memasok elpiji subsidi 3 kg sesuai dengan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan penyaluran harian normal. Apabila terjadi kekosongan di pasaran, indikasi kuat adalah pembelian elpiji 3 kg oleh masyarakat yang tidak berhak," kata dia menjelaskan. rep: Bowo Pribadi, Rizky Suryarandika, ed: Muhammad Iqbal 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement