Kamis 27 Oct 2016 14:00 WIB

Mitos dan Utak-Atik Nomor Urut Pilkada

Red:

 

Antara/Syifa Yulinas             

 

 

 

 

 

 

 

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai daerah telah melaksanakan pengundian nomor urut calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017. Tak menunggu lama, masing-masing pasangan calon mencoba mengutak-atik makna nomor urut dan mengampanyekannya untuk keunggulan mereka.

Di DKI Jakarta, pengundian nomor urut dilaksanakan pada Selasa (25/10) malam. Nomor urut satu jatuh di tangan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono/Sylviana Murni, sedangkan nomor dua milik pasangan pejawat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)/Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan Anies Baswedan/Sandiaga Uno mendapat nomor urut tiga.

Sejurus setelah penetapan nomor urut, dalam pidato sambutannya, calon wakil gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat langsung melekatkan nomor dua dengan kampanye Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden  2014. Djarot memang satu partai dengan Jokowi di PDIP, sementara Ahok adalah wakil gubernur yang mendampingi  Jokowi saat yang bersangkutan menjabat gubernur DKI.

"Salam dua jari! Kerja, kerja, kerja, menang!" kata Djarot dalam sambutan seusai pengundian nomor di Jakarta International Expo, Selasa (25/10) malam.

Sementara calon wakil gubernur Sandiaga Uno, mengasosiasikan nomor urutnya dengan sila dalam Pancasila. "Semua nomor sama, tapi tiga melambangkan persatuan Indonesia. Tiga adalah mempersatukan kita," kata dia seusai penetapan nomor urut.

Sandiaga menyatakan, demokrasi harus mempersatukan. Demokrasi di Indonesia yang identik dengan pecah belah, menurut dia, harus diubah menjadi demokrasi yang mempersatukan dan menyejukkan.

Calon gubernur DKI Agus Harimurti berkilah, tak memercayai mitos soal keberuntungan atau kemalangan, yang dikaitkan pada nomor tertentu. Meski begitu, ia mengatakan, memang sedari awal sudah mengimpikan dapat nomor urut satu. "Harapan selanjutnya, ya tidak hanya identitas dapat nomor satu, tetapi mendapatkan suara nomor satu juga," ucap Agus.

Dalam sejarah Pilkada di DKI Jakarta nomor urut satu memang sial. Pada Pilkada 2007, untuk pertama kalinya gubernur Jakarta ketika itu dipilih langsung, nomor urut satu jatuh pada pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Sementara nomor urut dua, dipegang Fauzi Bowo-Prijanto. Foke, sebutan Fauzi Bowo, menang mudah atas pasangan Adang-Dani.

Lima tahun kemudian, di Pilkada 2012, giliran Foke mendapat nomor urut satu. Hasilnya dalam dua putaran, Foke harus mengakui kekalahannya dari Jokowi.

Para calon pada Pilkada Kota Payakumbuh 2017 juga melakukan pemaknaan-pemaknaan tersendiri atas nomor urut yang mereka dapatkan.  Calon wali kota Wendra Yunaldi, misalnya, menyatakan bersyukur dan beruntung mendapatkan nomor urut satu. Angka tersebut, menurut dia, sama dengan program yang diusungnya, yakni pendanaan satu miliar rupiah per kelurahan. Sementara itu, calon pejawat  Riza Falepi memaknai angka dua dengan harapan dua periode memimpin daerah itu.

Sedangkan calon wali kota Swandel Muchtar, tak ingin kalah cerdas. Ia memaknai angka tiga dengan simbol kepemimpinan orang Minangkabau, yakni alim-ulama (pemuka agama), ninik-mamak (pemuka adat), dan cerdik-pandai atau cendekiawan.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Jayabaya, Lely Arrianie Napitupulu, menganggap wajar jika para pasangan calon mengharapkan nomor urut tertentu. Hal itu tak lain karena menurutnya manusia adalah mahluk pengguna simbol, yang bisa menyampaikan pesan politik melalui simbol yang dimilikinya, termasuk nomor urut.

"Manusia itu sebagai mahluk penguna simbol, maka wajar saja jika mereka mengultuskan nomor sebagai simbol. Simbol-simbol tertentu itu dianggap bisa mengisyaratkan pesan politik yang ingin dia sampaikan," katanya kepada Republika, kemarin.

Lely melanjutkan, pada dasarnya, kebanyakan pasangan calon menginginkan nomor urut satu. Itu tak lain karena pemilih akan membaca pasangan calon yang akan dipilihnya dimulai dari nomor urut satu. Namun begitu, ia menekankan, nomor urut tersebut tidak menjadi jaminan bagi salah satu calon untuk memenangi kontestasi.

Kegirangan mendapat nomor urut satu memang tampak di sejumlah daerah seusai pengundian. Pada pengundian nomor calon Pilkada Aceh Singkil, misalnya, salah satu calon bupati Syafriadi langsung melakukan sujud syukur, setelah mendapatkan nomor urut satu. Syafriadi yang merupakan calon pejawat juga terlihat semringah karena kembali mendapatkan nomor urut satu, seperti yang didapatkannya pada pencalonan bupati pada Pilkada 2012.

Imam Priyono, calon wali kota Yogyakarta juga menyatakan, sangat bersyukur mendapat nomor urut satu dalam Pilkada Kota Yogyakarta. Menurut dia, nomor urut satu merupakan keseimbangan. "Ini nomor yang baik, satu berarti mempersatukan atau menyatukan Yogya dalam sebuah bingkai kesatuan yang berbudaya," ujarnya.

Calon bupati Barito Selatan, Kalimantan Tengah, HM Farid Yusran, juga tak menyembunyikan kegembiraannya mendapat nomor urut satu. Ia mengatakan, nomor urut satu merupakan pertanda bahwa ia dan pasangannya bakal menjadi orang nomor satu di kabupaten ini. "Karena itu tanda awal memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) dan menjadi orang nomor satu di kabupaten ini," kata Farid Yusran seusai rapat pleno penetapan nomor urut.

Euforia mendapat nomor urut satu juga menjalar hingga Jayapura, Papua. Pasangan calon bupati dan wakil bupati Jayapura Yanni-Zadrak Afasedanya juga bersyukur dapat memperoleh nomor urut satu. "Puji syukur karena kami diberikan nomor urut satu, apalagi sejak kecil kita selalu mengejar nomor satu, satu, dan satu karena nomor satu mudah diingat, dan terpenting satu untuk lima tahun," ujar Yanni, di Jayapura, selepas penentuan nomor urut.

Senada dengan pasangannya, Zadrak Afasedanya pun berharap, agar nomor urut satu yang mereka dapat bisa menjadi modal baik untuk dapat memenangi Pilkada 2017. "Hari ini kita dapat nomor satu artinya yang menjadi pimpinan hanya satu, tidak ada dua pimpinan," kata dia.

Ketua Tim Pemenangan Yanni-Zadrak, Amos Weya, bahkan mengaitkan perolehan nomor urut itu sebagai hasil doa para pendukung mereka. "Hasil doa dari seluruh pendukung, kami tim pemenangan sudah menduga dan berpikir, dasar dari iman adalah dasar yang diharapkan, ini sesuai bukti dengan nomor satu," katanya.

Namun, apakah benar nomor urut satu lebih mudah jadi pilihan pada hari pencoblosan? Ketua Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, tak demikian kenyataannya. 

Menurut dia, menjadikan nomor sebagai angka keberuntungan, apalagi mistik sudah bukan zamannya lagi. Sikap politik dan rasional jauh lebih dibutuhkan. Sebab, kemenangan bergantung pada adu konsep dan gagasan membangun daerah antarpasangan calon dan partai politik pengusung.      rep: Dadang Kurnia, Eko Supriyadi, Yulianingsih/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement