Jumat 21 Oct 2016 14:00 WIB

Birokrasi Ruwet Hambat UU JPH

Red:

JAKARTA -- Pakar halal Anton Apriyantono menilai, pemerintah sebenarnya serius menerapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), dengan jalan membuat peraturan pelaksana yang dibutuhkan. Akan tetapi, permasalahan timbul karena birokrasi pemerintah yang ribet dan panjang.

"Perlu pembahasan panjang dan lama antarkementerian/lembaga untuk membuat peraturan di bawah undang-undang," ujar Anton kepada Republika di Jakarta, Kamis (20/10). Seharusnya sejak UU JPH diundangkan dua tahun silam, yaitu 17 Oktober 2014, beberapa peraturan pelaksana, seperti peraturan pemerintah tentang JPH dan peraturan presiden tentang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sudah selesai dalam waktu dua tahun.

Namun hingga tenggat 17 Oktober 2016, belum satu pun beleid yang rampung. Selain itu, Anton menilai, ada masalah dalam UU JPH sehingga sulit diterapkan.

Misal, kewajiban sertifikasi halal bagi semua pelaku usaha. "Penerapannya pada UMKM jelas tidak mudah," kata dia.

Apalagi, jumlah UMKM di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik per 2014 saja, mencapai 57,89 juta unit. Permasalahan lainnya, menurut Anton, adalah keberadaan BPJPH yang akan menjadi lembaga superbody.

Mantan menteri pertanian pada Kabinet Indonesia Bersatu I di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengaku, khawatir akan ada penyalahgunaan kekuasaan dengan adanya BPJPH. Terutama, jika melihat ruang lingkup kewenangan badan tersebut.

Dalam Pasal 6 UU JPH disebutkan BPJPH memiliki 10 wewenang. Seperti merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, serta melakukan registrasi auditor halal.

Anton menambahkan, keberadaan BPJPH tidak diperlukan karena sesuai kewenangan yang tercantum undang-undang, telah ada badan yang menangani beberapa urusan. Contohnya, kewenangan akreditasi berada di tangan Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Sedangkan registrasi dan pelabelan produk pangan, farmasi, dan obat-obatan itu berada dalam ranah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Meski demikian, Anton berharap, Kementerian Agama (Kemenag) harus mempercepat pembahasan peraturan pelaksana antarinstansi sekaligus dan memberdayakan masyarakat halal.

"Sehingga mereka mendapatkan masukan agar peraturan yang dibuat, sesuai kebutuhan masyarakat dan dapat diterapkan," kata dia.

Direktur Pusat Studi Bisnis dan Syariah Institut Pertanian Bogor Irfan Syauqi Beik menilai, permasalahan terkait belum rampungnya peraturan turunan UU JPH bukan pada proses birokrasi semata. "Ini kaitannya dengan bisnis yang lebih besar," ujar dia kepada Republika.

Menurut Irfan, UU JPH mewajibkan sertifikasi halal pada produk yang beredar. Banyak industri yang belum siap dengan ketentuan tersebut. Antara lain, industri farmasi. "Mereka termasuk yang belum sepenuhnya siap karena masih banyak obat yang menggunakan unsur atau bahan nonhalal," kata dia.

Meskipun demikian, menurut Irfan, UU JPH sudah bijaksana. Sebab, ada rentang waktu lima tahun bagi industri yang ada untuk menyesuaikan diri.

Tahap akhir

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Muhammad Thambrin mengatakan, proses pembahasan rancangan peraturan pemerintah yang menjadi turunan dari UU JPH terus berjalan, dan sudah mendekati tahap akhir. "Secara umum, dari hasil pembahasan substantif antarkementerian, draf RPP UU JPH telah selesai dibahas. Tinggal dirapikan normanya saja," ujar dia.

Menurut Thambrin, penyusunan regulasi tentang JPH merupakan hal yang tidak sederhana. Selain menyangkut banyak pihak, juga berhubungan dengan aspek-aspek ekonomi yang cukup rumit.

Hal ini disampaikan Thambrin, menyusul adanya penilaian tentang pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan regulasi tentang jaminan produk halal, yang macet. "Dibutuhkan waktu dan kejelian serta sinkronisasi dengan banyak pihak. Setelah disepakati oleh Tim Panitia Antarkementerian, draf RPP JPH ini akan dibahas bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian diharmonisasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Prosesnya cukup berliku," kata dia.

UU JPH merupakan instrumen hukum, yang memberikan perlindungan dan menjamin masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk halal. Penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Menurut Thambrin, setelah diundangkannya UU JPH pada 17 Oktober 2014, Kemenag terus memacu langkah untuk menyiapkan implementasi UU JPH yang berfokus pada tiga hal. Ketiga hal tersebut, yaitu sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat, penyiapan pembentukan BPJPH, dan menyusun peraturan turunan UU JPH yang meliputi RPP JPH dan rancangan peraturan menteri agama.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam membantah jika pemerintah dinilai tak serius dalam menerapkan UU JPH. Sebab, hampir setiap pekan, Kemenag bersama instansi terkait membahas draf rancangan PP turunan dari undang-undang tersebut.

"Kami sangat hati-hati terhadap masalah ini. Karena tak hanya makanan yang harus disertifikasi kehalalannya, tetapi juga seluruh bahan pangan, produk kegunaan, termasuk kosmetika dan obat-obatan," ujar Nur kepada Republika.

Ia mengatakan, pemerintah tidak ingin gegabah perihal kehalalan. Sebab, sesuai aturan dalam UU JPH, seluruh produk wajib menggunakan bahan yang terjamin kehalalannya, termasuk kosmetik dan obat-obatan, untuk memperoleh sertifikat halal pada 2019 mendatang.

Sedangkan dua produk tersebut masih ada yang menggunakan bahan nonhalal. "Karena jika undang-undang ini diterapkan, obat-obatan tersebut harus ditarik dan dilarang diproduksi. Padahal masyarakat masih membutuhkannya dan ini menyangkut nasib orang banyak," kata Nur.

Lebih lanjut, Nur mengaku, Kemenag masih terus mendiskusikan masalah ini hingga ditemukan solusi yang tepat. Sehingga draf RPP dapat segera disepakati dan diajukan ke Kemenkumham.    rep: Ratna Ajeng Tejomukti, ed: Muhammad Iqbal 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement