Kamis 29 Sep 2016 14:00 WIB

''Allah Enggak Tidur, Allah akan Balas.''

Red:
Alat berat yang dioperasikan oleh petugas merobohkan sebuah rumah saat penggusuran di pemukiman proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9)
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Alat berat yang dioperasikan oleh petugas merobohkan sebuah rumah saat penggusuran di pemukiman proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9)

"Allah enggak tidur, Allah akan balas." Kata-kata ini tersuarakan dari mulut Ibu Ici, seorang wanita paruh baya, saat menyaksikan dari jauh bagaimana ekskavator mulai menabrak dan meruntuhkan deretan bangunan di bantaran kali Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9) pagi.

Ibu Ici begitu emosional menyaksikan peristiwa tersebut. Beberapa bangunan rumah yang telah berdiri sejak puluhan tahun silam, termasuk miliknya, dirobohkan. "Rumah kami belum dirapiin. Kita di sini enggak nyewa.Kita enggak dikasih. Kita beli sendiri dengan jerih payah dan keringat sendiri!" ujarnya sambil menangis. Malangnya, Ibu Ici tidak bisa melihat langsung rumahnya karena diadang polwan yang tengah berjaga di jalan masuk.

Kegetiran juga dirasakan Mulyadi (43 tahun). Ketika mendapati rumahnya hendak diratakan ekskavator, dia mendebat salah seorang petugas dari Kelurahan Bukit Duri.

Mulyadi mempertanyakan alasan di balik tindakan pemerintah. Sebab, dalam rencana awal, bagian timur Kelurahan Bukit Duri tidak terkena penggusuran. "Mohon maaf belum dipindahin barang-barangnya, karena emang enggak ada (penggusuran) di sini," kata dia yang juga menjabat sebagai ketua RT 06 RW 12. Menurut dia, penggusuran ini menjadi kecerobohan kelurahan.

Berbeda dengan penggusuran Kampung Pulo pada 20 Agustus 2015. Saat itu, pembongkaran sempat diwarnai bentrokan fisik antara warga dan petugas. Pembongkaran kali ini tidak ada aksi kekerasan. Komunitas Sanggar Ciliwung hanya memukul benda-benda plastik selama pembongkaran. Sesekali mereka bertakbir dan berteriak.

"Ya karena sudah pasrah, sudah waktunya kali," kata Maman (64 tahun), salah seorang warga Bukit Duri, Rabu (27/9). Dia pun menyangsikan bila warga bisa memenangi persidangan karena normalisasi Sungai Ciliwung sudah menjadi ketetapan pemerintah. Hanafi (83) mengatakan, tidak adanya bentrokan dalam penggusuran ini karena warga Bukit Duri sudah paham tentang aturan yang berlaku. "Warga sini juga paham aturan, tapi ya seharusnya lebih manusiawi," katanya.

Kemarin, Pemprov DKI menggelar penggusuran terakhir di empat RW, yaitu RW 09, 10, 11, dan 12, Kelurahan Bukit Duri. Penggusuran ini terkait proyek normalisasi Sungai Ciliwung oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. Normalisasi sungai harus dilakukan untuk menangani banjir Jakarta.

Camat Tebet, Mahludin memaparkan, ada sebanyak 313 warga Bukit Duri yang sudah menempati unit rumah susun (rusun) di Rawa Bebek, Jakarta Timur. Sementara itu, ada 70 rusun yang belum diambil warga. Selain itu, ada sekitar 68 kepala keluarga (KK) yang menolak untuk direlokasi dan memilih tetap bertahan. Sebanyak 52 di antaranya punya peta bidang dan 14 lainnya tidak punya peta bidang.

Sekitar 1.107 personel gabungan dari Satpol PP hingga TNI turut dalam penggusuran kemarin. Sejumlah elemen warga dan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia berunjuk rasa di dekat lokasi penggusuran. Mereka mempertanyakan langkah pemerintah, yang tidak menghiraukan proses hukum, baik di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) maupun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Seorang dari perwakilan BEM UNJ yang ikut aksi massa, Shafwan, mengatakan mereka melawan segala bentuk penggusuran oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok. Kapolda DKI Jakarta yang baru, Kombes M Iriawan, juga sempat terlihat di lokasi untuk mengawasi jalannya penggusuran.

 

Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, sebagai pendamping warga menyatakan, kekerasan yang dilawan dengan kekerasan tidak menghasilkan perdamaian. "Hal ini pula yang membuat kami gigih menolak sikap Pemprov DKI Jakarta, yang secara  de facto dalam melakukan penggusuran paksa, cenderung mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah," ujar Sandy kepada Republika.

Sandy mengatakan, selama ini Pemprov DKI Jakarta selalu menggunakan aksi kekerasan dalam melakukan penggusuran. Penggusuran Kampung Pulo dan Luar Batang adalah buktinya.

Penggusuran dengan kekerasan menjadi pilihan kebijakan pembangunan Pemprov DKI Jakarta di era kepemimpinan Ahok. "Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan, hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Meski jalan antikekerasan, tak dapat mengatasi semua aksi kekerasan secara langsung. Namun, cara ini (demo budaya) kami yakin dapat mengubah secara perlahan pelaku dan bentuk kejahatan itu," kata Sandy.

Melanggar Hukum dan HAM

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siane Indriani menilai, penggusuran di Kelurahan Bukit Duri merupakan bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dia sangat menyayangkan penggusuran yang tetap dilaksanakan.

Padahal, Komnas HAM sudah meminta Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan penggusuran, sampai gugatan warga di pengadilan menghasilkan kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

"Pemerintah DKI Jakarta seharusnya menunggu sampai proses hukum selesai," ujar Siane. Dia mengatakan, warga memiliki hak untuk tinggal di Bukit Duri.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjelaskan, penggusuran di kawasan Bukit Duri harus dilakukan. Meskipun begitu, Ahok mengetahui proses hukum di PN Jakarta Pusat ataupun PTUN, masih berlangsung. Menurut dia, penggusuran dimaksudkan sebagai bagian dari normalisasi Sungai Ciliwung. Tujuan akhirnya adalah membuat daerah tersebut bebas dari banjir.

Lebih lanjut, Ahok mengatakan, proyek normalisasi berada di bawah kendali pemerintah pusat. "Sekarang proyek PU itu kan APBN. Kalau enggak selesai, bisa bayar enggak? Kan APBN mesti selesai akhir tahun ini," katanya.

Jika penggusuran Bukit Duri diundur, Ahok khawatir nasibnya akan seperti yang terjadi di Kampung Pulo tahun lalu. Saat itu, lantaran berlarut-larut penggusurannya, normalisasi pun terlambat dilakukan.     Oleh Muhyiddin, Lintar Satria, Noer Qomariah Kusumawardhani, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement