Senin 26 Sep 2016 12:00 WIB

Teologi Musibah

Red:

"Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar." (QS ar-Ruum [30] :41).

Rentetan musibah yang menerpa kita akhir-akhir ini, sudah selayaknya menjadi peristiwa penuh makna. Peristiwa yang menjadi momentum tepat untuk kembali kepada Allah Sang Maha Penguasa Alam Semesta. Sedikitnya ada empat poin penting titik tolak kesadaran teologi kita sebagai Mukmin, dalam memaknai peristiwa musibah yang mengharu-birukan kemanusiaan kita.

Pertama, berhusnudzan kepada Allah SWT, berbaik sangka kepada-Nya. Tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu dengan kesia-siaan (QS Shaad [38] :27). Dan tentu saja, sikap seorang Mukmin dalam menghadapi musibah adalah dengan bersabar, sembari mengharapkan balasan kebaikan dari sisi Allah SWT.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Fawaidul Fawaid-nya menjelaskan, ubudiyah kepada Allah dalam qadha' musibah ialah dengan sabar menghadapinya dan ridha menerimanya. Ridha menerima musibah lebih tinggi kedudukannya daripada sabar. Kemudian, mensyukuri musibah itu lebih tinggi daripada ridha. Perasaan ini muncul karena ada rasa cinta Allah yang tumbuh di dalam hatinya.

Kedua, selayaknya musibah ini menjadikan kita menyadari akan kelemahan diri dan ke-Mahakuasa-an Allah. Sesungguhnya, kita ini tunduk dalam pengaturan Rabb kita. Jiwa kita ini ada di tangan-Nya. Ubun-ubun kita ada di tangan-Nya. Hati kita ada di tangan-Nya. Hidup, mati, bahagia dan derita, afiat dan musibah, semuanya ada di genggaman Allah SWT.

Firman-Nya, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim)." (QS Al An'aam [6] :162-163).

Ketiga, selayaknya musibah ini menyadarkan kita akan semakin dekatnya hari kiamat. Dalam sebuah riwayat disebutkan, di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah banyak terjadinya gempa bumi. Karena itu, kita jangan merasa aman dari turunnya azab-Nya. Allah berfirman, "Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman sekiranya azab Kami datang menimpa mereka di malam hari, sedang mereka dalam keadaan lelap tertidur? Ataukah mereka merasa aman apabila azab Kami datang kepada mereka di waktu dhuha dan mereka sedang asyik bermain? Apakah mereka merasa aman dari makar Allah? Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang rugi." (QS al-'Araf [7] :97-99).

Keempat, selayaknya musibah ini menyadarkan kita untuk tidak membiarkan begitu saja terhadap kemungkaran-kemungkaran yang muncul di tengah masyarakat. Karena boleh jadi, musibah ini akibat dari perbuatan mungkar yang kita lakukan atau akibat perbuatan mungkar yang kita biarkan.

 

Suatu ketika, Zainab istri Rasulullah, pernah bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami juga akan diazab, sedang di tengah-tengah kami ada orang yang saleh?" Beliau menjawab, "Ya, jika kekejian itu sudah semakin banyak." (HR Muslim). Kapan kekejian dan kejahatan itu dikategorikan banyak? Yakni, ketika kekejian itu sudah dilakukan secara terang-terangan di tengah masyarakat. Tidak ada lagi orang yang menghentikannya, para aparat berwenang melegalkannya. Akhirnya, kemungkaran itu pun menjadi kuat karena para penguasa membiarkannya begitu saja. Wallahu a'lam.     Oleh Ahmad Agus Fitriawan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement