Selasa 30 Aug 2016 18:00 WIB

BNPB: Potensi Karhutla Masih Tinggi

Red:
Petugas Kepolisian dibantu pesawat Air Tractor BNPB melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut yang terjadi di Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau, Senin (29/8).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Petugas Kepolisian dibantu pesawat Air Tractor BNPB melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut yang terjadi di Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau, Senin (29/8).

JAKARTA -- Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau dan Jambi masih tinggi. Puncak potensi kebakaran diprediksi terjadi September mendatang.

"Di dua provinsi, yakni Riau dan Jambi, masih banyak material yang mudah terbakar. Karenanya, potensi karhutla di kedua provinsi sangat tinggi," ujar Sutopo di Gedung BNPB, Senin (29/8). Tingginya potensi kebakaran hutan dan lahan karena kondisi cuaca saat puncak musim kemarau pada September.

Menjelang Oktober, menurut Sutopo, potensi kebakaran di kedua provinsi juga masih cukup tinggi. Selain kedua provinsi tersebut, ada beberapa daerah lain di kawasan utara garis ekuator yang juga rawan kebakaran.

Sutopo mencontohkan, di Kalimantan Barat, sebagian wilayah Kalimantan Tengah dan wilayah Kalimantan Timur, termasuk rawan terjadi kebakaran. Selain itu, enam provinsi, yakni Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan masih berstatus darurat siaga kebakaran hingga menjelang akhir 2016.

Lebih lanjut, Sutopo menjelaskan, jumlah titik panas di seluruh Indonesia, yang terpantau berdasarkan sensor satelit Modis mencapai 138 titik. Sekitar 85 titik dari jumlah itu berada di Provinsi Riau. Dari 85 titik panas di Riau, sebanyak 71 di antaranya berada di Kabupaten Rokan Hilir. 

Dia mengakui, hingga Senin (29/8), kebakaran lahan masih terjadi di Kabupaten Rokan Hilir. Kebakaran tersebut terpantau telah terjadi selama empat hari terakhir.

Akibatnya, kabut asap menyelimuti Riau sejak akhir pekan lalu. Meski demikian, dia memastikan jika kabut asap tidak mengganggu kegiatan masyarakat.

Sutopo menambahkan, kabut asap juga telah mencapai Singapura sejak pekan lalu. Senin pagi, sebaran kabut asap dalam konsentrasi rendah juga masih terpantau di Singapura.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  Siti Nurbaya mengatakan, jumlah titik panas periode 1 Januari-28 Agustus pada 2016 menurun, dibandingkan periode yang sama pada 2015. Pindaian satelit NOAA18/19 menunjukkan sebanyak 8.247 titik panas tahun lalu dan 2.356 titik tahun ini. "Itu artinya, penurunan mencapai lebih dari 74,64 persen," kata Menteri LHK melalui siaran resmi kepada Republika, kemarin.

Penurunan terbesar terjadi di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Di Riau, pada periode yang sama, yakni pada 2015 terdapat 1.292 titik api, sedangkan tahun ini turun menjadi 317 titik. Sedangkan di Kalteng, dari 1.137 titik api tahun lalu turun menjadi 56 titik api pada tahun ini.

Sementara berdasarkan satelit TERRA/AQUA (NASA) dengan periode yang sama, terlihat jumlah titik api pada 2016 berkurang 74,70 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Pada 2015, tercatat ada 11.690 titik api, sedangkan tahun ini 2.937 titik api.

Siti mengatakan, pengurangan signifikan tersebut tidak terlepas dari upaya  tim terpadu di lapangan. Untuk memaksimalkan upaya pengendalian kebakaran, pemerintah provinsi juga sudah menetapkan status siaga darurat penanggulangan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

Daerah yang telah menetapkan status siaga darurat, antara lain, Provinsi Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Kalimantan Selatan. "Target kerja kita jelas, jangan sampai rakyat kembali merasakan derita asap, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita ingin menekan semaksimal mungkin jumlah titik api penyebab meluasnya dampak asap," ujarnya.

Kepala Divisi Humas dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Harry Tirto Djatmiko, mengatakan potensi hujan secara sporadis diperkirakan terjadi di wilayah Provinsi Riau. Potensi hujan alami ini diharapkan dapat menekan potensi titik panas dan persebaran kebakaran hutan dan lahan.

"Persebaran hujan diperkirakan terjadi secara tidak rata (sporadis) di bagian tengah dan barat Provinsi Riau," ujar Harry kepada Republika, kemarin. Hujan alami itu diharapkan dapat menekan pertambahan jumlah titik panas di Riau. Hujan alami nantinya juga dapat digunakan sebagai medium modifikasi cuaca berupa hujan buatan.

Harry mengatakan, hujan alami dalam intensitas lebat telah terjadi di Riau kemarin siang. Turunnya hujan dipastikan memperbaiki kondisi udara di Riau. "Kondisi udara kini sudah mulai membaik dengan konsentrasi kabut asap yang makin menipis. Setelah hujan, hingga Senin sore belum terpantau adanya penambahan titik panas," katanya.

Dari pantauan di lapangan, kabut asap di sejumlah daerah di Riau memang mulai menipis. "Alhamdulillah, kabut asap sudah semakin menipis dan membaik dibandingkan dua hari yang lalu," kata warga Kecamatan Bengkalis, Farida. Ia berharap, kebakaran lahan dan hutan yang melanda daerahnya segera padam.

Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Pekanbaru juga membatalkan instruksi meliburkan anak sekolah, terkait kabut asap.  Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Abdul Jamal mengatakan, kualitas udara di Pekanbaru masih berubah-ubah. "Saya pikir belum tahap mengkhawatirkan. Maka aktivitas sekolah masih berjalan seperti biasanya," katanya.

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti Pekanbaru dalam dua hari terakhir kemarin pagi, terpantau berkurang drastis setelah hujan merata di ibu kota Provinsi Riau itu. "Hujan pagi ini membantu sekali mengurangi kabut asap di Pekanbaru. Jarak pandang membaik dan udara menjadi segar kembali," kata Kasi Data dan Informasi BMKG Pekanbaru, Slamet Riyadi.     rep: Dian Erika Nugraheny, Melisa Riska Putri/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement