Senin 29 Aug 2016 14:00 WIB

Al-Wafa

Red:

Al-wafa artinya menepati janji. Ini adalah akhlak seorang Muslim yang sangat menentukan. Bila seorang menepati janji, sekalipun ia kafir, akan dipercaya. Sebaliknya, orang yang tidak menepati janji, sekalipun ia seorang Muslim, akan kehilangan kepercayaan.

Seorang Muslim adalah hamba Allah yang telah memilih jalan hidupnya untuk menaati-Nya. Seharusnya, ia menepati janji. Sebab, kelak ia pasti akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Allah SWT. Dalam diri seorang Muslim, ada iman yang dengannya ia harus menjamin rasa aman kepada dirinya dan kepada orang lain. Di antara yang bisa memberikan rasa aman adalah menepati janji.

Orang yang dikenal sebagai pribadi yang suka melanggar janji pasti akan membuat orang lain khawatir dan gelisah. Sebaliknya, orang yang dengan kesungguhannya menepati janji, akan membuat  orang lain tenang bermitra dengannya. Ia identik dengan al-wafa, yang tidak mungkin ia mengingkarinya.

Setiap janji memang harus ditepati. Kecuali berjanji dalam melakukan dosa, maka harus berusaha menghindarinya. Sebab, setia terhadap dosa adalah bahan bakar neraka. Karenanya, tidak boleh seorang berjanji kecuali untuk kebaikan. Maka, ketika perjanjian itu jelas dalam ketaatan dan kebaikan, segeralah ditepati dengan benar dan maksimal.

 

Suatu hari, Rasulullah SAW berjanji kepada salah seorang sahabatnya untuk bertemu di sebuah tempat. Dan, pada saat yang telah dijanjikan, Nabi SAW menunggu. Namun, sahabatnya itu tidak datang karena lupa dan baru ingat setelah tiga hari. Lalu, ia segera menuju tempat yang telah dijanjikan. Subhanallah, ia menemukan Rasulullah SAW masih bertahan di tempat itu.

Menepati janji itu butuh pengorbanan. Dan, tidak mungkin seseorang menepati janji, kecuali ia mempunyai kemauan yang keras dan ingatan yang kuat. Orang yang sering lupa sulit menepati janji. Allah SWT berfirman tentang Nabi Adam AS ketika melanggar aturan-Nya di surga. "Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (QS Thaha: 115).

Banyak orang ketika memiliki kepentingan sering kali mudah berjanji, terutama pada saat pencalonan dirinya sebagai pejabat. Agar dipilih, ia mengumbar janji-janjinya tanpa beban. Namun, begitu keinginannya tercapai, ia lupa akan janji-janjinya. Ia tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk menepatinya.

Dulu kita sering mendengar ucapan  "alwa'du dainun" (janji itu adalah utang). Setiap orang harus menyadari janjinya sebagai utang yang harus dipenuhi. Jika tidak, ia akan mudah melalaikannya. Maka, sampai kapan pun ia akan terus dihantui janji-janjinya yang tidak ditepati, seperti seorang dihantui dengan utang-utangnya yang belum dibayar.  

Anas bin Malik, sahabat Rasulullah SAW, pernah menceritakan tentang pamannya yang bernama Anas bin An Nadhar. Setelah masuk Islam, sang paman datang menemui Nabi SAW, lalu menceritakan penyesalannya karena tidak sempat ikut berjihad dalam Perang Badar. Lalu, sang paman berjanji apabila suatu saat ada kesempatan lagi untuk berperang, ia akan buktikan kesungguhannya sebagai sebagai seorang mukmin dalam membela Islam.

 

Tak lama setelah itu, bendera Perang Uhud berkobar. Anas Bin Nadhar berkata, "Ya Allah, ampuni aku karena belum sempat berperang bersama para sahabat Nabi-Mu dan bebaskan aku dari apa yang telah diperbuat orang-orang kafir." Lalu, ia maju ke tengah pasukan masuh tanpa gentar. Saad bin Muadz sempat menyaksikan ia maju seraya berkata, "Wahai Saad, aku telah mencium harumnya surga."

 

Anas bin Malik berkata, aku melihat untuknyalah sebuah ayat turun. "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya)." (QS al-Ahzab: 23).

Oleh Amir Faishol Fath 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement