Sabtu 27 Aug 2016 18:56 WIB

Daerah Berminat Ajarkan Bahaya Rokok

Red: Arifin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mendikbud Muhadjir Effendy berudiensi saat melakukan kunjungan di kantor Harian Republika di Jakarta, Rabu (24/8).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mendikbud Muhadjir Effendy berudiensi saat melakukan kunjungan di kantor Harian Republika di Jakarta, Rabu (24/8).

Penggunaan mesin membuat buruh rokok terkena PHK. 

YOGYAKARTA -- Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy akan memasukkan materi tentang bahaya rokok dalam kurikulum pendidikan, mulai tingkat sekolah dasar. Sejumlah sekolah dan daerah tertarik menjadi percontohan penerapan pengajaran ini. 

"Di SD akan mulai dikenalkan bahaya rokok. Itu merupakan bagian dari program pembentukan karakter," katanya setelah memberikan pidato pembuka dalam Muktamar Nasyiatul Aisyiyah XIII di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (26/8). 

Sesuai dengan target optimalisasi pendidikan karakter, yang dicanangkan dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo, ujar Muhadjir, materi bahaya merokok tersebut kelak diberikan kepada siswa sejak SD hingga SMA. 

"Pendidikan mengenai rokok ini sangat penting karena cukup berbahaya bagi remaja," kata mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu. Rencana ini, menurut dia, masih memerlukan pengkajian dan program percontohan di beberapa daerah. 

Selain itu, penerapan pengajaran soal bahaya rokok ini juga menunggu penetapan APBN 2017. Muhadjir mengungkapkan, meski masih dikaji, program percontohan pengajaran materi bahaya rokok telah diminati banyak sekolah serta sejumlah pemerintah kabupatan dan kota. 

"Ada banyak lembaga pendidikan, termasuk pemkot dan pemkab yang melamar untuk dimasukkan dalam pilotingitu," 

ujar Muhadjir. Nantinya, pengajaran bahaya merokok disebarkan ke seluruh Indonesia. 

Muhadjir memiliki langkah yang sama dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, tentang bahaya ro - kok. Ia menegaskan, bahaya rokok harus menjadi perhatian, apalagi saat ini ada 46 juta perokok anak. 

Karena itu, dia sepakat kalau harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Ia mengaku telah diminta pertimbangannya oleh Presiden soal kenaikan harga rokok ini. Selain harga, Yembise mendesak untuk memperketat penjualan rokok agar tak terjangkau anak. 

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyambut baik wacana kenaikan harga rokok. Ia menyebut, anak- anak muda membeli rokok karena harganya murah. Jika ini dibiarkan, ia khawatir jumlah anak yang merokok kian membengkak.

Selain itu, ia menjelaskan, terjadi kenaikan pembiayaan JKN-BPJS untuk pembiayaan penyakit tidak menular, seperti hipertensi dan penyakit cardiovascular tahun 2015 dibandingkan tahun 2014. Pada 2015, pembiayaan untuk penyakit cardiovascular mencapai Rp 6,9 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memaklumi desakan agar harga rokok naik. Namun, ia menegaskan, masih melakukan kajian sesuai undang-undang cukai. Sementara itu, Kementerian Perindustrian khawatir naiknya harga rokok membuat industri kecil rokok kolaps. 

Dalam hal ini, Presiden diminta turun tangan langsung membuat peta jalan penanganan rokok di Indonesia.

Sikap Presiden sangat penting karena peta jalan ini melibatkan sejumlah kementerian dan in stitusi. 

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo, menilai Presiden perlu segera mengambil jalan tengah, untuk menyikapi polemik wacana kenaikan harga rokok. "Memang seharusnya segera ada tanggapan dari Presiden. Sebab, wacana seperti ini menandakan kenaikan cukai dirasa memang perlu," ujar Agus ketika dihubungi Republika, Jumat.

Ia menambahkan, tak ada kaitan langsung kenaikan harga rokok dengan kekhawatiran buruh dan petani tembakau. Ia berargumen, saat ini produsen rokok sudah mulai mengimpor tembakau dan memecat buruh. 

Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI), Hasbullah Thabrany menegaskan, kenaikan harga rokok justru akan menguntungkan semua pihak, baik itu masyarakat, pemerintah, maupun industri rokok besar dan kecil.

Ini terkait hasil survei dari lembaga yang dipimpinnya, Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia selama Desember 2015 hingga Januari 2016. Sebanyak 72,3 persen perokok mau berhenti bila harga rokok per bungkusnya menjadi Rp 50 ribu.

Dengan begitu, kata Hasbullah, kenaikan harga rokok justru memperbesar pemasukan, baik kepada dunia industri maupun negara melalui cukai. Pengurangan konsumsi rokok pun melatih konsumen untuk hidup lebih sehat, karena bagaimanapun, rokok mengandung racun.

Hasbullah juga menegaskan, tak ada hubungan antara kenaikan harga rokok atau cukai dan PHK. Menurut dia, yang memunculkan banyak PHK justru keputusan pemilik perusahaan rokok untuk meng gunakan mesin.

Ia menyebut, sebuah perusahaan rokok telah mem-PHK hampir separuh dari total buruhnya, yakni dari 48 ribu menjadi 17 ribu buruh.

Apalagi, 86 persen perokok Indonesia memilih rokok putih hasil mesin, "Kalau mau melindungi industri supaya enggakterjadi PHK, yajangan kasih itu pakai mesin.''    rep: Neni Ridarineni, Dian Erika Nugraheny, Hasanul Rizqa/antara, ed: Ferry Kisihandi 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement