Rabu 24 Aug 2016 12:00 WIB

Memadamkan Nyala Api di Tanjung Balai (Bagian 1): Obrolan Kecil di Warung Tetangga

Red:

Pembakaran sejumlah wihara dan klenteng di Tanjung Balai, Sumatra Utara, beberapa waktu lalu, menambah corengan atas kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Peristiwa itu juga menggarisbawahi masih rentannya hubungan antaretnis. Apa yang sejatinya terjadi saat itu? Wartawan Republika Issha Harruma menelusuri kembali kejadian tersebut dan menuliskannya. Berikut tulisan bagian pertama.

Warung milik Kasini berukuran sekitar 2,5 kali 2,5 meter. Terletak di pinggir Jalan Karya, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan. Di warung ini, Kasini yang biasa disapa Uwok menjual penganan, minuman, dan keperluan rumah tangga. Perempuan berdarah Melayu ini menjadikan warung kecilnya sebagai sumber pemasukan. Berbagai jenis kue berbaris rapi di dalam kotak kecil di atas rak kaca di depannya. Ada lemari pendingin dengan aneka minuman yang disusun rapi di dekat rak.

Jalan Karya juga bukan jalan yang sepi. Seperti juga Tanjung Balai, sekira 189 kilometer dari Medan, yang memiliki salah satu pintu masuk dari Port Klang, Malaysia, ke Indonesia.

Kasini tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Letak warung yang tersambung dengan rumahnya itu berimpitan dengan rumah lain di sebelah kanan dan kirinya. Kasini bertetangga dengan rumah adiknya, Hermayanti, yang dihuni bersama sang ayah.

Saat ditemui Republika, pekan lalu, Uwok mengingat kembali soal Meliana, salah seorang tetangga dekatnya yang datang ke warung miliknya, awal Juli kemarin. Uwok tak ingat pasti tanggal berapa kejadian ini. Rumah Meliana dan warung Kasini hanya berselang tiga rumah, dan dipisahkan jalan aspal selebar lima meter.

Meliana sering kali menitipkan rumahnya kepada Uwok. Ini dilakukan saat Meliana dan keluarganya pergi ke Medan. Suami Meliana, Liam Tiu, pun sering duduk-duduk santai di warung Kasini kala siang hari. "Panas di rumah kak," kata Liam seperti dikenang Uwok.

Meliana kerap membeli berbagai kebutuhan di warung milik Uwok. Setelah membeli keperluan, dia langsung pulang. Tak banyak cakap dengan Kasini.

Namun kali ini, perempuan berusia 41 tahun itu tampaknya begitu ingin menyampaikan apa yang ada di benaknya. "Kak, beli inilah," kata Meliana saat baru memasuki warung ketika itu. Suara Meliana yang sedikit beratnya membuat Uwok mendongakkan kepala. Beberapa kue kecil yang terpajang di atas rak kemudian dia ambil. Perempuan setengah baya ini merupakan pembelinya yang kesekian pagi itu.

"Kak, tolong bilangkan sama Wak (ayah Uwok), kecilkanlah volume masjid itu. Ribut kali. Bising, sakit kupingku," ujar Meliana, seingat Uwok. Kalimat ini membuat Uwok tersentak.

Rumah Meliana dan keluarga memang tepat berada di depan Masjid Al-Makshum. Meliana menghuni rumah bernomor 32 itu sudah sekitar delapan tahun terakhir. Di rumah berpagar biru dengan kusen berwarna senada itu, Meliana tinggal bersama suami dan sepasang anaknya yang masih duduk di bangku SMA dan telah tamat SMA. Dua anaknya yang lain pergi merantau ke Kota Medan.

Sesaat begitu mendengar permintaan Meliana, napas Uwok tertahan. Sejak lahir 1968 silam, belum pernah Uwok mendengar komplain seperti itu. Tetangga-tetangga beretnis Tionghoa dan lain agama, seperti dua rumah di sebelah kanan hunian Meliana pun belum pernah menunjukkan protes mereka terhadap masjid, apalagi umat Islam di lingkungan Jalan Karya ini.

Meski sedikit merasa kesal, emosi itu tak Uwok tampakkan. Dia menyahut dengan tenang. Dengan intonasi biasa, perempuan kelahiran Tanjung Balai itu berucap akan menyampaikan pesan tersebut kepada bapaknya. "Ya nanti kusampaikanlah."

Uwok lalu mengalihkan perhatiannya ke lembar demi lembar seribuan rupiah yang diberikan Meliana. Ia memasukkan uang itu ke kaleng. Tak ada niat di benak Uwok untuk memperpanjang percakapan pada pagi hari itu.

Menjelang hari berakhir, anak Uwok, Yani, menutup warung kecil milik mereka. Kegelisahan Uwok akan kalimat Meliana, dia pendam sendiri. Aktivitasnya berjalan seperti biasa hingga esok hari kembali tiba. Uwok pun kembali membuka lembar-lembar kayu penutup warungnya.

Seperti hari biasanya, dia kembali duduk di bangku yang selalu berada di balik rak kecil. Bagaimanapun, pesan Meliana tak pernah bisa lepas dari pikirannya yang berkecamuk. Banyak hal menjadi pertimbangannya. Jika disampaikan kepada bapaknya, Kasidik, bukan tak mungkin, keluhan Meliana akan berbuntut panjang.   ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement