Selasa 23 Aug 2016 12:00 WIB

BPPT: Pesawat Hujan Buatan Kurang

Red:
Helikopter BNPB jenis MI-8 melakukan pemadaman dari udara di atas lahan yang terbakar di Pekanbaru, Riau, Rabu (10/8).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Helikopter BNPB jenis MI-8 melakukan pemadaman dari udara di atas lahan yang terbakar di Pekanbaru, Riau, Rabu (10/8).

JAKARTA -- Jumlah pesawat pinjaman, yang dikerahkan memicu hujan buatan untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dinilai tak optimal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meminta armada ditambah untuk mengatasi kebakaran yang meluas di berbagai daerah.

Kepala Laboratorium Modifikasi Cuaca Nasional BPPT, Tri Handoko Seto, mengatakan, pemerintah sebaiknya memprioritaskan penambahan pesawat untuk kelangsungan program hujan buatan dalam jangka panjang. "Berkaca kepada program hujan buatan dan potensi karhutla tahun ini, semestinya pemerintah segera memikirkan penambahan pesawat dan sarana pendukung lain," ujar Tri kepada Republika di Jakarta, Senin (22/8).

Sejauh ini, program hujan buatan masih diakomodasi dengan pesawat dan helikopter yang dipinjam dari beberapa instansi, salah satunya TNI. Status pinjaman peralatan itu menyebabkan proses hujan buatan harus menyesuaikan dengan kegiatan pemilik alat.

Tri mencontohkan, hujan buatan sempat dihentikan pada 17 Agustus lalu karena pesawat Casa 212 milik TNI, digunakan untuk kegiatan militer. "Padahal, penyemaian garam untuk hujan buatan harus tepat. Artinya, menyesuaikan kondisi awan cumulus. Jika penyemaian tidak tepat, hujan buatan pun tidak akan terjadi secara maksimal," tutur Tri.

Kondisi yang dimaksud adalah terkumpulnya gumpalan-gumpalan awan cumulus dalam jumlah banyak di suatu lokasi. Karena itu, kesiapan pesawat dalam jumlah mencukupi sangat dibutuhkan, agar prediksi penyemaian awan tidak meleset.

Ia juga memaparkan, tidak menutup kemungkinan potensi kebakaran pada 2017 dan selanjutnya akan jauh lebih besar. Faktor perubahan iklim saat ini membuat potensi kebakaran di Indonesia sukar diprediksi.

Berdasarkan kesepakatan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada delapan provinsi yang semestinya mendapat bantuan program hujan buatan secara merata. Di antaranya, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Aceh, dan Kalimantan Timur.

Namun, keterbatasan sarana pesawat dan helikopter membuat program hujan buatan baru bisa diprioritaskan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, Jambi, dan Riau. Hingga saat ini, BPPT hanya bisa menggunakan dua pesawat Casa 212, yang dipinjam dari TNI AU secara bergantian untuk mengakomodasi hujan buatan untuk lima daerah tersebut.

Satu pesawat saat ini menjalankan program hujan buatan di Riau. Sementara itu, karena kondisi di Sumatra Selatan cukup stabil, satu pesawat lain digeser untuk membantu hujan buatan di Kalimantan Barat. "September mendatang, kami baru dapat pinjaman satu pesawat lagi," kata Tri.

Pindaian sejumlah satelit menunjukkan, peningkatan titik panas di berbagai daerah sepanjang Agustus ini. Menurut pindaian satelit milik lembaga Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ada lonjakan jumlah titik panas yang terpantau pada Agustus ini di seluruh Indonesia. Jumlah total titik panas sepanjang Agustus ini terpantau sebanyak 1.113 titik, melonjak empat kali lipat dari jumlah pada Juli lalu sebanyak 247 titik.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), ATT Nyarong, mengatakan jumlah titik panas di wilayahnya mengalami penurunan sejak Ahad (21/8). Meski demikian, dia masih menanti kedatangan bantuan hujan buatan dari pemerintah pusat.

Menurut Nyarong, sejak Ahad (21/8) hingga Senin (22/8) pagi, tercatat ada 57 titik panas di seluruh wilayah Kalbar.

Data tersebut, tutur dia, berdasarkan sensor satelit Terra dan Aqua sejak Ahad malam.

Berdasarkan pantauan, jumlah titik panas tertinggi berada di lima wilayah, yakni Kabupaten Sambas (29 titik), Kabupaten Kubu Raya (delapan titik), Kabupaten Mempawah (enam titik), Kabupaten Bengkayang (lima titik), dan Kabupaten Kapuas Hulu (empat titik).

Nyarong melanjutkan, penurunan jumlah titik panas di Kalbar disebabkan turunnya hujan pada beberapa hari terakhir. Sebelumnya, jumlah titik panas di sana mencapai 636 titik pada Jumat (19/8) lalu.

Meski titik panas menurun secara signifikan, Nyarong menegaskan, masih menanti bantuan hujan buatan ataupun water bombing dari pemerintah pusat. Pihak Pemprov Kalbar, kata dia, telah mengirimkan permohonan resmi bantuan hujan buatan kepada BNPB pekan lalu.

Menurut dia, hujan buatan sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemungkinan naiknya jumlah titik panas. Sebab, pembakaran lahan mineral dan potensi kebakaran lahan gambut di Kalbar masih tinggi. "Akibat pembakaran itu, kualitas udara di Kalbar secara umum juga masih berstatus tidak sehat. Kami cukup beruntung karena hujan alami turun sebelum bantuan hujan buatan tiba," kata dia, kemarin.

Sedangkan di Riau, pembakaran lahan gambut masih terus terjadi hingga Senin (22/8). Tercatat ada empat wilayah yang saat ini menjadi lokasi pembakaran lahan gambut.

Koordinator Administratif Manggala Agni Riau, Ikhsan Abdillah, menuturkan, empat wilayah lokasi kebakaran lahan gambut, yakni Kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir. "Kebakaran lahan gambut terparah terjadi di Rokan Hilir dan Bengkalis. Yang dibakar adalah lahan gambut milik masyarakat," ujar Ikhsan ketika dihubungi Republika, Senin (22/8).

Mayoritas lahan yang dibakar oleh pemiliknya sendiri tersebut belum ditanami. Namun, ada beberapa lahan gambut yang sudah ditanami dan ikut terbakar.

Meski terjadi di beberapa titik, Ikhsan mengungkapkan, asap akibat pembakaran belum sampai mengganggu kegiatan masyarakat. "Asap memang ada, tetapi tidak sampai mengganggu. Sudah dibantu pemadaman dengan helikopter juga," katanya.

Ikhsan mengakui, jika pemadaman kebakaran di lahan gambut kali ini cukup sulit dilakukan. Untuk memadamkan api di sebidang tanah berukuran 100 meter persegi, diperlukan sekitar 5.000 liter air. Ditambah lagi, hujan tidak turun secara merata di Riau. "Padahal yang terbakar luasnya rata-rata di atas satu hektare," kata Ikhsan.    rep: Dian Erika Nugraheny, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement