Sabtu 30 Jul 2016 16:00 WIB

Di Detik Terakhir, 10 Terpidana Mati Urung Ditembak

Red: Arifin

JAKARTA -- Pemerintah menunda eksekusi 10 dari 14 terpidana mati kasus narkoba yang seharusnya dilaksanakan pada Jumat (29/7) dini hari. Regu tembak baru mengeksekusi empat terpidana mati yang terdiri atas satu WNI dan tiga lainnya merupakan warga asing. 

Mereka yang telah ditembus peluru tajam regu tembak di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Cilacap, Jawa Tengah, adalah Freddy Budiman (WNI), Seck Osmane (Senegal), Michael Titus (Nigeria), dan Humprey Ejike (Nigeria). 

Dalam pernyataannya di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyampaikan alasan menunda eksekusi 10 terpidana mati. `'Ketika di detik terakhir, menjelang eksekusi ada yang di tangguhkan karena faktor tertentu.''

Ia mencontohkan, pada pelaksanaan eksekusi mati gelombang II pada April 2015, terjadi penundaan eksekusi terhadap terpidana mati Mary Jane. Saat itu, penangguhan hukuman mati dilakukan dengan alasan Mary Jane masih dibutuhkan sebagai saksi. 

`'Ternyata, tadi pagi (kemarin) menjelang eksekusi, jampidum melaporkan (penangguhan) juga, setelah dilakukan pembahasan,'' ungkap Prasetyo. Keputusan tersebut berdasarkan kajian sejumlah pihak dengan mempertimbangkan aspek yuridis maupun nonyuridis. 

Ia membantah tudingan bahwa penangguhan terjadi lantaran adanya tekanan dari pihak luar. "Saya selaku jaksa agung menerima yang diputuskan tim di lapangan, penangguhan memang perlu dilakukan. Tak ada tekanan diplomatik," ujar Prasetyo. 

Meski demikian, ia mengakui, ada masukan asing soal hukuman mati di Indonesia. Menurut dia, ada imbauan dari Inggris dan Australia, tetapi Indonesia tetap menjalankan hukuman mati karena darurat narkoba dan mereka harus menghormatinya. 

Prasetyo menambahkan, 10 terpidana mati yang urung dieksekusi selanjutnya dikembalikan ketahanan masing-masing. Ia belum bisa memastikan sampai kapan penundaan berlangsung. `'Saya belum bisa pastikan tahun ini atau kapan," ujarnya.

Ia juga meminta maaf karena akses informasi terhadap pelaksanaan hukuman mati gelombang III ini terkesan tertutup. "Maaf terkesan menutup akses karena saya menghendaki eksekusi berjalan tertib, aman, lancar," ujarnya berdalih. 

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad menjelaskan, sampai kemarin, ia belum tahu apakah 10 terpidana mati itu bakal mengajukan grasi. Dengan berbagai pertimbangan, kata dia, saat ini eksekusi baru untuk empat terpidana mati dulu. 

Salah satu pertimbangan, yaitu perbuatan, termasuk secara masif dalam mengedarkan narkoba. Noor menyebut, Osmane merupakan pemasok ke pengedar lainnya, demikian pula dengan Titus. `'Ejike juga licik dengan cara kamuflase warung makannya, itulah alasan saya.''

Dari peninjauan hukum, lanjut Noor, mereka telah dua kali mengajukan peninjauan kembali (PK) dan semuanya ditolak. Sedangkan, Freddy Budiman, semua orang tahu bagaimana dia menjadi gembong narkoba. 

Keputusan kasasinya juga hukuman mati, yang bersangkutan tidak pernah mengajukan grasi kepada Presiden karena haknya sudah gugur karena lewat waktu. `'Dan, selama di lapas, yang bersangkutan masih mengendalikan peredaran narkoba," kata Noor.

Istana enggan menanggapi terlalu jauh atas eksekusi mati gelombang III yang pada akhirnya hanya dilakukan pada empat terpidana. 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, eksekusi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. 

"Mengenai jumlah yang dieksekusi, kewenangan itu sepenuhnya ada pada Jaksa Agung," kata Pramono di kantornya, Jumat (29/7). Ia mengaku telah berkomunikasi dengan Prasetyo dan memperoleh penjelasan penangguhan eksekusi 10 terpidana mati itu. 

Pramono menyadari, ada sejumlah pihak yang tak suka dengan keputusan pemerintah memerlakukan hukuman mati.

Namun, pemerintah memandang, eksekusi mati atas para gembong narkoba harus dilakukan demi menyelamatkan generasi bangsa yang lebih banyak.

"Misalnya, kenapa Freddy Budiman dieksekusi, itu karena alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan,'' ujar Pramono. 

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mendorong penuntasan eksekusi terpidana mati tahap III. Penuntasan ini penting sebagai pesan kepada semua sindikat narkoba agar jangan pernah menganggap remeh ketegasan yang melekat pada sistem hukum Indonesia.

Simpang siur Kabar simpang siur mengenai sudah atau belumnya pelaksanaan eksekusi, sempat beredar di kalangan wartawan di Dermaga Wijayapura pada Jumat (29/7) sekitar pukul 00.00 WIB.

Sebagian mendapat kabar eksekusi telah dilakukan, tapi sebagian lainnya tidak yakin eksekusi telah berjalan karena hujan disertai badai melanda kawasan sekitar Nusakambangan. Beberapa sumber menyebutkan, eksekusi berlangsung pukul 00.45 WIB ketika hujan mulai reda. 

Namun, bila benar eksekusi dilakukan pada waktu tersebut, tak bisa sekaligus. Sebab, hujan belum benar-benar berhenti, bahkan masih diselingi hujan deras lagi. Sejumlah petugas LP menyatakan, terpidana mati sudah berada di ruang isolasi LP Batu sejak pukul 23.30 WIB. 

Mengingat hujan deras yang kemudian turun, eksekusi baru dilakukan setelah hujan reda. Setelah dieksekusi pukul 00.45 WIB, sekitar pukul 04.25 WIB empat jenazah yang dieksekusi diseberangkan dari Dermaga Sodong di Nusakambangan ke Dermaga Wijayapura, Cilacap. Setiap jenazah diangkut dengan ambulans.

Jenazah Titus dan Osmane dibawa ke Jakarta, Freddy Budiman ke rumah keluarganya di Jalan Krembangan Baru, Surabaya, dan dimakamkan di TPU Bharatu Sedayu.  Sementara itu, jenazah Ejike dibawa ke krematorium Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas. 

Tiap-tiap ambulans tersebut diiringi kendaraan patwal dari kepolisian dan satu mobil Innova yang digunakan untuk mengangkut keluarga terpidana. Iring- iringan mobil ke luar dari Dermaga Wijayapura berurutan.

Namun, karena semula direncanakan ada 14 jenazah yang akan diangkut ambulans, nomor ambulans menjadi tidak urut, seperti jenazah Freddy yang diangkut ambulans bernopol R 1958 HB meng gunakan nomor urut 7. 

Jenazah Titus menggunakan ambulans bernopol R 9592 BB dengan nomor 6, ambulans bernopol R 9596 CB yang mengangkut Ejike menggunakan nomor 11, sedangkan ambulans bernopol R 9595 CB yang membawa jenazah Osmane bernomor 9.

Sepuluh terpidana mati lainnya yang menunggu eksekusi adalah Obina Nwajagu (Nigeria), Okonkwo Nongso Kingsley (Nigeria), Eugene Ape (Nigeria), Osiaz Sibanda (Zimbabwe), Frederic Luttar (Zimbabwe), Zulfiqar Ali (Pakistan), dan Gurdip Singh (India).  Sisanya tiga WNI, yaitu Merry Utami, Pujo Lestari, dan Agus Hadi.      rep: Fauziah Mursid, Halimatus Sa'diyah, Eko Widiyatno, Eko Supriyadi/antara, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement