Selasa 26 Jul 2016 13:00 WIB

Kalla Minta SP3 Dievaluasi

Red:
Wakil Preside RI, H.M. Jusuf Kalla, memberikan sambutan pada Puncak Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2016 di Siak, Prov. Riau, Jum'at, (22/7).
Foto: dok. Humas Kemenhut
Wakil Preside RI, H.M. Jusuf Kalla, memberikan sambutan pada Puncak Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2016 di Siak, Prov. Riau, Jum'at, (22/7).

MAKASSAR -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus dievaluasi.

Polda Riau yang mengeluarkan SP3 tersebut beralasan kurangnya bukti menjadi pertimbangan langkah mereka. "Tentu ada alasannya, namun kemudian SP3 itu harus bisa dievaluasi di tingkat lebih tinggi,'' kata Kalla di Makassar, Senin (25/7).

Ia menilai, dikeluarkannya SP3 bukan berarti pemerintah tak serius menangani kasus kebakaran hutan. Menurut dia, kepastian hukum dibutuhkan bagi seseorang yang terjerat kasus, termasuk SP3 dengan catatan ada bukti dan data yang jelas.

Dengan demikian, kata Kalla, tak bisa begitu saja pihak berwajib mengeluarkan SP3. ''Kalau ada data yang baik, tapi di-SP3 itu salah. Karena itulah, di atasnya, harus di kejaksaan, Mabes Polri harus evaluasi itu," kata Kalla menegaskan.

Kemarin, aktivis lingkungan di Riau yang tergabung dalam Satgas Rakyat Riau menggelar aksi massa di Mapolda Riau. Mereka mengecam langkah polda menerbitkan SP3, padahal diyakini 15 perusahaan tersebut terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015.

Koordinator Database dan Administrasi Walhi Riau, Fandy Rahman, yang ikut dalam aksi massa menuturkan, para aktivis mempertimbangkan untuk melayangkan gugatan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan Polda Riau.

''Kita masih diskusi dengan teman-teman pengacara untuk praperadilan,'' ungkap Fandy. Ia menyebut, SP3 mencederai keadilan rakyat Riau dan bertentangan dengan instruksi Presiden Joko Widodo yang menghendaki perusahaan pelaku pembakaran ditindak tegas.

Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan mengungkapkan, proses penerbitan SP3 oleh Kapolda Riau Dolly Bambang Hermawan pada Januari lalu tak transparan. Karena itu, ia mempertanyakan mengapa penerbitan SP3 baru diketahui pada Juli 2016.

''Penerbitan SP3 itu sangat mencurigakan,'' kata Riko. Tak hanya itu, kebijakan tersebut juga bertolak belakang dengan mandat Kapolda Riau sebelumnya, Condro Kirono, yang berkomitmen memerangi pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau.

Saat ini, jelas Riko, upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan sangat mundur. ''Ini yang kita lihat, salah satu kegagalan negara dalam menangani kebakaran hutan, ya dikeluarkannya SP3 di kepolisian,'' tuturnya.

Bagi dia, sekarang ini sudah mendesak adanya pengadilan lingkungan mengingat banyaknya vonis ringan dan bebas dari hakim. "Nah, kita lihat tuntutan jaksa atas perusahaan-perusahaan, rata-rata juga ringan yang berarti mereka tak paham lingkungan.''

Seperti penegakan kasus tipikor dengan dibentuk KPK, Riko berharap, pemerintah meniadakan SP3 bagi kasus karhutla. Ia beralasan, kasus korupsi dan lingkungan sama-sama, kasusnya spesialis. Tak bisa pidana atau perdata biasa.

Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo menyebut, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki akan segera melaporkan kepada Presiden Joko Widodo  soal penghentian belasan perkara kasus karhutla.

Johan menjelaskan, pekan lalu, Presiden menginstruksikan Teten mengecek langsung kondisi hutan di Riau. Ini setelah ada laporan munculnya sejumlah titik api baru di sana. Saat itulah, Teten mendapatkan laporan terbitnya SP3 terhadap 15 perusahaan.

"KSP yang akan melaporkan ke Presiden seperti apa tindak lanjutnya," kata Johan. Sebelumnya, Menteri Koordintor Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan keluarnya SP3 itu berbahaya.

Kepala Divisi Humas Polri Boy Rafli Amar mengatakan, pihak-pihak yang tidak setuju terhadap penghentian penyidikan oleh Polda Riau bisa melakukan praperadilan. Ia menjelaskan, biasanya penyidik menghentikan suatu kasus lantaran beberapa sebab.

Di antaranya, penyidik tidak menemukan unsur pidana dan tidak cukup alat bukti. Semua menjadi wewenang Polda Riau untuk memutuskan apakah alat bukti cukup atau tidak. ''Bagi pihak-pihak yang mengkritisi, saya sarankan lakukan praperadilan,'' katanya.

Kasubdit IV Direktorat Kriminal Khusus Polda Riau, AKBP Hariwiyawan Harun, juga  menyambut baik rencana para aktivis di Riau melayangkan praperadilan. ''Ini upaya cerdas, jadi tidak terus membuat opini ke publik," ujarnya.

Penerbitan perppu

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mendesak Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menghukum pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik secara perseorangan, kelompok, maupun korporasi.

Perppu ia nilai akan efektif meniadakan praktik mafia peradilan atas kasus pembakaran hutan dan lahan. Nantinya, perppu memuat tentang pemegang izin yang bertanggung jawab mutlak atas keamanan wilayahnya dari kebakaran.

Dengan begitu, pemegang izin akan berupaya menjaga agar tidak terjadi kebakaran lahan, baik disengaja maupun karena lalai. Jika terjadi kebakaran di wilayah izin tersebut, pemegang izin dikenakan sanksi berlipat.

Sanksinya berupa pidana korporasi, administratif, dan kewajiban ganti kerugian lingkungan hidup sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Poin lainnya, proses pembuktian di pengadilan dilakulan secara terbalik.

Ini artinya, jelas Chalid, perusahaan diwajibkan membuktikan bahwa mereka tidak sengaja atau tidak lalai sehingga bisa dilepaskan dari jeratan hukum.     rep: Dessy Suciati Saputri, Halimatus Sa'diyah, Umi Nur Fadhilah, Mabruroh/antara, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement