Sabtu 23 Jul 2016 15:04 WIB

Erdogan Kendalikan Militer Turki

Red: Arifin

ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memperkuat cengkeramannya atas militer Turki dengan mengumumkan rencana restruk turisasi dalam waktu dekat. Hal ini ia lakukan menyusul diberlakukannya keadaan darurat dalam waktu tiga bulan ke depan. 

"Dewan Agung Militer yang diketuai oleh perdana menteri, akan mengawasi restrukturisasi angkatan bersenjata Turki dan saya yakin struktur yang baru ini akan lebih baik," ujar Erdogan dalam wawancara eksklusif dengan Reuters, Jumat (22/7). Erdogan mengata kan, Pemerintah Turki kini akan lebih meningkatkan ke waspadaan terhadap upaya kudeta yang bisa saja kembali terjadi. 

Hal ini dikatakan Erdogan setelah status darurat diberlakukan di negara tersebut. Status keadaan darurat yang diperkirakan berlangsung lebih dari sebulan itu memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan cepat dan efektif terhadap siapa pun yang mendukung kudeta militer tersebut. Banyak pihak yang khawatir hal ini dapat memicu tindakan keras para penguasa. 

Keadaan darurat memungkinkan presiden dan kabinet baru dalam memotong parlemen dan memberlakukan undang-undang baru. Semua dilakukan dalam upaya membatasi dan menangguhkan hak serta kebebasan pihak-pihak tertentu yang dianggap diperlukan. 

Menurut Erdogan, Turki berusaha meyakinkan kepada seluruh warga dan dunia bahwa demokrasi tetap akan ditegakkan. Tidak ada rezim otoritarian masa lalu yang kembali terjadi di negara tersebut. 

Krisis di Turki berawal dari upaya kudeta oleh sejumlah faksi militer di Istanbul pada 16 Juli lalu. Saat itu, helikopter, pesawat tempur, dan tank telah dikerahkan untuk mengepung markas kepolisian dan parlemen. 

Meski begitu, upaya tersebut gagal. Selain karena tak sepenuhnya didukung militer Turki, kudeta juga ditolak parlemen, termasuk yang berasal dari partai oposisi. Warga Turki juga berbondong-bondong turun ke jalan dan menyatakan dukungan atas pemerintahan Erdogan.

Akibat upaya kudeta itu, sebanyak 246 orang, termasuk sejumlah pelaku, tewas. Selain itu, 2.000 orang juga dilaporkan terluka.

Sejak kudeta gagal itu, Erdogan berkali-kali menuding ulama Turki, Fethullah Gulen, yang terkenal moderat dan banyak mendirikan lembaga pendidikan sebagai dalangnya. Ia meminta Pemerintah Amerika Serikat memulangkan ulama yang sementara ini tinggal di Pennsylvania tersebut.

Selain Gulen, media-media propemerintah di Turki juga menyebut keterlibatan mantan panglima Angkatan Udara Turki, Akin Ozturk, sebagai dalang utama percobaan kudeta. Anadolu, kantor berita milik Pemerintah Turki, menyebut bahwa Ozturk juga telah mengaku sebagai perencana kudeta.

Pemerintah Turki juga melakukan upaya besar-besaran memberangus dukungan atas kudeta. Sejauh ini, setidaknya 60 ribu tentara, polisi, hakim, jaksa, pegawai sipil, serta guru dan tenaga pendidikan telah dicopot, ditahan, ataupun di investigasi.

Dalam wawancara dengan Reuters, Erdogan kembali menegaskan tudingannya terhadap Gulen. Menurut Erdogan, kelompok pergerakan Gulen yang akrab disapa Hizmet akan diperlakukan sebagai organisasi teroris separatis di Turki. "Orang- orang ini telah menyusup dalam organisasi negara dan melakukan pemberontakan," kata Erdogan.

Penangkapan dan pemecatan-pemecatan tersebut mendorong Uni Eropa memperingatkan untuk mengakhiri secepatnya keadaan darurat di Turki.

Mereka menilai, hal itu dapat dijadikan Pemerintah Turki sebagai alat untuk menumbangkan supremasi hukum dan melanggar HAM. 

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengkhawatirkan, Turki bakal menggunakan lembaga- lembaga demokrasi yang ada di negara itu untuk melemahkan hak-hak sipil di negara tersebut.

"Tidak ada pembenaran akan hal apa pun yang melemahkan kebebasan HAM," ujar Mogherini. 

Terkait kecaman Uni Eropa, Wakil Perdana Menteri Turki Nurman Kurtulmus menyatakan kepada stasiun televisi lokal bahwa negaranya sementara waktu akan menunda penerapan Konvensi Eropa atas Hak Asasi manusia. Menurut Kurtulmus, mereka akan meniru Prancis yang juga melakukan hal serupa saat diserang ISIS pada November tahun lalu. 

Sementara itu, nada pemberitaan sejumlah media Barat kian negatif terhadap perkembangan langkah-langkah Erdogan. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan the Economistdisebutkan bahwa upaya kudeta Turki yang gagal memberikan kesempatan kepada Erdogan untuk memperkuat kekuasaannya. Pengadilan yang independen di negara itu juga disebut dapat benar-benar hilang akibat peristiwa itu. 

BBCjuga menerbitkan sebuah artikel yang berjudul "Erdogan: Presiden Turki yang Paling Kejam". Ia dinilai sebagai sosok pemimpin yang memecah belah sejarah modern Turki. Kemudian, dalam jejaring sosial Twitter, akun resmi the New York Timesmenulis judul artikel tentang Erdogan dan pendukungnya. Dituliskan bahwa semua orang yang mendukung Presiden Turki itu adalah domba dan akan mengikuti apa pun yang dikatakan olehnya. 

Sedangkan di Turki, ribuan warga terus melaksanakan aksi menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Erdogan. Stasiun televisi milik pemerintah, TRT World, mengabarkan bahwa ribuan orang berunjuk rasa di Jembatan Bhosporus pada Kamis (21/7) malam. Mereka berjalan bersama-sama dari ujung jembatan tersebut yang masuk dalam wilayah Asia.

Para peserta aksi membawa bendera Turki sembari menyanyikan lagu-lagu nasionalistis. Menjelang malam hari, aksi tersebut melumpuhkan lalu lintas. Erdogan meminta warga Turki terus melakukan aksi-aksi serupa guna menjaga demokrasi di negara itu.    rep: Puti Almas, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement