Sabtu 23 Jul 2016 14:06 WIB

KAPOLRI: DOKTRIN TNI KILL OR TO BE KILLED

Red: Arifin
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Wacana pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme harus dibahas secara hati-hati.

 

JAKARTA -- Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, seperti yang direncanakan lewat revisi Undang-Undang Penanggulangan Terorisme (UU Antiterorisme) belum sepenuhnya disetujui Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ia mengkhawatirkan akuntabilitas penindakan bila dilakukan oleh tentara. "Disikapi dulu, dipahami dulu.

Penindakan itu kanupaya yang mengandung risiko," ujar Tito di Mabes Polri, Jumat (22/7). Risiko yang ia maksud adalah kemungkinan munculnya korban tewas dalam penindakan ataupun menyebabkan luka.

Dalam konteks penegakan hukum, Tito mengatakan, hal tersebut harus dipertanggungjawabkan. Tito menegaskan, siapa pun aparatur negara masih terikat rambu-rambu dalam UU tentang HAM yang tak memiliki masa kedaluwarsa dan bisa berlaku surut. 

Terkait hal itu, Tito mengindikasikan bahwa selama ini ada persepsi berbeda dalam pelatihan anggota kepolisian dan prajurit TNI. "Penegak hukum dilatih untuk itu, untuk melakukan tindakan-tindakan proporsional. Sedangkan, doktrin dari teman-teman TNI umumnya yang saya pahami kill or to be killed(membunuh atau dibunuh)," ujar Tito.

Ia menuturkan, selepas melakukan penindakan, bia sanya petugas kepolisian juga melakukan olah TKP.

Dalam olah TKP ini, kata Tito, Polri melakukan hal- hal teknis dengan cara yang amat detail melalui tim forensik. Penggeledahan dan penyitaan juga harus melalui tata cara hukum supaya perlindungan HAM terjamin. 

Pelibatan TNI dalam penindakan terorisme, kata Tito, mau tak mau harus disertai mekanisme serupa.

Jika tak disertai hal-hal itu, penindakan bisa memunculkan penyalahgunaan kewenangan. Ujung-ujungnya, penanggulangan terorisme rentan digugat karena dinilai melanggar HAM.

Lebih jauh, Kapolri juga mengkritisi pandangan bahwa tentara bisa dilibatkan dalam penangkapan terduga teroris untuk kemudian proses hukumnya diserahkan pada polisi.

Sebab, jika dilakukan dengan cara yang salah, penangkapan bisa memicu hilangnya barang bukti dan meruntuhkan kasus hukum terhadap terduga yang bersangkutan. 

Tito menegaskan, wacana pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme harus dibahas secara hati- hati. Ia tak menyoal pelibatan TNI selama menggunakan pola yang sama dengan Operasi Tinombala untuk mengejar pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso, di Poso, Sulawesi Tengah. "Karena, semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegak an hukum kepolisian," kata dia.

Penyertaan TNI secara resmi dalam pemberantasan terorisme baru direncanakan melalui rancangan revisi UU Antiterorisme pada awal tahun ini. Rencana revisi itu digagas pemerintah menyusul terjadinya bom bunuh diri dan penembakan di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 13 Januari 2016. 

Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menilai, serangan itu sebagai momentum untuk meluaskan kewenangan aparat mencegah aksi terorisme. Selain pelibatan TNI, rancangan revisi UU Antiterorisme juga mengusulkan masa penahanan terduga terorisme yang lebih lama dan mekanisme penanganan terduga yang lebih longgar.

Di lain pihak, Pusat Penerangan Mabes TNI merilis argumen Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal perlunya pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Dalam paparan itu, Panglima TNI mengatakan, sudah ada pergeseran definisi terorisme belakangan. "Masa lalu definisi terorisme adalah kejahatan kriminal, sedangkan masa kini terorisme adalah kejahatan terhadap negara," tutur Panglima TNI. Panglima kemudian mengutip Resolusi 1566 Dewan Keamanan PBB bahwa terorisme tidak sama dengan aksi kriminal karena mengancam aturan sosial, keamanan individu, keamanan nasional, perdamaian dunia, dan ekonomi. 

Jenderal Gatot juga mengutip teori Boaz Ganor dari International Institute For Counter Terrorism, Interdiscplinary Center, tentang terorisme. Menurut Panglima TNI, Ganor berpendapat hukum kriminal tidak akan mampu menjerat terorisme. Hukum perang lebih cocok didefinisikan menjerat aksi terorisme yang bertujuan politik dan sering menggunakan metode operasi layaknya militer. Panglima TNI memberikan contoh penanganan teroris di Amerika Serikat yang melibatkan CIA dan militer serta menjadi agenda prioritas Pemerintah Amerika Serikat.     rep: Mabruroh, Intan Pratiwi, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement