Rabu 20 Jul 2016 14:00 WIB

Perpeloncoan Masih Terjadi

Red:

BANDUNG -- Imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan bagi sekolah-sekolah untuk tak melakukan perpeloncoan kepada siswa baru belum sepenuhnya dipatuhi. Ratusan pengaduan soal praktik tersebut diterima Kemendikbud pada hari pertama sekolah, Senin (18/7).

Anies Baswedan menyebutkan, pada hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru, kemarin, tercatat sudah ada 186 aduan ke Kemendikbud. "Jadi, memang kemarin sudah ada laporan. Pengaduan yang kita terima jumlahnya 186," kata Anies di SMAN 8 Kota Bandung, Selasa (19/7). Laporan aduan masuk melalui berbagai layanan, seperti pesan pendek, telepon, ataupun surat elektronik.

Salah satunya, ia menyebutkan, ada aduan di salah satu sekolah di Bogor yang melakukan kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) tak sesuai aturan dan memberatkan siswa. Di sekolah yang ia masud, siswa-siswi diminta datang ke sekolah pada pukul 05.00 WIB.

Menurut Mendikbud, laporan pengaduan yang masuk langsung ditindaklanjuti. Pihaknya langsung mendatangi sekolah bersangkutan untuk mengonfirmasi laporan. "Tadi pagi langsung mendatangi sekolah di Bogor yang mengharuskan siswanya datang jam 05.00 pagi. Tim kita langsung bergerak," ujar Mendikbud.

Ia menyebutkan, ada sekitar 78 ribu sekolah di Indonesia. Kepada semua sekolah, sudah dikeluarkan aturan untuk melarang pengenalan sekolah dengan metode yang membebankan siswa, seperti perpeloncoan. Anies mengklaim, akan menindak tegas sekolah yang terbukti membiarkan adanya praktik perpeloncoan di lingkungan sekolah tersebut.

Sanksi yang diberikan bisa berupa pemberhentian kepala sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab. "Kalau peraturan dilarang, jangan digunakan," kata dia menegaskan.

Selain di Bogor, Kemendikbud juga menemukan pelanggaran kegiatan MPLS di SMA Negeri (SMAN) 5 Karawang, Jawa Barat. Penemuan ini berasal dari pengaduan masyarakat yang kemudian telah diinvestigasi Kemendikbud, kemarin.

Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud Daryanto mengungkapkan, pelanggaran pertama yang terindikasi adalah siswa diminta datang pada pukul lima pagi. Pengaduan ini terbukti saat dia mengamati sekolah tersebut sejak pukul 04:45 WIB. Namun, setelah dikonfirmasi, hal ini dilakukan sekolah untuk mencegah macet sehingga siswa tidak terlambat.

Pada jam-jam tersebut, Daryanto juga melihat, sebanyak 440 peserta ini tampak bertadarus di kelas yang disertai pantauan dari kakak kelas. Kegiatan ini justru dikritisi Daryanto karena tidak semua peserta beragama Islam. "Itu (tadarus) positif, tapi kenapa yang non-Muslim juga dilibatkan? Lebih baik mereka jangan dicampurkan," kata dia. Ia juga berharap kegiatan itu tidak dilakukan oleh kakak kelas, tapi guru.

 

Pengaduan berikutnya terkait perintah membawa barang-barang. Daryanto menerima laporan bahwa anak-anak diminta membawa tanaman anggrek dan tanaman obat setiap grupnya. Padahal, kegiatan seperti ini tidak diperkenankan dilakukan oleh sekolah.

 

Di samping itu, dia juga mengingatkan sekolah tersebut agar tidak mengadakan MPLS melebihi jam dua siang. Namun, sayangnya, dia menerima protes dari orang tua yang anaknya baru bisa keluar sekolah pada pukul 14:30 WIB.

Kepala SMAN 5 Karawang, Jawa Barat, Agus Setiawan tidak menampik terdapat kekurangan selama pelaksanaan kegiatan MPLS. Oleh sebab itu, dia menegaskan, siap memperbaiki kekurangan tersebut pada hari berikutnya, termasuk tahun depan. Agus menerangkan, segala kekurangan yang terjadi pada kegiatan ini bukan berdasarkan perintahnya. "Seperti halnya perintah membawa tanaman," kata Agus saat ditemui di SMAN 5 Karawang, Selasa (19/7).

Menurut Agus, sekolahnya memang memiliki program sekolah adiwiyata. Sekolah memang berencana untuk menambah koleksi tanaman di sekolah. Namun, tidak pernah terpikirkan olehnya untuk meminta siswa membawa tanaman obat ataupun anggrek. "Ini ternyata terjadi di luar sepengetahuan saya," kata Agus berdalih.

Pada kesempatan yang sama, salah seorang peserta MPLS berinisial DE mengatakan, panitia memang memerintahkan satu grup membawa tanaman obat dan anggrek. "Anggrek itu nggak apa-apa sebenarnya, tapi jadi berat karena susah saja karena lagi gak musim," ujarnya menambahkan. Para peserta juga diminta membawa sarapan sendiri yang serupa. Menurut dia, ketentuan ini agak memberatkan bagi para peserta.

Sekretaris Jenderal Komnas Pendidikan, Andreas Tambah, menyatakan bahwa pelanggaran dalam MPLS bukan sepenuhnya kesalahan sekolah. Ia menilai bahwa hal itu juga bisa diakibatkan kurangnya sosialisasi antiperpeloncoan oleh Kemendikbud.

"Ini ternyata masih ada kejadian seperti ini. Menurut saya, walau sudah dikampanyekan, ini belum tentu sampai ke daerah pelosok," kata Andreas Tambah saat dihubungi Republika, kemarin. Apalagi, menurutnya, kampanye ini baru dilakukan hanya beberapa bulan sebelum penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Kejadian perpeloncoan di sekolah, kata dia, sudah seharusnya diinvestigasi terlebih dahulu. Dengan kata lain, perlu dicermati apakah kejadian tersebut terjadi akibat ketidaktahuan atau keteledoran pihak sekolah. Kalau sudah tahu tapi tetap terjadi, dia melanjutkan, sekolah tentu harus mendapatkan teguras keras.

Menurut Andreas, otoritas masa pengenalan lingkungan sekolah saat ini bukan wewenang senior, melainkan kepala sekolah dan guru. "Senior tidak boleh ambil alih secara menyeluruh. Kalau melibatkan kakak kelas atau OSIS, berarti guru dan kepala sekolahnya nggak mau capek, " ujar dia.    rep: Zuli Istiqomqh, Wilda Fizriyani, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement