Rabu 20 Jul 2016 14:00 WIB

Rumah Sakit Dianggap tak Kooperatif

Red:
Sejumlah orang tua dari anak korban vaksin palsu beradu argumen dengan pegawai Rumah Sakit Harapan Bunda untuk meminta kejelasan tentang anaknya yang diduga mendapat vaksin palsu dari rumah sakit tersebut di Jakarta, Jumat (15/7).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Sejumlah orang tua dari anak korban vaksin palsu beradu argumen dengan pegawai Rumah Sakit Harapan Bunda untuk meminta kejelasan tentang anaknya yang diduga mendapat vaksin palsu dari rumah sakit tersebut di Jakarta, Jumat (15/7).

JAKARTA -- Orang tua pasien mengeluhkan sikap rumah sakit yang tidak kooperatif dalam menyelesaikan kasus vaksin palsu. Para orang tua tetap menuntut tanggung jawab penuh rumah sakit atas nasib kesehatan anak mereka yang sebelumnya divaksin palsu.

Sejumlah perwakilan orang tua pasien Rumah Sakit Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur, menyampaikan pengaduan ini ke DPR kemarin, Selasa (19/2). Perwakilan orang tua pasien, August Octavinus Siregar, mengatakan, RS Harapan Bunda lambat merespons tuntutan dalam penyelesaian kasus vaksin palsu. ''RS Harapan Bunda menunjukkan sikap tak kooperatif,'' katanya. Sikap tak kooperatif RS Harapan Bunda itu ditunjukkan dalam menanggapi pendirian poskok crisis center oleh para orang tua. Posko tersebut didirikan pekan lalu.

Posko ini bertujuan menginventarisasi kepentingan para pasien yang menjadi korban vaksin palsu. Sayangnya, kata August, upaya pendirian posko tak memperoleh respons baik dari manajamen RS Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur. ''Manajemen Harapan Bunda seakan-akan tidak mau rugi dan mau enaknya sendiri. Padahal, selama ini kami selalu bersikap kooperatif dan tidak pernah anarkistis," ujar August.

Dalam pertemuan Selasa (19/7) siang, kata dia, DPR mendukung adanya crisis center. Ketua DPR Ade Komaruddin menjanjikan segera berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan terkait aduan ini. "Ketua DPR bilang, pembentukan crisis center dibutuhkan untuk mengungkap secara jelas siapa saja yang terlibat dalam peredaran vaksin palsu di rumah sakit ini dan siapa saja yang menjadi korban," kata August.

Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sayang Bunda, Bekasi, yang termasuk pengguna vaksin palsu, pada Senin (18/7) memvaksinasi ulang anak-anak yang sebelumnya diberi vaksin palsu. Namun, orang tua pasien tetap menuntut tanggung jawab penuh rumah sakit.

Ketua Forum Korban Vaksin Palsu RSIA Sayang Bunda, Bekasi, Teja Yulianto, berharap pihak rumah sakit tetap bertanggung jawab atas penggunaan vaksin palsu. Ia menyatakan, vaksinasi ulang itu merupakan program pemerintah.

''Kami tetap meminta pertanggungjawaban Rumah Sakit Sayang Bunda. Tanggung jawab mereka sejauh mana terhadap korban," kata Teja. Orang tua pasien, jelas dia, mendesak adanya pengecekan kesehatan secara menyeluruh terhadap anak korban vaksin palsu.

Selain itu, orang tua pun meminta rekam medis, seperti dari tahun berapa RSIA Sayang Bunda menggunakan vaksin palsu serta meminta pihak rumah sakit menjelaskan dampak pemberian vaksin palsu bagi anak-anaknya.

''Kami juga meminta pihak rumah sakit bertanggung jawab dengan kondisi kurang baik yang terjadi pada anak pascavaksinasi ulang,'' kata Teja menegaskan. Semua tuntutan itu telah disampaikan kepada manajemen rumah sakit pada Jumat (15/7).

Rencananya, rumah sakit akan memberikan tanggapan atas tuntutan orang tua pasien pada Jumat (22/7) mendatang. "Tuntutan mengenai rekam medis, kita sudah dapat resumenya dari rumah sakit. Ini karena desakan orang tua, tim koordinator, dan tim advokat,'' ungkap Teja.

Teja menyebutkan, setidaknya ada 100-an anak korban vaksin palsu di RSIA Sayang Bunda, Bekasi, tetapi baru 78 yang terdata. Ia juga menyatakan, vaksinasi ulang pada Senin (18/7) di luar pengetahuan anggota forum.

Sebab, hanya sekitar 21 orang tua yang dihubungi untuk mengikuti vaksinasi ulang. Teja menyesalkan banyak ahli kesehatan yang justru membuat vaksin palsu. "Seharusnya, mereka memberikan yang terbaik buat anak-anak yang jadi generasi penerus bangsa," ujarnya.

Kemarin, Pemerintah Kota Bekasi menyampaikan data sementara jumlah balita yang terpapar vaksin palsu. Sekretaris Daerah Kota Bekasi selaku Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Jawa Barat, Rayendra Sukarmadji, menyebut sekitar 165 balita diberi vaksin palsu.

Mereka mendapatkan vaksin palsu dari dua rumah sakit, yaitu RS St Elisabeth di Jalan Narogong, Kemang Pratama, Kota Bekasi, dan RS Permata, Mustikajaya, Kota Bekasi. RS Hosana Medika, Rawalumbu, belum menyerahkan data anak yang diberi vaksin palsu.

''Data sementara yang kami terima, di RS St Elisabeth ada 125 orang, RS Permata ada 40 orang, sedangkan RS Hosana Medika menyusul," kata Rayendra. Ia menambahkan, Pemkot Bekasi juga telah memanggil ketiga direktur rumah sakit itu soal vaksinasi ulang pasien.

Apabila ketiga rumah sakit tersebut tidak siap, Rayendra menyatakan, Pemkot Bekasi siap mengambil alih kewenangan untuk vaksinasi ulang. Namun, pemkot terlebih dahulu mendorong tanggung jawab rumah sakit kepada pasien terindikasi penerima vaksin palsu.

Menyebar

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek belum dapat memastikan adanya rumah sakit swasta lain yang menerima vaksin palsu. Hingga Selasa (19/7), masih ada 14 RS swasta yang ditetapkan secara resmi sebagai penerima vaksin palsu.

"Sampai saat ini, baru 14 RS yang terbukti menerima vaksin palsu. Soal dugaan adanya rumah sakit lain yang juga terlibat, masih menunggu informasi dari Bareskrim Mabes Polri," ujar Nila saat konferensi pers di gedung Kemenkes, Selasa (19/7).

Adapun 14 rumah sakit swasta yang dimaksud adalah RS DR Sander (Bekasi), RS Bhakti Husada (Cikarang, Bekasi), Sentral Medika (Gombong), RSIA Puspa Husada, Karya Medika (Tambun, Bekasi), Kartika Husada (Bekasi), dan Sayang Bunda (Bekasi).

Rumah sakit lainnya, Multazam (Bekasi), Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Cikarang, Bekasi), Harapan Bunda (Kramat Jati, Jakarta Timur), Elizabeth (Bekasi), Hosana (Cikarang), dan Hosana (Bekasi). Menurut Nila, tenaga kesehatan yang kini menjadi tersangka bisa dicabut izin praktinya.

Pencabutan dilakukan kalau mereka terbukti melakukan pelanggaran berat. Jika tenaga kesehatan terbukti tahu ada vaksin palsu, memesan, lalu memakaikan vaksin tersebut kepada anak, dipastikan hukumannya berat. Izin praktiknya bisa dicabut.

Sanksi diberikan setelah mereka melalui proses hukum. Sementara itu, pencabutan izin operasional rumah sakit swasta yang terlibat kasus vaksin palsu masih menanti keputusan peradilan. Kalau rumah sakit salah secara administratif, sanksinya administratif.

Untuk produsen vaksin palsu, dapat dikenai sanksi berat karena terindikasi melakukan tindakan yang disengaja.

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi Setiawaty mengatakan, tidak dapat mencabut izin rumah sakit yang terbukti manajemennya terlibat penggunaan vaksin palsu. Ia menyerahkannya pada putusan pemerintah.

''Kita menanti proses dari Bareskrim Polri dan juga keputusan peradilan," kata Susy menjelaskan.    rep: Ahmad Islamy Jamil, Umi Nur Fadhilah, Dian Erika Nugraheny, Kabul Astuti, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement