Rabu 29 Jun 2016 15:00 WIB

Permintaan di Malam Lailatul Qadar

Red:

Suatu ketika, Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW, "Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah Lailatul Qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?" Beliau menjawab, "Katakanlah (pintalah): Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu anni' (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku)." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Menarik redaksi pada doa pada malam Lailatul Qadar tersebut, Allah disapa dengan 'Afuwun, bukan Ghafur. Imam al-Ghazali, seperti dikutip M Quraish Shihab dalam Tasir al-Mishbah, membedakan keduanya. Al-'Afuw mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan, dan sebagainya. Sedangkan, al-Ghafur berarti menutup. Sesuatu yang menutup pada hakikatnya tetap wujud, hanya tidak terlihat, sedangkan yang dihapus, hilang, kalaupun tersisa, paling bekasnya saja.

Orang yang mendapatkan maafnya Allah akan terhapus dosa-dosanya. Adakah kebahagiaan yang lebih tinggi dalam hidup ini selain memperoleh ampunan dan maaf Allah SWT? Dalam kitab Bustanul Khatib diceritakan, sufi kenamaan al-Hasan al-Bashri (wafat 110 H) didatangi seseorang yang mengeluhkan paceklik dan kekeringan, maka beliau menasihati, "Beristighfarlah". Lalu, datang lagi orang lain mengadukan kemiskinannya, beliau menasihati, "Beristighfarlah." Kemudian, datang lagi orang mengadukan masalah sedikitnya anak, sang sufi berpesan, "Beristighfarlah."

Salah seorang muridnya bertanya, "Mengapa istighfar menjadi solusi?" Hasan al-Bashri menjawab, "Tidakkah kamu membaca firman Allah SWT dalam surah Nuh ayat 10-12: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'."

Orang yang mendapat ampunan dan maafnya Allah juga akan terhindar dari siksa api neraka sehingga ia masuk dalam surga. (QS Ali Imran [3]: 133). Bahkan, Allah mengurungkan azabnya tatkala di suatu negeri masih terdapat orang yang beristighfar. (QS al-Anfal [8]: 33).

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam mesti memperbanyak istighfar agar Allah tak menurunkan azab yang sifatnya menyeluruh akibat kezaliman yang dilakukan segelintir orang (QS al-Anfal [8]: 25). Maka, jadikanlah Ramadhan ini sebagai bulan muhasabah, mengingat kembali banyaknya dosa yang telah kita lakukan sehingga mendorong kita untuk memohon ampunan Allah SWT.

 

Yahya bin Muadz berkata, "Siapa saja yang beristighfar dengan lisan, tetapi hatinya masih terikat dengan maksiat, masih berniat untuk kembali, serta mengulang dosa setelah bulan Ramadhan, maka puasanya ditolak. Dan, pintu diterimanya amal menjadi tertutup di hadapan wajahnya."

Hal ini juga pernah diungkapkan Ibn 'Athaillah al-Sarkandi dalam Buhtaj al-Nufus, "Orang bermunajat memohon ampun kepada Allah, tetapi masih tenggelam dalam maksiat laksana seseorang yang sakit lalu meminta obat ke dokter dan meminumnya, tapi ia membiarkan ular menggigit tubuhnya."

Selagi masih dalam sepuluh terakhir Ramadhan, mari kita tingkatkan kualitas ibadah kita dengan puasa, shalat malam, tadabur Alquran, sedekah, iktikaf, dan tentu memperbanyak istighfar dengan harapan kita bertemu dengan malam Lailatur Qadar. Jika saja kita gagal meraih ampunan Allah, Rasullullah bersabda, "Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya)." (HR Tirmidzi).

Maka, senantiasalah mengajukan satu permintaan pada setiap malam Ramadhan, "Allahumma innaka 'afuwwun karim tuhibbul 'afwa fa'fu anni'." Amin.  

Oleh Muhammad Kosim

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement