Rabu 29 Jun 2016 15:00 WIB

Vaksin Palsu Diduga Beredar di 9 Provinsi

Red:
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid (Tengah) bersama Sekretaris Utama BPOM Reri Indriani (kiri) dan Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Togi J. Hutajulu (kanan) saat memberikan keterangan kepada wartawan
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid (Tengah) bersama Sekretaris Utama BPOM Reri Indriani (kiri) dan Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Togi J. Hutajulu (kanan) saat memberikan keterangan kepada wartawan

JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan indikasi peredaran vaksin palsu di sembilan provinsi. Temuan tersebut adalah hasil pemeriksaan yang dilakukan berbagai perwakilan BPOM sejak Kamis (23/6) lalu.

Menurut Plt Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan, laporan dari sembilan provinsi tersebut adalah yang tercatat hingga Selasa (27/6) kemarin. Indikasi dari peredaran vaksin palsu tersebut adalah ditemukannya 28 sarana kesehatan yang melakukan pengadaan vaksin di luar jalur resmi Kemenkes.

Sebanyak 28 sarana pelayanan kesehatan yang membeli vaksin di luar jalur resmi itu, kata Johan, berada di kota-kota besar, seperti Palu, Sulawesi Tengah; Pekanbaru, Riau; Serang, Banten; Bandung, Jawa Barat; Surabaya, Jawa Timur; Yogyakarta, DIY; Denpasar, Bali; Mataram, NTB; dan area Jabodetabek.

Sarana-sarana kesehatan itu, ungkap Tengku, umumnya merupakan rumah sakit swasta, klinik, dan rumah sakit bersalin. Namun, dia enggan mengungkapkan nama-nama 28 sarana kesehatan itu lantaran menurutnya harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan Kemenkes.

Sejauh ini, BPOM tak sampai menyita vaksin-vaksin yang dibeli lewat jalur tak resmi. "Kalau bukan dari sumber resmi, dapat diduga atau ada kemungkinan dia palsu. Tapi, belum tentu palsu. Jadi, enggak kita sita. Kita segel di tempat. Ini baru diduga dia palsu karena dari sumber yang tak resmi," kata Johan dalam jumpa pers di kantor BPOM, kemarin.

Mengutip pernyataan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tengku berharap publik tidak panik perihal vaksin palsu ini. Sebab, anak atau bayi dapat diimunisasi ulang sebelum usianya mencapai 18 tahun.

Menurutnya, celah oknum pemalsu vaksin cenderung pada sisi permintaan (demand) konsumen. Yakni, orang tua yang merasa perlu anak-anaknya divaksin di luar program resmi pemerintah.

Terkuaknya kasus praktik peredaran vaksin palsu berawal dari informasi masyarakat mengenai bayi yang meninggal dunia setelah diimunisasi di Bogor, Jawa Barat. Dari kasus itu, kepolisian mengendus praktik produksi vaksin palsu yang telah berjalan belasan tahun.

Penindakan bermula saat Bareskrim Polri menangkap direktur CV Azka Medical terkait peredaran vaksin palsu di Bekasi pada Mei lalu. Kepolisian kemudian melakukan penyitaan di sejumlah apotek di Jakarta Timur dan menggerebek produsen di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.

Pabrik vaksin palsu tersebut membuat vaksin campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG. Kendati demikian, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan, vaksin palsu yang beredar adalah vaksin impor, seperti vaksin influenza dan varichela.

Kepolisian menemukan bahwa setidaknya empat rumah sakit di Jakarta disusupi vaksin palsu. Para pelaku juga disebut telah berpraktik sejak 2003 dengan keuntungan mencapai Rp 25 juta per pekan.

Kepolisian kembali menangkap seorang tersangka anggota sindikat peredaran vaksin palsu tersebut pada Senin (27/6) malam. Dengan begitu, sudah 16 orang dijadikan tersangka terkait produksi dan peredaran vaksin palsu tersebut.

Plt Kepala BPOM mengatakan, hingga Selasa (28/6), Bareskrim Polri belum juga meminjamkan sampel barang bukti kepada BPOM. Sebab itu, BPOM kesulitan menganalisis kandungan vaksin-vaksin palsu tersebut.

Para pelaku memalsukan vaksin yang merupakan produk-produk PT Biofarma, PT Sanofi Grup, dan PT Glaxo Smith Kline (GSK). Di antara produknya, yaitu vaksin Engerix B, vaksin Pediacel, vaksin Eruvax B, dan vaksin Tripacel. Kemudian, vaksin PPDRT23, vaksin Penta-Bio, vaksin TT, dan vaksin campak. Selain itu, vaksin hepatitis B, vaksin polio bOPV, vaksin BCG, dan vaksin Harvix. "Pabrik palsu seperti ini baru ketemu sekarang (tahun 2016)," kata Tengku.

Dia menyayangkan, adanya sejumlah rumah sakit atau klinik yang melakukan pengadaan vaksin di luar jalur resmi. Itu patut diduga terkait harga yang terlampau murah dibandingkan harga normal. Tengku mencontohkan, vaksin Pediacel yang asli bisa seharga Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu. Namun, vaksin palsu Pediacel hanya dijual Rp 300 ribu.

Bagaimanapun, lanjut dia, ancaman bahaya dari vaksin palsu lebih kepada fakta bahwa anak atau bayi yang seharusnya sudah mendapatkan perlindungan imunisasi kini menjadi rentan lantaran mendapatkan vaksin palsu. Sejauh ini, lanjut Tengku, BPOM baru mengetahui kandungan zat satu vaksin palsu.

Namun, menurutnya, tak ada kandungan zat berbahaya di dalamnya. "Kemarin yang tahu isinya cuman Tuberkulin. Yang lainnya belum diperiksa. Itu isinya gentamicin. Itu antibiotik dicampur air. Itu efeknya apalagi dipakai cuman 0,05 mililiter itu kan tuberkulin untuk mantuk. Itu boleh dikatakan aman," katanya menjelaskan.

Sementara itu, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Semarang juga menemukan vaksin BCG (bacillus calmette guerin) yang terindikasi palsu. "Vaksin BCG yang terindikasi palsu itu kami temukan di dua klinik kesehatan di Semarang saat melakukan penelusuran di puluhan rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan," kata Kepala BPOM Semarang Endang Pudjiatmi, kemarin.

Pada vaksin BCG yang diduga palsu itu, BPOM Semarang tidak menemukan izin edar dan waktu kedaluwarsanya. Ia menjelaskan bahwa guna memastikan apakah itu palsu atau tidak, BPOM telah mengambil contoh vaksin yang terindikasi palsu itu dan kemudian dikirim ke laboratorium di Jakarta.

Dari uji di laboratorium, kata dia, akan diketahui komposisi apa yang digunakan, termasuk zat aktif apa yang terkandung di dalamnya. "Jika hasil pengujiannya nanti vaksin itu dinyatakan palsu, kami akan merekomendasikan kepada intansi pemberi izin operasional klinik tersebut untuk memberi sanksi berupa peringatan keras, memberhentikan sementara kegiatan, atau pemberhentian izin selamanya," katanya.   rep: Hasanul Rizqa/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement