Selasa 28 Jun 2016 13:00 WIB

Degaibisasi

Red:

"Bagi orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat mempunyai sifat buruk; dan Alah mempunyai sifat Yang Mahatinggi dan Dia Maha Perkasa, Mahabijaksana." (QS an-Nahl: 60).

Ayat ini diturunkan di tengah kaum yang arogan dan gemar berpikir pendek. Mereka hanya mampu memandang hidup hari ini sebagai segalanya. Sementara, otaknya yang tumpul tidak sanggup menembus nalar apa yang seharusnya dipersiapkan buat hari depan.

Hari ini bagi mereka tempat persinggahan gelora nafsu. Berjibaku dengan kekuasaan tanpa rambu. Siapa yang kuat diburu, yang melas ditindas. Laki-laki sang pejantan dibiarkan bernapas.  Bayi wanita dibanting di halaman derita. Dikubur hidup-hidup di tengah lubang tanpa daya. Begitulah kisah serakah yang menghinggapi wilayah sebelum firman Tuhan ini didengungkan.

Kaum jahiliyah dengan para sukunya direkam Tuhan karena kebiasaan buruknya melakukan kejahatan kemanusiaan dan menuduh Tuhan memiliki anak perempuan. Kejahatan kemanusiaan dilakukan kaum jahiliyah dengan cara membunuh bayi perempuan tanpa rasa belas kasih. Sementara, mereka menuduh Tuhan mempunyai anak perempuan dilakukannya sebagai bentuk cibiran yang menyesatkan. Mereka benar-benar meletakkan Tuhan ke dasar terendah bagai semut diinjak kaki.

Bagi kaum jahiliyah, Tuhan itu lemah, tak berdaya, sama lemahnya dengan kaum wanita, karena itu jangan lagi panggil nama Tuhan dan wanita di bumi ini. Tuhan dan kaum wanita mesti dikeluarkan dari pelataran bumi dan selanjutnya dipendam atau dikubur ke bumi yang paling dasar.

Dalam pandangan jahiliyah, hanyalah laki-laki yang boleh berkuasa di bumi. Laki-laki berbuat sekehendaknya dan mengusai segalanya. Seluruh posisi dan pemilikan didesain agar berada di pihaknya. Ketua suku adalah laki-laki, harta uang milik laki-laki, waris milik laki-laki, kawin milik laki-laki, kebun milik laki-laki, rumah milik laki-laki, dan semua demikian seterusnya. Pada puncaknya, antara laki-laki saling konflik dan beradu anggar karena berebut monopoli yang menyebabkan tatanan sosial menjadi hancur.

Demikian  gambaran tragis kaum yang tidak percaya adanya hari depan. Hari adanya kehidupan setelah kematian di mana umat manusia mempertanggungjawabkan baik-buruknya perbuatan. Siapa yang baik, di sanalah kelak meraih surga dan yang buruk meraih siksa neraka. Itulah hari akhirat, hari manusia bertemu pada yang gaib.

Pada abad modern ini, perilaku jahiliyah yang menafikan kepercayaan kepada sesuatu yang gaib (degaibisasi) hampir menjamur di seluruh lini kehidupan. Manusia modern tipe ini berupaya menggerus hal-hal yang dipandang abstrak untuk menjemput kehidupan yang menurutnya lebih konkret dinikmati dan dilezati.

Perilaku degaibisasi ini jelas sangat berbahaya karena menafikan nilai-nilai ketuhanan di bumi. Akibatnya, peradaban bumi menjadi musnah karena diisi oleh para penghuni bumi yang melakukan keserakahan dan penzaliman. Ibadah puasa merupakan momentum yang tepat untuk menangani perilaku degaibisasi yang amat membahayakan. Hal ini karena dalam ibadah puasa terkandung ritual privasi yang dapat menumbuhkan kesadaran teologis.

Pelaku puasa ditantang menjalaninya secara rahasia dan tidak bisa dideteksi orang lain, kecuali pelaku puasa itu sendiri yang bertanggung jawab akan jujur dan tidaknya berpuasa. Dalam kondisi inilah, pelaku puasa mulai merasakan kehadiran Tuhan (kesadaran teologis) yang mengawasi segala garak-geriknya di manapun berada.

Oleh karena itu, ia akan merasakan ketakutan sehingga tidak mungkin melawan perintah Tuhan yang menyebabkan ia terjerumus dalam perilaku degaibisasi, yaitu prilaku tidak percaya adanya Tuha /akhirat yang menurut Alquran dipandang sebagai perilaku yang paling buruk. Wallahu a'lam.   Oleh Pror Dr Fauzul Iman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement