Selasa 14 Jun 2016 13:00 WIB

Puasa dan Kesalehan Sosial

Red:

Puasa memang ibadah yang amat istimewa. Hikmah dan kebajikannya bersifat multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan pribadi (individual), tetapi sekaligus juga kesalehan sosial.

Puasa memiliki  dua semangat yang sangat baik dilihat dari perspektif pendidikan akhlak. Pertama, semangat pencegahan (kaffun wa tarkun) dari hal-hal yang destruktif (al-muhlikat). Semangat yang pertama ini menjadi basis kesalehan individual.

Lalu, kedua, semangat pengembangan alias motivasi dan dukungan (hatstsun wa `amalun) terhadap hal-hal yang memuliakan, konstruktif, atau dalam bahasa Imam Ghazali, dukungan terhadap hal-hal yang menyelamatkan manuisa (hatstsun ila al-munjiyat). Semangat yang kedua ini menjadi pangkal kepedulian sosial yang pada gilirannya membentuk kesalehan sosial.

Dimensi sosial dalam ibadah puasa sangat kentara ditilik dari beberapa hal ini. Pertama, orang yang puasa harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Ini merupakan latihan agar kita mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat yang berpusat di perut (syahwat al-bathn). Ia juga merupakan sarana agar kita bisa berempati kepada orang-orang miskin. Orang yang tak pernah lapar, ia tidak bisa berempati kepada orang lain. Mungkin itu sebabnya, ketika Malaikat Jibril AS menawarkan kepada Rasulullah SAW kekayaan melimpah (bukit emas), beliau menolaknya, seraya bekata: "Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari."

Penting diketahui, lapar itu ada dua macam, yaitu lapar biologis dan lapar psikologis. Lapar biologis lekas sembuh dengan makan. Lapar psikologis, seperti lapar kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan, tak gampang disembuhkan. Puasa menyembuhkan kedua macam lapar itu sehingga kita bisa terbebas dari penyakit vested interest, untuk selanjutnya lebih peduli dan sadar akan kepentingan orang lain (sosial).

Kedua, orang yang puasa disuruh banyak bederma. Nabi SAW menyebut, bulan puasa sebagai "Syahr al-Muwasah" atau bulan kepedulian sosial. Rasulullah SAW sendiri merupakan orang yang paling banyak bederma, dan dalam bulan Ramadhan, beliau lebih kencang lagi bederma, melebihi angin barat. (HR Hakim dari Aisyah).

Ketiga, pada penghujung puasa, kita disuruh mengeluarkan zakat fitrah, di luar zakat mal, tentu saja. Kewajiban ini seakan melengkapi dimensi sosial dari ibadah puasa. Karena, tanpa zakat, pahala puasa kita belum sampai kepada Allah. Ia masih bergantung dan berputar-putar di atas langit.

Di luar semua itu, puasa melatih dan mendidik kita agar menjadi manusia bermental giver (pemberi), bukan taker (peminta-minta). Ungkapan take and give yang populer di masyarakat kita, tentu tidak sejalan dengan sepirit puasa. Ungkapan itu semestinya berbunyi, "giving and receiving."

Orang puasa sejatinya sedang meneladani Allah, sejalan dengan doktrin, "Takhallaqu bi akhlaq Allah." Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Nabi Muhammad SAW juga demikian. Maka, orang yang berpuasa diminta meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu kepada umat manusia dengan cara berbuat baik dan berbagi kegembiraan.

Dengan begitu, puasa membuat kita cerdas, baik secara moral, spiritual, maupun sosial, dan inilah karakter orang takwa. Wallahu a`lam!    Oleh DR A Ilyas Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement