Senin 06 Jun 2016 14:00 WIB

Kolaborasi Fiskal-Moneter Untuk Mendorong Pertumbuhan

Red:

Bulan lalu di harian ini, saya menulis "(Ternyata) Ekonomi Masih Lemah". Tampaknya, penilaian saya ini senada dengan penilaian lembaga pemeringkat S&P Global Rating (S&P), yang pekan lalu (Rabu, 1/6), kembali tidak menaikkan peringkat surat utang pemerintah Indonesia ke peringkat layak investasi (investment grade).

S&P tak mengubah peringkat surat utang jangka panjang Indonesia pada posisi BB+. Dengan demikian, S&P merupakan satu-satunya lembaga pemeringkat yang belum memberikan rating layak investasi bagi Indonesia.

S&P menilai, kerangka fiskal Indonesia sebenarnya menunjukkan perbaikan. Namun, kinerja fiskal kita dianggap belum meningkat. Indonesia gagal mendapatkan peringkat layak investasi karena pendapatan per kapita masih rendah, sekitar 3.600 dolar AS pada 2016. Hal ini menunjukkan, kebijakan ekonomi yang sebelumnya dinilai belum mampu menciptakan kesejahteraan.

S&P memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di 2016 akan berada di level lima persen. S&P menilai, pertumbuhan akan ditopang oleh investasi pemerintah yang diproyeksikan tumbuh enam persen. Sedangkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016-2019 diperkirakan rata-rata 5,5 persen.

Defisit anggaran 2016 diprediksi melebar menjadi 2,7 persen dari PDB, lebih tinggi dibanding 2015 yang sebesar 2,5 persen dari PDB. Angka defisit diperkirakan melebar menjadi rata-rata tiga persen dari PDB sepanjang 2016-2019. S&P juga menyoroti kualitas kredit korporasi yang terus menurun sejak akhir 2014, karena permintaan konsumen yang melemah dan harga komoditas yang anjlok.

***

Pertumbuhan ekonomi kita saat ini memang belum terlalu mengesankan, disamping kondisi ekonomi global juga kurang mendukung. Perekonomian kita masih memiliki ketergantungan pada komoditas yang tinggi. Sehingga, ketika harga komoditas jatuh dan permintaan juga menurun, perekonomian di sejumlah daerah langsung terimbas.

Hal ini bisa dilihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua yang pertumbuhan ekonominya masih rendah. Bahkan, Kalimantan Timur dan Papua, pada kuartal pertama 2016 ini masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif).

Pemerintah telah berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui realokasi belanja negara ke sektor produktif, antara lain, dengan memperbesar belanja modal dan infrastruktur. Dorongan pemerintah melalui investasi di sektor infrastruktur telah memberikan hasil positif dalam mendorong investasi serupa oleh pihak swasta. Pertumbuhan sektor konstruksi cukup tinggi. Pada 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tumbuh 6,65 persen dan pada kuartal pertama 2016 ini tumbuh 7,87 persen (year on year).

Namun, yang perlu dipahami adalah bahwa dampak peningkatan investasi di sektor infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi rumah tangga, belum bisa maksimal bila proyek infrastruktur masih dalam tahap konstruksi. Pengaruh positif dari proyek infrastruktur yang masih dalam tahap konstruksi hanya sebatas backward dan forward linkage, karena adanya kegiatan konstruksi atas proyek infrastruktur. Oleh karenanya, butuh waktu cukup lama untuk dapat merasakan manfaat dari kegiatan proyek infrastruktur yang dikerjakan saat ini, sampai proyek tersebut dapat dioperasikan.

Data memperlihatkan, pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga tidak terlalu signifikan, baik selama 2015 dan kuartal pertama 2016. Pada 2015, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,96 persen dan kuartal 4,94 persen.

Angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini lebih rendah dibanding 2014 yang tumbuh 5,16 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga ini memberikan kontribusi yang tinggi, yaitu 55-60 persen terhadap PDB. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal melalui realokasi belanja ke belanja modal, dalam jangka pendek, kurang mengakomodasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Akselerasi investasi pemerintah ternyata juga tidak mampu mendorong pertumbuhan investasi secara signifikan. Kinerja investasi bangunan pada kuartal pertama 2016 melambat, karena hanya bertumpu pada proyek pemerintah. Sedangkan, investasi nonbangunan pada kuartal pertama 2016 justru mengalami kontraksi 0,26 persen akibat penurunan investasi mesin dan perlengkapan.

Laba yang turun berdampak pada rendahnya belanja modal (capital expenditure) korporasi, karena berkurangnya sumber pembiayaan dari internal perusahaan (internal financing). Di sisi lain, pembiayaan dari sumber eksternal (external financing) melalui utang masih terbatas karena risiko kredit yang tinggi.

Melihat kondisi ini, saya kira ada baiknya pemerintah dan otoritas lainnya (terutama moneter) perlu melakukan evaluasi terkait kebijakan yang telah diambil. Kebijakan fiskal melalui realokasi belanja ke sektor produktif adalah hal yang tepat.

Namun, seperti disebut di atas, butuh waktu cukup lama agar dampak positifnya dapat dirasakan. Di sisi lain, dalam jangka pendek, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap perlu dijaga untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Karenanya, kebijakan realokasi belanja ini perlu diimbangi dengan kebijakan lain untuk penguatan konsumsi rumah tangga.

Saya berpendapat, salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk meningkatkan pertumbuhan sisi konsumsi rumah tangga adalah melalui pengurangan pajak. Salah satu caranya adalah, dengan menaikkan penghasilan yang tidak kena pajak (PTKP).

Melalui kebijakan kenaikan PTKP ini, nantinya diharapkan daya konsumsi masyarakat menjadi lebih tinggi, seiring dengan penghasilannya yang juga lebih besar. Pemerintah berencana menaikkan PTKP menjadi Rp 54 juta setahun. Mungkin perlu dipertimbangkan bila PTKP dinaikkan hingga Rp 60 juta, agar dapat memberikan dorongan terhadap konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi.

Sebagian pihak mengatakan, kenaikan PTKP berdampak negatif pada upaya pengurangan tingkat ketimpangan (gini ratio), karena kenaikan PTKP akan meningkatkan penghasilan kelompok yang lebih mampu. Pendapat ini benar, tapi bila dilihat urgensinya bagi pertumbuhan ekonomi, kebijakan PTKP perlu dilakukan. Sementara itu, untuk menekan ketimpangan, dapat dibarengi dengan peningkatan daya beli masyarakat bawah melalui subsidi maupun bantuan langsung tunai.

Bank Indonesia juga berencana mengeluarkan kebijakan sebagai respons untuk mendorong petumbuhan ekonomi. Kebijakan ini akan ditempuh BI melalui berbagai instrument, seperti loan to value ratio (LTV) atau financing to value ratio (FTV) pada kredit properti, penetapan besaran down payment pada kredit kendaraan bermotor, penetapan batasan loan to funding (LFR) yang dikaitkan dengan Giro Wajib Minimum (GWM), serta penetapan countercyclical fuffer (CCB) pada permodalan bank. Kebijakan ini tampaknya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga dan investasi melalui kredit bank.

Kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter ini tentu positif, untuk menjaga agar sasaran ekonomi tetap terjaga. Kolaborasi ini diharapkan dapat menjaga kebijakan fiskal agar tetap konsisten menjalankan reformasinya, tanpa perlu khawatir mengorbankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, karena sudah diimbangi oleh kebijakan dari sisi moneter.

Namun tentunya, hasil dari kolaborasi ini akan tetap bergantung pada ketepatan sasaran dan efektivitas kebijakan.

Oleh Sunarsip

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement