Jumat 03 Jun 2016 13:00 WIB

Daya Saing Indonesia Melorot

Red:

LAUSANNE -- Tingkat daya saing Indonesia mengalami penurunan cukup tajam dalam setahun terakhir. Dalam daftar IMD World Competitiveness Yearbook 2016, Indonesia berada di peringkat 48. Padahal, tahun lalu Indonesia menempati urutan ke-42 dari 61 negara.

Posisi Indonesia dalam daftar yang dikeluarkan IMD World Competitiveness Center, lembaga pemeringkat yang berbasis di Swiss, pada 30 Mei 2016 itu juga berada di bawah negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di antara negara Asia Tenggara ini, Indonesia yang paling besar penurunannya, yaitu enam peringkat.

Bahkan, Indonesia tepat satu peringkat di bawah negara di Asia Tengah, Kazakhstan. Singapura, seperti tahun lalu, tetap masuk lima besar, yaitu berada di nomor empat, sebelumnya mereka ada di urutan ketiga negara yang berdaya saing tinggi.

Direktur IMD World Competitiveness Center Arturo Bris mengungkapkan, penempatan 61 negara pada peringkat tertentu didasarkan pada analisis 340 kriteria. Ratusan kriteria itu turunan dari empat faktor utama penilaian.

Yakni, kata dia, kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi usaha, dan infrastruktur. Survei dilakukan kepada lebih dari 5.400 pelaku bisnis. Ia menambahkan, ada pola umum negara-negara yang masuk dalam daftar 20 besar.

''Mereka fokus pada regulasi ramah usaha, institusi inklusif, dan pengembangan infrastruktur,'' ujar Bris menjelaskan.

Selain Cina, Hong Kong, dan Singapura, kata Bris, secara umum daya saing Asia menurun. ''Taiwan, Malaysia, Korea Selatan (Korsel), dan Indonesia mengalami penurunan signifikan,'' katanya. Taiwan yang semula berada di urutan ke-11, kini menempati posisi ke-14.

Posisi Malaysia juga melorot, semula urutan ke-14 menjadi ke-19 dan Korsel dari posisi 25 menjadi 29. Sedangkan, Filipina turun satu peringkat ke posisi 42. Sementara itu, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28.

Dalam wawancara khusus dengan Forbes, Bris menyebutkan, turunnya daya saing negara di Asia, seperti Indonesia, karena terimbas perekonomian Cina. "Negara-negara tersebut memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Cina dan terkena dampaknya tahun ini.''

Perekonomian Cina bukan menjadi satu-satunya faktor yang  mengakibatkan turunnya daya saing Indonesia. Faktor lainnya adalah anjloknya harga komoditas. Indonesia yang selama ini bergantung pada komoditas, sudah jelas terpukul. "Selain itu, harga minyak yang turun.''

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto menilai, penurunan peringkat daya saing Indonesia menjadi sinyal atas belum efektifnya 12 paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu.

Tanpa menyiutkan kebijakan yang sudah diupayakan pemerintah untuk mendongkrak perekonomian, Eko beranggapan, paket kebijakan belum bisa dirasakan pelaku usaha."Impact-nya belum ada,'' kata Eko menegaskan.

Ia mengakui, pemerintah di birokrasi bisa melakukan penyederhanaan perizinan dan mengeluarkan berbagai regulasi, tapi ukurannya bukan itu. Ukurannya adalah output ekonominya bisa terdongkrak atau tidak.

Sebab, di menambahkan, kalau dilihat output ekonominya belum mengalami banyak perbaikan. Salah satu buktinya, kata Eko, terlihat pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2016 sebesar 4,92 persen secara year on year.

Capaian ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2015 yang mencapai 5,04 persen. Selain itu, lanjut Eko, penurunan pertumbuhan kredit perbankan sebesar 7,7 persen year on year juga menggambarkan belum banyak investasi bergerak.

Karena, biasanya investasi yang meningkat akan selalu diikuti kredit perbankan yang juga naik. Kalau kredit turun, berarti investasi secara riil juga turun. ''Jadi, kalau dilihat dari sisi itu, memang belum banyak efektifnya paket kebijakan pemerintah itu,'' kata Eko.

Berkaca pada pengalaman setahun belakangan, Eko melihat ada tiga poin penting yang harus diupayakan oleh pemerintah. Poin pertama adalah target yang dipasang dalam RAPBN 2016 terkait asumsi dasar makro APBN lebih realistis.

Ia menilai, target-target yang realistis bisa mengembalikan ekspektasi pasar dan ujungnya bisa mendongkrak iklim usaha. Kalau hitungan realistis, nanti akan muncul ekspektasi positif dari sektor swasta. Kedua, pemerintah harus menahan harga kebutuhan masyarakat.

Terlebih, dengan menurunnya daya beli masyarakat saat ini, menahan harga adalah solusi paling jitu untuk mengerek kembali daya beli masyarakat. ''Dan, upaya ketiga adalah dorongan pada usaha mikro," kata Eko.

Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady mengklaim, pemerintah sudah berusaha dan terus berkomitmen memperbaiki iklim usaha di tengah persaingan global seperti sekarang.

Bukti nyata pemerintah berupaya memperbaiki iklim usaha dan daya saing, jelas dia, adalah menggulirkan serangkaian paket kebijakan ekonomi. Namun, Edy mengakui, butuh waktu agar dampak paket kebijakan terasa.

"Tentu, paket-paket ekonomi nantinya akan berdampak pada rating kita. Yang penting, fakta sekarang adalah bahwa pemerintah sudah berusaha memperbaiki iklim usaha," kata dia kepada Republika, Kamis (2/6).

Edy menjelaskan, dalam paket kebijakan jilid I-XII, pemerintah sudah begitu banyak membuat kebijakan untuk memperbaiki iklim usaha dan meningkatkan daya saing industri. Beberapa contohnya, memberikan insentif hingga diskon tarif listrik bagi industri.

Selain itu, ada penyederhanaan izin-izin produksi serta pendirian pusat logistik berikat. Pusat logistik berikat, misalnya, didirikan untuk mendekatkan bahan baku pada industri. Dengan demikian, ongkos produksi industri bisa lebih murah.

''Ujung-ujungnya, kebijakan tersebut bisa menurunkan harga suatu produk untuk meningkatkan daya saing dari segi harga,'' kata Edy menegaskan.

Geser AS

Amerika Serikat (AS) tak lagi mampu bertahan di peringkat teratas sebagai negara yang ekonominya paling kompetitif. Negara adidaya ini gagal mempertahankan gelar juara yang sudah mereka pertahankan tiga tahun berturut-turut.

Dalam daftar IMD World Competitiveness Yearbook 2016, peringkat AS turun dua tingkatan, kini mereka berada di posisi ketiga. Negara yang menjadi pemuncak dan menggantikan posisi AS adalah Cina Hong Kong. Tahun lalu, mereka berada di peringkat kedua.

Sedangkan, Cina Daratan justru mengalami nasib sebaliknya. Prestasi mereka menurun, tahun lalu berada di tangga ke-22, tetapi tahun ini harus puas di posisi ke-25. Urutan berikutnya setelah Cina Hong Kong adalah Swiss yang naik dua peringkat.

Ia menyebut, Cina Hong Kong, yang selama ini terkenal sebagai pusat finansial dan perbankan, sangat ramah usaha. Mereka mendorong inovasi melalui pajak rendah dan sederhana serta tak menerapkan pembatasan pada aliran modal, baik yang masuk maupun keluar.

Cina Daratan juga membuka pintu bagi investasi asing langsung. Tak hanya itu, mereka membuat para pelaku usaha memungkinkan untuk mengakses pasar modal global dari sana.

Bris mengakui, AS masih tetap menjadi negara dengan kinerja ekonomi terbaik di dunia. Namun, dalam konteks ini, kata dia, ada sejumlah faktor dalam penilaian yang membuat AS turun takhta. Namun, ia tak menjelaskan faktor apa saja yang membuat pamor AS meredup.

Meski demikian, ia mengingatkan, satu fakta penting dari pemeringkatan yang telah berlangsung selama 25 tahun adalah pertumbuhan ekonomi saat ini bukan jaminan akan mendongkrak daya saing suatu negara kelak.

Data yang dihimpun IMD juga menimbulkan kekhawatiran karena memperlihatkan negara yang kaya akan semakin kaya. Dan sebaliknya, ungkap Bris, negara yang miskin bakal semakin miskin. rep: Satria Kartika Yudha, Sapto Andika Candra ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement