Selasa 31 May 2016 13:00 WIB

Para Penemu yang Menyiasati Keadaan (1): Nyala Kompor Energon dari Subang

Red:

Anak-anak bangsa tak hanya berpangku tangan. Sebagian mereka tak sekadar mengeluh, alih-alih melahirkan rerupa inovasi untuk  memperbaiki keadaan. Wartawan-wartawan Republika menggali kisah para penemu di Tanah Air tersebut. Berikut tulisan bagian pertamanya.

***

Jarang ada kendaraan besar yang mau melintasi Desa Cihambulu. Selain kondisi jalan yang rusak parah, lebarnya pun tak seberapa. Tak jarang warga memilih jalan pintas keluar kota melintasi jembatan bambu setapak yang dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan "Jembatan Mak Uwok".

Jalan paling lebar menuju desa yang terletak di antara Kota Subang dan Kota Purwakarta, Jawa Barat, itu hanya bisa dilewati dua mobil. Rerata penduduknya di desa yang menginduk pada Kecamatan Pabuaran, Subang, tersebut bekerja sebagai petani. Cuaca kerap panas meski warga desa diklaim selalu adem hatinya.

Kondisi jalan yang sedemikian sejak lama membuat hidup masyarakat sedikit susah. Utamanya, jalan itu tak bisa dilalui truk dan tangki Pertamina. Ujung-ujungnya, pasokan bahan bakar untuk memasak warga menjadi seret.

Gas LPG yang dijual di warung-warung desa tersebut lekas ludes. Warga tak jarang harus berkeliling desa untuk sekadar mencari gas LPG yang masih bisa dibeli. Tak ayal, harganya juga menjadi mahal. Bila harga gas LPG tabung tiga kilogram di kota biasanya berkisar Rp 13 ribu-Rp 16 ribu, di Cihambulu harganya rata-rata Rp 25 ribu.

Dede Miftahul Anwar tak jenak melihat kondisi di desanya tersebut. Ia miris melihat kondisi kampung halamannya di Kampung Kerajan, Desa Cihambulu.

Berbekal ilmu yang diembannya sebagai mahasiswa Departemen Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, laki-laki berusia 21 tahun ini mencari alternatif bagi warga kampung untuk membuat kompor menyala tanpa bahan bakar gas.

Sejak 2013, ia dan sejumlah kawannya mulai melakukan penelitian terkait hidrogen. Ia meneliti soal elektrolisis air, eternal power generator, metode thermolisa, hingga composite hidrogen generator. Dede tak punya laboratorium khusus ketika memulai eksperimen. Ia memanfaatkan kos-kosan miliknya.

Pada tahap awal, ia melakukan uji coba gas hidrogen ke kompor gas biasa. Usaha itu tak berhasil karena sifat gas hidrogen yang khusus. Bersama tim, ia kemudian mencoba membuat kompor sesuai dengan karakteristik gas hidrogen. "Mulai dari desain, perancangan, dan assembly," ujar Dede kepada Republika ketika dihubungi beberapa waktu lalu.

Seperti laiknya para inovator, kegagalan percobaan bukan barang langka buat Dede dan kawan-kawan. "Kalau ditanya berapa kali gagal, udah nggak kehitung. Kayaknya lebih dari 40 kali percobaan gagal," kata dia.

Pada uji coba pertama, bahkan terjadi beberapa insiden kecil. Kompor sempat meledak hingga pecahannya sampai ke atap kos. Bahkan, kompor pernah mengeluarkan bunyi yang sangat tinggi. Ia dan tim histeris ketakutan, tapi ternyata tidak ada api yang keluar.

Namun, ia bersama tim peneliti yang berjumlah sembilan orang pantang menyerah. Hasil akhir penelitian, kompor diciptakan dengan desain sendiri dan tergolong cukup minimalis. Bentuknya seperti kompor pada umumnya, tetapi lebih kecil. Untuk pengoperasian, kompor dipadukan dengan master dan tabung hidrogen.

Bagian utama dari kompor tersebut adalah composite hidrogen generator. Alat itu berfungsi sebagai pengubah air yang dicampur katalis tertentu hingga menjadi bahan bakar hidrogen.

Dalam video peragaan alat tersebut, Dede menunjukkan, ia memasukkan sejenis bahan katalis berupa serbuk putih ke dalam alat tersebut, lalu ditambahkan air. Alat kemudian dikocok dan disambungkan melalui selang dengan kompor. Katup penghambat gas dibuka, kompor dipantik, dan keluarlah api.

Sejauh ini, substansi yang digunakan sebagai katalis yang memisahkan hidrogen dari air masih ia rahasiakan. Semisal nantinya kompor sudah sepenuhnya komersial, bahan-bahan akan dijual untuk isi ulang tabung penguar hidrogen. Ia mengklaim, dengan isi ulang berbiaya Rp 10 ribu saja, kompor bisa menyala selama tiga pekan dengan pemakaian normal.

Kompor hidrogen bernama Energon tersebut bahkan lolos dalam kompetisi Wirausaha Muda Mandiri untuk kategori bisnis nondigital. Energon juga sudah dilirik negara lain, salah satunya Amerika Serikat.

Di Tanah Air, lebih dari 70 tawaran menjadi agen pendistribusian kompor dan lima perusahaan swasta tertarik menjadi mitra. Meski demikian, Dede belum bisa menjual kompornya secara massal. "Kami masih harus melakukan penelitian lanjutan karena kompor yang saat ini belum cocok diproduksi massal," ujar Dede menjelaskan.

Sejauh ini, pendanaan penelitian selalu didapatkan CV Energon dari banyak kompetisi, termasuk Wirausaha Muda Mandiri. Energon berhasil meraup uang hingga ratusan juta rupiah dengan memenangkan banyak kompetisi tersebut.

Terkait penjualan dan produksi massal, saat ini kompor hidrogen Energon masih digunakan oleh keluarga dan kerabat terdekat Dede. Penggunanya saat ini kurang lebih sebanyak 17 orang. Fase tersebut juga digunakan Energon sebagai ajang edukasi pada masyarakat.

Ia mengisahkan, mulanya keluarga yang ditawari menggunakan kompor tersebut sukar percaya bahwa kompor mereka bisa menyala tanpa gas LPG. Kendati demikian, perlahan mereka sudah mulai bisa diyakinkan dengan demonstrasi penggunaan alat.

Masyarakat di Cihambulu sedianya sudah mendengar kabar tentang kompor temuan Dede dan timnya. Kendati demikian, Dede masih menahan ketertarikan warga karena merasa masih memerlukan perancangan dan penelitian lebih lanjut.

Meski belum memproduksi massal, kompor Energon sedang menjalani tahap pendaftaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang diperkirakan selesai dalam waktu dekat. Apabila sudah bisa diproduksi masal, Kompor Energon bisa dijual di bawah harga tabung gas LPG berukuran tiga kilogram.     Oleh Nora Azizah, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement