Selasa 24 May 2016 18:00 WIB

Setelah Perda Melindungi Tanggamus

Red:

Beragam jenis minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol) sudah tak terpajang bebas lagi di lapak beberapa warung kopi dan warung makan di Pasar Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, Senin (23/5). Sejak 2014, masyarakat di kabupaten itu mulai sedikit nyaman karena warganya, terutama anak muda, tidak bebas dan mudah lagi membeli minol di kampungnya.

Kabupaten yang dibentuk pada 1997 dan berpenduduk sebanyak 548.728 jiwa (tahun 2013) tersebut sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang peredaran miras. Sejak hadirnya perda itu, masyarakat tak sebebas dulu lagi menjajakan dan memperjualbelikan miras.

Sebelum perda itu muncul, anak-anak remaja dan dewasa tak kesulitan untuk bermabuk-mabukkan. Miras menjadi semacam minuman pergaulan di sana. Ketika itu, aksi kriminalitas pun meningkat cukup signifikan di wilayah Kabapaten Tanggamus. Selidik punya selidik, tindakan kejahatan yang dilakukan pelaku kepada korbanya, ternyata setelah menenggak miras. Tak heran jika kasus-kasus kejahatan, kekerasan, dan pemerkosaan saat itu bermunculan di kabupaten yang berjuluk "Begawi Jejama" (bekerja bersama-sama) tersebut.

"Sekarang sepi, Mas. Tidak boleh lagi jualan miras. Kami juga takut ditangkap," kata Darso, seorang pemilik warung kopi di Kota Agung, Tanggamus. Ia tidak berani berjualan minuman haram tersebut lagi sejak kabupaten tersebut memiliki perda larangan peredaran dan penjualan miras.

Ia mengakui, permintaan sebagian masyarakat untuk membeli miras masih ada walaupun jumlahnya tidak sebanyak sebelum 2013. Sebelumnya, ia menuturkan, pembeli miras di warung rata-rata anak muda, termasuk pelajar sekolah. Sedangkan, para orang dewasa atau orang tua bisa dihitung.

Menurut Akhmadi Sumaryanto, inisiator terbitnya perda miras di Kabupaten Tanggamus, regulasi itu dirancang semata karena maraknya aksi kriminalitas yang terjadi di wilayah Tanggamus setelah pelaku menenggak miras. Kasus-kasus kekerasan dan pemerkosaan meningkat drastis.

"Saya melihat kasus-kasus kriminalitas dan pemerkosaan meningkat dan merajalela gara-gara pelaku menenggak miras atau mabuk," kata Akhmadi Sumaryanto, yang kini menjabat sekretaris Fraksi PKS DPRD Lampung kepada Republika di Bandar Lampung, Senin (23/5).

Ketika menjabat ketua Badan Legislasi DPRD Tanggamus, Akhmadi mendorong kabupaten tersebut memiliki perda tentang peredaran miras pada 2013. Ia ketika itu khawatir karena warga bisa membeli miras di warung-warung dekat rumahnya, apalagi di pasar secara terbuka dan terang-terangan. "Kalau seperti ini, bisa gawat generasi muda kabupaten ini dan warga semakin resah," ujarnya mengenang.

Menurut dia, raperda terus didorong untuk dibahas dan ditetapkan. Raperda ini, kata dia, diharapkan dapat mengatasi peredaran miras di masyarakat Tanggamus, terutama waktu itu yang lagi marak minuman fermentasi alami yang terbuat dari pohon nira, seperti tuak dan berem bali.

Ia menuturkan, perda miras tersebut berisikan tentang larangan peredaran miras, larangan produksi dan pidana pelanggaran yang terbagi atas berbagai golongan jenis miras. Dalam perda disebutkan, miras golongan A dengan kadar alkohol dari 0-5 persen, golongan B dengan kadar alkohol dari 5,1-20 persen, golongan C dengan kadar alkohol dari 20-40 persen, dan miras golongan D khusus untuk minuman tradisional, seperti tuak dan berem bali yang dapat memabukkan hasil fermentasi rempah-rempah alami.

Peraturan peredaran miras dirancang untuk miras golongan A boleh dijual bebas, tapi tidak bisa dijual di lingkungan masyarakat, rumah ibadah, sekolah, dan rumah sakit. Golongan B hanya boleh dijual di hotel, restoran, dan tempat-tempat tertentu. Golongan C hanya boleh dijual di hotel dan khusus untuk orang asing.

Anggota DPRD Lampung daerah pemilihan Kabupaten Tanggamus tersebut menyatakan, jenis miras golongan D, yakni tuak dan berem bali, boleh diproduksi, tapi tidak boleh diperjualbelikan di dan kepada masyarakat luas dalam wilayah Tanggamus.

Sejak diberlakukannya perda tentang peredaran miras di kabupaten tersebut, pemilik warung, toko, dan restoran atau rumah makan yang akan menjual miras kepada konsumen, harus mendapat izin edar terlebih dulu dan memiliki tanda telah berizin.

Siapa pun melanggar perda tersebut, kata dia, dikenakan proses hukum yang berlaku, yaitu penjara tiga bulan dan denda Rp 50 juta bagi pelakunya. "Perda ini setidaknya dapat memberi rasa aman kepada masyarakat dan menyelamatkan generasi muda," katanya, yang juga wakil ketua DPW PKS Lampung.

Mengenai rencana Kemendagri untuk menghapus perda tentang pengawasan peredaran miras di Kabupaten Tanggamus, ia menyatakan kecewa. "Saya sangat kecewa karena moral anak bangsa akan semakin parah dan dampaknya sangat luas di masyarakat," ujarnya.

Seharusnya, kata dia, Kemendagari justru mendorong DPR menyelesaikan rancangan undang- undang tentang minuman beralkohol. "Masih banyak iklim investasi yang bermanfaat dan memberikan dampak positif bagi daerah dan pusat," katanya.   Oleh Mursalin Yasland, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement