Jumat 20 May 2016 13:00 WIB

Kemendagri Cabut Perda Miras

Red:
Miras kembali menelan korban jiwa.
Miras kembali menelan korban jiwa.

YOGYAKARTA -- Kebijakan penghapusan ribuan regulasi daerah yang dijalankan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mulai diberlakukan. Peraturan daerah (perda) terkait pengendalian dan pelarangan minuman keras (miras) di DI Yogyakarta bakal menjadi korban kebijakan tersebut.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Biro Hukum Setda DIY Dewa Isnu Broto Imam Santoso dalam saat rapat kerja Komisi A dengan instansi terkait di DPRD DIY, Rabu (18/5) sore. Dewa mengatakan, pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2015  tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Pelarangan Minuman Oplosan berpotensi membuat kabupaten/kota tidak bisa melakukan pengawasan dan pelarangan secara maksimal.

Hal tersebut mengkhawatirkan karena Yogyakarta baru saja digegerkan dengan tewasnya 10 warga Sleman akibat menenggak miras pada Ahad (15/5) lalu. "Kalau Perda Nomor 12 Tahun 2015 dicabut, akan kacau,'' kata Dewa.

Perda oplosan DIY sedianya mengatur peredaran minuman beralkohol tipe A, tibe B, dan tipe C layaknya regulasi dari pusat. Kendati demikian, perda tersebut juga mengatur pelarangan total produksi, penjualan, dan konsumsi minuman keras oplosan.

Dewa menegaskan, akan terus berupaya meyakinkan Kemendagri bahwa perda tersebut penting karena tak ada payung hukum di Yogyakarta untuk pelarangan minuman oplosan. Ia optimistis Ditjen Otda bisa menerima alasan Pemda DIY dan membatalkan pencabutan perda.

Menurut penelusuran Republika melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kemendagri, sejauh ini telah terbit 202 regulasi daerah terkait minuman keras ataupun minuman beralkohol. Dari jumlah tersebut, setidaknya 42 yang mengandung kata pelarangan dalam judulnya. Sebagian besar lainnya soal pengawasan dan pengendalian, sedangkan yang lainnya terkait retribusi.

Sebanyak 11 dari keseluruhan regulasi miras dikeluarkan oleh pemprov. Dari jumlah itu, sebanyak tiga provinsi, yakin Kalimantan Selatan, Aceh, dan Papua menggunakan kata pelarangan dalam judul perda.

Selain Yogyakarta, Perda Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Pengendalian, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Minol) di NTB juga terancam dicabut. Hal itu terkait dengan instruksi pemerintah pusat yang mendorong penghapusan peraturan yang menghambat investasi.

"Sudah ditandatangani (usulan pembatalan) oleh gubernur dan dikirim ke Kemendagri pada 10 Mei kemarin," ujar Kepala Biro Hukum Setda NTB Rusman kepada Republika, Kamis (19/5).

Menurutnya, Perda Minol NTB dihapus karena provinsi dianggap tidak memiliki kewenangan untuk mengatur hal tersebut. Selain itu, menurut instruksi pemerintah pusat, perda pengendalian minuman keras tak boleh disebut dalam terminologi "pelarangan". Klausul yang kedua tersebut memicu regulasi sejenis di Kabupaten Bima juga direkomendasikan untuk diubah judulnya dari yang semula larangan menjadi pengendalian miras.

Rusman mengatakan, pada prinsipnya Pemprov NTB ingin penjualan minol tidak begitu bebas. Namun, aturan dari pusat tidak memungkinkan hal itu. "Kami harus tunduk sehingga secara hukum tidak bisa membuat yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Lebih ke hierarki," ungkapnya.

Daerah lain yang juga disoal regulasi mirasnya adalah Kota Banjarmasin. Di daerah itu, Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Retribusi Perdagangan Minuman Beralkohol dinilai bertentangan dengan Peraturan Kementerian Perdagangan karena melarang penjualan di supermarket.

"Perda miras ini salah satu yang direkomendasikan Kementerian Dalam Negeri untuk dihapus. Kita akan perjuangkan tidak sampai demikian," ujar Kabag Hukum Pemkot Banjarmasin Lukman Fadlun, Selasa (17/5). Menurut dia, pemerintah kota sudah melayangkan surat ke Ditjen Otonomi Darah untuk meninjau kembali rekomendasi penghapusan. Pemkot berharap, perda bersangkutan cukup direvisi.

Lukman mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, setiap perda dibuat harus menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat.

"Karena daerah kita masuk daerah otonom, muatan lokalnya harus kita kedepankan. Artinya, positif dan negatifnya harus dikaji betul," ujarnya.    rep: Neni Ridarineni, M Fauzi Ridwan/antara, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement