Selasa 03 May 2016 14:00 WIB

Surga yang Terancam di Tengah Pulau Sumatra

Red:

Wartawan Republika Dadang Kurnia menemani sejumlah peneliti menelusuri hutan Bukit Rimbang Bukit Baling di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, beberapa waktu lalu. Di balik keindahan alam di lokasi tersebut, ternyata ada sejumlah ancaman yang mengintai kelestariannya. Berikut tulisan bagian pertamanya.

***

Hamparan hijau hutan dataran rendah Bukit Rimbang Bukit Baling tampak begitu memesona saat kami menapakkan kaki di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Desa ini menjadi salah satu pintu masuk menuju hutan seluas 136 ribu hektare yang telah ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa itu. Lokasinya terletak sekitar 90 kilometer ke arah selatan dari Kota Pekan Baru. Kami butuh sekitar tiga jam perjalanan dengan menumpangi kendaraan bermotor roda empat untuk sampai di Desa Tanjung Belit itu.

 

Piau (sampan) menjadi satu-satunya sarana transportasi yang bisa menyambungkan Desa Tanjung Belit dengan kawasan hutan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Kampar tersebut. Jernihnya air sungai serta perbukitan hijau dengan tutupan hutan yang relatif masih rimbun menawarkan pemandangan alami yang memesona selama mengarungi Sungai Subayang, satu-satunya akses menuju kawasan hutan Bukit Rimbang Bukit Baling

 

Sungai Sebayang lebarnya bervariasi antara 10-30 meter. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tampak bergelantungan di pohon-pohon yang tumbuh di sisi kiri dan sisi kanan sungai. Kicau burung ramai bukan main, seperti menyambut setiap pengunjung yang melintas sungai.

Tak hanya itu, segerombolan kerbau milik warga yang mencari makan di pulau-pulau kecil sekitaran perdesaan, menjadi teman akrab anak-anak saat bermain. Belum lagi, aktivitas warga sekitar yang memanfaatkan air sungai untuk mencuci ataupun mandi, semakin memperkuat suasana yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota.

Pemandangan ini membuat perjalanan mengarungi aliran sungai yang terletak di antara Bukit Rimbang Bukit Baling itu terasa singkat. Setelah 15 menit berjalan, sampan yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar satu meter itu sudah harus menepi. Jernihnya air sungai membuat pengunjung bisa melihat jelas bagaimana ikan-ikan kecil menghampiri kaki-kaki manusia.

Republika menyambangi hutan Bukit Rimbang pada pertengahan April. Republika berangkat bersama tim riset Lembaga Hayati Dunia (WWF) dan Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas) yang menggelar rerupa penelitian di lokasi terpencil itu.

Namun, di balik keindahan alam yang dimiliki kawasan hutan Bukit Rimbang Bukit Baling, ternyata ada ancaman serius mengintai. Perburuan fauna secara ilegal, perambahan hutan menjadi area perkebunan, dan penebangan liar sejauh ini masih terjadi di lokasi tersebut.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan Bukit Rimbang Bukit Baling adalah sadap getah karet. Namun, anjloknya harga karet dari harga tertinggi senilai Rp 25 ribu per kilogram menjadi hanya Rp 4.500 sejak dua tahun terakhir, membuat banyak warga mencari tambahan penghasilan dari kegiatan lainnya. Salah satunya adalah dengan melakukan penebangan liar.

 

Salah seorang warga Desa Tanjung Belit, Sobirin (52), mengungkapkan, betapa menjanjikannya penghasilan yang didapat dari penebangan liar tersebut. Meski mengklaim tidak ikut terlibat dalam penebangan liar tersebut, Sobirin mengetahui seluk-beluk penebangan liar di sana. "Hasil dari penebangan tersebut bisa mencapai jutaan per kubiknya," kata Sobirin saat mengobrol bersama Republika.

 

Sobirin mengatakan, ia tidak tahu ke mana para penebang liar itu menjual hasil tebangannya. Dia hanya mengetahui adanya perusahaan yang siap menampung hasil tebangan tersebut. Para penebang liar tersebut, kata Sobirin, sebenarnya menyadari bahaya yang akan timbul jika pepohonan di kawasan hutan Bukit Rimbang Bukit Baling habis ditebang.

 

Bahkan, mereka juga menyadari pekerjaan yang mereka jalani tergolong membahayakan. Selain peralatan yang digunakan hanya seadanya, mereka juga harus membawa hasil tebangannya dengan menggunakan piau melewati aliran Sungai Subayang yang dalamnya mencapai delapan meter.

Namun, menurut Sobirin, karena para penebang tersebut merasa hanya itulah satu-satunya cara mencari tambahan penghasilan sehingga ancaman mematikan itu mereka lupakan. Terlebih, minimnya lapangan kerja membuat masyarakat kesulitan mendapatkan pekerjaan. "Tapi, kalau harga karet kembali normal seperti dulu, tidak mungkin mereka mau nebang-nebang pohon. Apalagi, risikonya kan nyawa," ucapnya.

Anggota tim riset WWF Pendi Pandjaitan mengiyakan ancaman serius tersebut. Menurutnya, alih fungsi hutan menjadi perkebunan adalah ancaman paling serius yang sering dijumpai.

 

Sementara, perburuan liar yang dilakukan di lokasi itu memengaruhi jumlah populasi harimau sumatra. Meski begitu, fauna lain juga menjadi incaran. Hal itu mengkhawatirkan karena Bukit Rimbang sedianya adalah wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Survei populasi dan distribusi harimau sumatra yang dilakukan WWF dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sejak 2005 telah menghasilkan beberapa temuan penting. Menggunakan metode jebakan kamera otomatis (camera trap), survei tersebut berhasil mengungkap adanya lima dari tujuh jenis kucing yang hidup di Bukit Rimbang Bukit Baling.

Kelima jenis kucing tersebut adalah harimau, macan dahan, kucing emas, kucing congkok, dan kucing batu. Sayangnya, gajah sumatra yang tercatat pernah hidup di kawasan tersebut diperkirakan telah punah secara lokal.

Belakangan, WWF bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau membentuk tim perlindungan harimau (Tiger Protection Unit). Tim tersebut bertugas mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan harimau dan ancamannya.

 

Pendi mengklaim, tim perlindungan yang dibentuk sejak 2005 tersebut signifikan menekan tingkat perburuan, khususnya pada harimau. Salah satu indikasinya adalah menurunnya jerat satwa yang disita. "Tapi, masih saja sering ditemui jerat (jebakan) di hutan sana," kata Pendi.

Bagaimanapun, upaya perlindungan Bukit Rimbang Bukit Baling mesti terus dilakukan. Apalagi, menurut anggota tim riset WWF Rahmat Adi, lokasi tersebut memiliki fungsi penting sebagai penyangga kehidupan di Sumatra bagian tengah. "Hutan ini menjadi pengatur tata air dan penyuplai oksigen," kata anggota tim riset WWF."  ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement