Jumat 29 Apr 2016 14:47 WIB

Kiai Ali Pergi Membawa Senyum

Red:
Jamaah mendoakan almarhum ulama KH Ali Mustofa Yaqub di Masjid Darussunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (28/4).Republika/Raisan Al Farisi
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Jamaah mendoakan almarhum ulama KH Ali Mustofa Yaqub di Masjid Darussunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (28/4).Republika/Raisan Al Farisi

Lantunan takbir mengalun di tengah isak tangis. Ribuan pelayat bermata sembap mengantarkan KH Ali Mustafa Yaqub (64) ke tempat peristirahatan terakhirnya. Makam itu telah dipersiapkan dua tahun sebelum embusan napas terakhir Kiai Ali, Kamis (28/4).

Mantan imam besar Masjid Istiqlal ini dimakamkan di belakang Masjid Muniroh Salamah, yang berada di Kompleks Pondok Pesantren Darus Sunah, yang selama ini ia pimpin. Kiai Ali dimasukkan ke lubang kubur pada pukul 12.45 WIB. Sebelumnya, ia wafat di Rumah Sakit Hermina, Ciputat, Tangerang Selatan, pukul 06.30 WIB.

Lelaki kelahiran Batang, Jawa Tengah, pada 1952 itu pergi selamanya setelah melewati hari kelahirannya pada 2 Maret lalu.

Nasaruddin Umar, cendekiawan Muslim yang kini menjabat imam besar Masjid Istiqlal, menyatakan, Kiai Ali pergi dengan senyum tergambar di bibirnya serta wajah bersinar. Ia mengaku melihat itu semua saat melihat jenazah Kiai Ali ketika masih terbaring di Hermina, Kamis pagi.

''Tadi (kemarin) pagi saya melihat, wajah beliau bercahaya dan seperti tersenyum," kata Nasaruddin, Kamis (28/4). Ia terkejut dengan kepergian almarhum dan baru mendengar kabar duka itu saat dimintai konfirmasi mengenai kabar wafatnya Kiai Ali oleh Republika.

Melalui surat elektronik, Kiai Ali juga sempat mengirimkan opini berjudul "Seputar Hadis Puasa Rajab" kepada wartawan senior Republika, Damanhuri Zuhri, pada 8 April 2016. Tulisan almarhum dimuat di halaman opini edisi Jumat (29/4) ini.

Nasaruddin sempat tak percaya kabar duka yang didengarnya lantaran pada Rabu (27/4) malam, ia masih bersama Kiai Ali menghadiri acara di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Baginya, kepergian sang kiai merupakan kehilangan bagi seluruh umat Islam.

Ali Nurdin, santri senior yang juga mewakili keluarga almarhum, menuturkan, Kiai Ali yang telah berusia 64 tahun itu wafat di RS Hermina, Ciputat, pada Kamis (28/4) pukul 06.30 WIB. Secara lahiriah, almarhum memang sering menyatakan kurang enak badan akibat kecapaian.

Keluhan tak enak badan ini pula yang ia sampaikan pada Rabu (27/4) malam. Kiai Ali langsung dibawa ke RS Hermina untuk mendapat pengobatan. Dokter tidak memberikan opini apa pun atas kondisi almarhum saat itu.

"Dokter hanya katakan Pak Kiai masuk angin, kecapekan," ungkap Nurdin. Lalu, Kiai Ali dibawa pulang dan malam itu kelihatan tak bisa tidur. Namun, saat shalat Subuh, kondisinya normal dan seperti biasa shalat berjamaah di masjid pesantren.

Setelah shalat, Kiai Ali pulang ke rumah, lalu menuju ke kamar mandi. Selepas keluar dari kamar mandi, ia menuju ke tempat tidur untuk rebahan karena mengeluh merasa lemas. Lalu, jelas Nurdin, keluarga kembali membawa Kiai Ali ke Hermina.

''Sudah mau dibantu alat pacu jantung, tapi telat," tutur Nurdin. Ia pun meluruskan kabar yang menyebut almarhum meninggal akibat terjatuh di kamar mandi. Ia menegaskan, almarhum meninggal sangat cepat. Selama ini, penyakit yang jelas diidap Kiai Ali adalah diabetes.

Kiai Ali juga dikenal sangat ketat dengan diet karena penyakit gulanya tersebut. Nurdin menyatakan, tak ada gangguan pada kesehatan jantung. Ia berdoa semoga Kiai Ali diberi tempat yang layak di sisi Allah SWT.

Atas nama keluarga Kiai Ali, Nurdin menyampaikan terima kasih atas bantuan dan perhatian yang begitu besar terhadap almarhum. Ia menambahkan, Kiai Ali sudah lama mempersiapkan tempat terakhir bagi jasadnya untuk bersemayam.

''Jauh-jauh hari sudah siapkan makam. Makam saja sudah disiapkan dua tahun lalu dan para santri sudah tahu," kata Nurdin. Ia mengatakan, almarhum meninggalkan seorang istri dan seorang putri bernama Ziaul Haromain (25), yang mengajar di Darul Uloom, New York, AS. 

Sang kiai tidak pernah menganggap para santrinya sebagai murid, tapi sebagai anak."Di mata kami, almarhum sebagi guru dan orang tua. Merawat tak hanya pengetahuan, tapi lahir batin. Kalau ada kesulitan dalam studi, dia sangat care," ujarnya menjelaskan.

Salah seorang santri, Mualim (23), mengaku selalu kagum pada sosok almarhum. Ia selalu mengingat ucapan almarhum yang berjanji kepada para santri akan datang ke acara pernikahan anaknya.

"Dia menganggap kita anak-anak beliau. Bahkan, beliau bernah bicara, kalau sudah lulus, jangan datangi saya kecuali kalau mau nikah. Kalau nikah, saya akan datang walau jauh," kata Mualim mengenang kata-kata almarhum.

Santri pendidikan bahasa Arab itu mengenal almarhum sebagai panutan yang tegas dan selalu kuat dalam berprinsip. Terutama, prinsip agama yang selalu berpegang pada Alquran dan hadis sehingga tidak terpengaruh ajaran yang menyesatkan.

Rendah hati

Melalui akun Twitter-nya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bela sungkawa atas kepergian Kiai Ali. ''Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dukacita mendalam atas wafatnya KH Ali Mustafa Yaqub. Semoga husnul khatimah," katanya, kemarin.

Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menuturkan, Kiai Ali dikenal sebagai pribadi yang tidak tinggi hati. "Orangnya rendah hati. Sekalipun dia pakar hadis, jika ketemu saya sama sekali tidak menampakkan ilmunya. Mungkin karena usia saya di atas usianya," ujarnya.

Mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute ini mengatakan, bangsa Indonesia kehilangan sosok cendekiawan yang rendah hati, cerdas, dan yang layak menjadi panutan.

Pakar tafsir Alquran Quraish Shihab mengaku mendapat banyak pelajaran dari almarhum. Ia berharap, hal-hal yang selama ini sudah diperjuangkan almarhum dapat dilanjutkan. "Apa yang beliau ajarkan tolong diteruskan," katanya.

Sejak kecil, Ali Mustafa Yaqub bercita-cita belajar di sekolah menengah atas. Namun, cita-citanya itu tidak terlaksana karena setamat SMP, ia harus mengikuti arahan orang tuanya, belajar di pesantren. Diantar ayahnya, pada 1966, ia mulai nyantri di Pondok Seblak, Jombang.

Ia menimba ilmu di sana hingga 1969. Ia juga menjadi santri di Pesantren Tebuireng, Jombang, yang lokasinya hanya beberapa ratus meter dari Pondok Seblak. Sambil belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari, ia menekuni banyak kegiatan.

Ia belajar kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain, almarhum KH Idris Kamali, almarhum KH Adlan Ali, almarhum KH Shobari, dan al-Musnid KH Syansuri Badawi. Ia melanjutkan studi ke Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh.

Ia mulai belajar di Arab Saudi pada 1976 hingga 1980. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikannya di Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas King Saud sampai tamat dengan memperoleh ijazah master pada 1985. Pada tahun yang sama, ia pulang ke Tanah Air.

Kiai Ali menjabat sebagai imam besar Masjid Istiqlal sejak Desember 2005 hingga Januari 2016.   Amri Amrullah, Dyah Ratna Meta Novia, Umi Nur Fadhilah, Qommarria Rostanti, c25, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement