Selasa 26 Apr 2016 14:00 WIB

Mereka yang Mengabdi di Tapal Batas (1): Pelayan Kesehatan di Tepian Singapura

Red:

Indonesia adalah negara dengan berlaksa-laksa wilayah perbatasan. Tak seluruhnya mendapatkan fasilitas serupa rekan-rekan senegara. Wartawan Republika Hasanul Rizqa berkesempatan menengok salah satu lokasi itu di Kepulauan Riau dan menjumpai anak-anak bangsa yang mengabdi di wilayah itu. Berikut tulisan pertamanya.

***

Meskipun masih bagian administratif Kota Batam, Belakang Padang jauh dari kesan metropolitan. Kecamatan ini terdiri atas seratusan pulau kecil, yang separuh di antaranya belum berpenghuni. Letaknya bertebaran di sebelah barat Pulau Batam. Untuk melakukan perjalanan ke Pulau Belakang Padang, dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan perahu bermotor dari Pelabuhan Sekupang, Pulau Batam.

Tidak ada rumah sakit di kecamatan ini. Hanya ada satu puskesmas utama yang menerima rawat inap dan penanganan HIV-AIDS di Pulau Belakang Padang. Meski begitu, ada sekitar lima pusat kesehatan kecil, yang dijaga satu orang perawat di pulau-pulau kecil Kecamatan Belakang Padang.

Bila ada warga Belakang Padang yang butuh perawatan lanjutan, mesti menyeberang dari pelabuhan rakyat Belakang Padang ke Pulau Batam. Rumah sakit yang terdekat, yakni RS Otorita Batam, dapat ditempuh sekitar setengah jam dari Belakang Padang.

Di Belakang Padang itulah, saya bertemu Jemris Mikael Atadena (27 tahun), akhir pekan lalu. Ia saya jumpai di halaman Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Belakang Padang.

Kulitnya agak gelap. Senyumnya memperlihatkan barisan gigi putih yang rapi. Perawakannya tak tinggi, sekitar 160 sentimeter. Dia mengatakan, berasal nun dari Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Jemris merupakan satu dari lima anggota Tim Nusantara Sehat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang bertugas di Belakang Padang, wilayah tapal batas Indonesia-Singapura. Mereka dikirim pemerintah pusat pada Desember 2015 lalu. "Saya hanya ingin terjun membangun Indonesia yang sehat ke depannya," jawab Jemris saat ditanya motivasinya bergabung dengan Tim Nusantara Sehat.

Jemris bercerita, awalnya dia mengetahui rekrutmen program Nusantara Sehat melalui pengumuman pada sebuah media cetak di Makassar. Jemris tertarik dengan tawaran pemerintah pusat yang mengajak tenaga muda profesional kesehatan untuk mengabdi selama dua tahun di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).

Bersama ribuan pendaftar lainnya, Jemris mengikuti seleksi administratif yang diadakan Kemenkes. Seleksi itu terselenggara serentak di Medan, Jakarta, Banjarmasin, Denpasar, dan Makassar.

Berdasarkan data Kemenkes 2015, seleksi periode pertama program Nusantara Sehat diikuti 6.671 pendaftar. Dari jumlah tersebut, yang lolos seleksi tahap satu sebanyak 630 orang. Hasil penyaringan tahap dua dan pembekalan, diperoleh jumlah 142 orang untuk ditempatkan di 20 puskesmas DTPK Indonesia.

Pada putaran selanjutnya, antusiasme melonjak. Terbukti, seleksi periode kedua diikuti lebih banyak pendaftar, yakni 11.760 orang. Sebanyak 1.458 orang di antaranya lolos seleksi tahap satu. Hasil seleksi tahap dua dan pembekalan, terjaring 552 orang yang dikirim ke 100 puskesmas DTPK. Salah satunya, Puskesmas Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau.

Jemris berujar, selama lebih dari satu bulan, ia dan kawan-kawan seperjuangan ditempa di lokasi pendidikan bela negara, Rindam Jaya, Jakarta. Pelatihan ala ketentaraan ini bertujuan menanamkan rasa cinta Tanah Air dan keterampilan diri di daerah minim akses telekomunikasi dan sumber daya.

Komposisi tim yang dikirim ke tiap DTPK dirancang berdasarkan sebaran keahlian medis dan asal daerah. "Kegiatan kami sehari-hari (di Belakang Padang) lebih banyak di luar puskesmas, mengadakan penyuluhan promotif preventif kesehatan. Setiap pekan, ada dua-tiga kali penyuluhan kepada warga. Di mana, ada kumpul-kumpul warga, kami ikut," kata lulusan D-3 Akademi Gizi Indonesia YPAG Makassar itu.

Menurut Jemris, program Nusantara Sehat bertujuan menguatkan layanan puskesmas sekaligus menggerakkan pemberdayaan masyarakat setempat. Untuk mencapai dua tujuan itu, dia mengakuinya tak mudah.

Ada banyak tantangan, mulai dari kondisi geografis, fasilitas kesehatan, hingga karakteristik masyarakat Belakang Padang sendiri. "Karena di sini banyak pulau, jadi kami harus menyeberangi laut, walaupun sebenarnya itu kampung-kampungnya berdekatan. Transportasi, masalah utama di sini," tutur Jemris.

Selain persoalan fasilitas kesehatan, pola hidup masyarakat setempat juga menjadi perhatian. Masyarakat tempatan pada umumnya gemar memakan gonggong, yakni sejenis siput laut yang banyak ditemukan di perairan sekitar Pulau Batam.

Sebagai ahli gizi, Jemris agak cemas dengan kebiasaan itu. Sebab, kandungan kolesterol dalam gonggong termasuk tinggi. "Makanya, sering kita anjurkan dalam penyuluhan-penyuluhan, makan gonggong itu ya tiga hari sekali saja. Tapi, bagaimana ya, gonggong mudah sekali dijangkau. Tinggal pilih-pilih di pantai kalau laut surut," katanya.

Beberapa bulan di Belakang Padang, Jemris mengamati, kesadaran masyarakat masih terbilang minim. Untuk itu, Tim Nusantara Sehat tak henti-henti terus mengajak mereka dengan memberi contoh baik.

"Pertama kali datang ke sini, kami bersih-bersih pantai bersama-sama warga. Awalnya, sampah menumpuk. Sekarang yang kita lihat ini, masih lebih baik," ujar Jemris sambil menunjuk ke arah perairan dermaga. Tampak barisan sampah plastik masih tersangkut di tembok dermaga.

Anggota Tim Nusantara Sehat lainnya, Pijar Liendar Ramadana (23 tahun), menjelaskan, sebagian besar warga Kecamatan Belakang Padang tinggal di rumah panggung yang terletak di pesisir. Persoalan sanitasi justru kurang menjadi prioritas.

Ahli kesehatan lingkungan itu menuturkan, tidak ada septic tank di rumah-rumah panggung. Warga setempat membuang hajat langsung di lubang lantai rumah mereka. Dengan begitu, kotoran mengendap di air laut, tepat di bawah rumah panggung mereka. Itu sudah menjadi kebiasaan berpuluh tahun lamanya.

Mengatasi persoalan tersebut, Pijar dan kawan-kawan sudah berinisiatif mengadakan jamban khusus rumah panggung pesisir. Dengan demikian, kotoran tidak lagi meluncur ke laut, tapi ditampung dalam suatu wadah besar tertutup yang terletak di darat. Namun, mereka terbentur masalah biaya.

Menurut perhitungan Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Batam, kata Pijar, perlu dana sekitar Rp 3 juta untuk satu jamban khusus per satu rumah panggung. Tim Nusantara Sehat sejauh ini sedang berupaya menggaet sponsor tanggung jawab korporasi-korporasi (CSR) setempat.

Sayangnya, kata dia, mayoritas warga sejauh ini masih belum antusias. Lulusan Poltekkes Bengkulu itu menuturkan, tantangan terbesar baginya adalah membangun kepercayaan warga bahwa kesehatan dan kebersihan lingkungan adalah masalah bersama yang harus diatasi secara dengan gotong royong pula.

"Tapi syukurlah, ada satu warga yang meyakinkan kami. Dia bersedia menyisihkan uang dari hasil laut dan mau membuat satu (jamban khusus). Itu agar ada percontohan, kata beliau, sehingga harapannya sesama warga lainnya tertarik ikut," ucap dia.   Oleh Hasanul Rizqa, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement