Selasa 19 Apr 2016 13:00 WIB

Menelusuri Bom Thamrin (Bagian 2): Pamitan Terakhir Anak Kos

Red:

 

Republika/Prayogi              

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Serangan bom terjadi di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2015. Sejumlah orang tewas dan luka-luka, termasuk orang yang diduga teroris. Wartawan Republika menelusuri kembali kasus itu sejak dari tempat kos terduga hingga lokasi kejadian. Berikut bagian kedua dari enam tulisan.

***

Matahari masih mengintip malu di ufuk timur. Matsani baru saja terbangun dari tidurnya. Suara gesekan sandal dan saling sapa perempuan yang berbelanja sayur sudah terdengar telinganya. Ia lekas bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Padatnya rumah di Kampung Sanggrahan, Meruya, membuat suara di luar tetap terdengar meski dari dalam rumah.

Matsani membuka pintu rumah. Kali ini sudah necis dengan setelan celana jins dan baju lengan pendek. Dia mengeluarkan motornya dari dalam rumah setelah semalam dimasukkan untuk memastikan keamanan. Ia standar dua motor matik dan memarkirnya di teras. Kunci motor diputar ke "on". Lalu, tombol start ia tekan bebarengan dengan menarik tuas gas. Mesin menyala, dan ia biarkan selama beberapa menit.

Udara Jakarta di pagi hari memang tak cukup menyegarkan. Dari kejauhan, deru mesin motor lamat-lamat terdengar mulai berseliweran. Salah satu bahwa pertanda orang-orang mulai beranjak mencari nafkah. Kehidupan Ibu Kota mulai bergeliat. Setiap orang mulai menyongsong rezekinya untuk mengisi periuk nasi demi keluarga. Begitu pun Matsani.

Namun, tiba-tiba tebersit pikiran di benaknya tentang tiga orang penghuni baru kosnya. "Tadi malam yang dua orang sudah datang apa, ya," ucapnya dalam hati.

Dia beranjak menaiki tangga yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Perlahan satu per satu anak tangga dipijaknya. Dengan santai ia berjalan menuju kamar paling ujung. Daun pintunya terbuka. Ia mendapati tiga orang yang sudah terjaga. Masing-masing bercelana pendek dengan kaus oblong. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka telah bersih diri pada pagi itu. Mereka duduk santai dan ada perbincangan kecil di sana.

"Datang jam berapa tadi malam?" sapa Matsani. "Jam sembilan, Pak," jawab Mas yang sudah mengenal Matsani sehari sebelumnya.

Dua orang yang baru tiba Senin malam itu bersalaman dengan Matsani. Mereka mengenalkan diri kepada Pak Kos barunya itu. "Saya Afif, Pak." "Ahmad." Begitu perkenalan singkat itu. Perkenalan yang bagi Matsani biasa. Namun, beda halnya dengan Mas, Afif, dan Ahmad. Sebuah perkenalan dengan pemilik rumah yang ditempatinya untuk menjadi persinggahan terakhir sebelum "ujung perjalanan".

**

Sepekan berlalu. Perjanjian Ali dan Matsani jatuh tempo. Tak ada tanda-tanda Afif, Mas, dan Ahmad meninggalkan kos-kosan. Sekali waktu Matsani melongok situasi kamar nomor 4 itu dari kejauhan pada siang hari saat tak kerja. Sayup-sayup ia masih mendengar perbincangan beberapa orang di kamar. Di jemuran depan kamar, juga tersampir celana pendek dan kaus. Matsani sempat merasa aneh siang itu.

Ali mengenalkan ketiganya sebagai pekerja proyek. Tapi, siang itu mereka di dalam kamar. Matsani sempat merasa aneh dan heran meski enggan menanyakan langsung. Ia tak pernah ingin mencampuri urusan pribadi setiap anak kosnya. Ia juga tak ingin ambil pusing.

Terlintas di benak Matsani untuk menghubungi Ali. Dialah orang yang membawa mereka bertiga, pikirnya. Sejurus kemudian Matsani mengambil telepon genggamnya. Dicarinya nama Ali di buku telepon. Diarahkan kursor ke bagian pilihan dan melanjutkan untuk memilih menu pengiriman SMS. Ia ingin memastikan, sewa kos diperpanjang atau dicukupkan.

Menjelang maghrib, Ali datang ke rumah Matsani. Keduanya bertemu. Pertemuan ini adalah kali kedua sejak Ali memberi uang Rp 300 ribu sebagai bentuk kesepakatan delapan hari lalu. Ali seolah terburu-buru saat ingin bertemu Matsani. Tak banyak bunga-bunga percakapan sebagai pengantar. Ia langsung meminta menambah waktu kos temannya. Ali menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu. Sebagai tanda jadi untuk waktu dua pekan ke depan.

Matsani tak mengelak dan tak banyak bicara saat uang tambahan itu diserahkan. Dia hanya mengingatkan Ali untuk menyerahkan foto kopi kartu tanda penduduk (KTP) ketiga temannya. Bukannya kartu identitas yang diterima Matsani, melainkan balasan Ali yang di luar dugaannya.

"Yah Bang, kayak loe nggak tahu gue aja," begitu Ali berkilah. Dan, sampai kapan pun, Matsani tak menerima kartu identitas mereka bertiga.

**

Seorang lelaki muda berjalan melewati gang-gang sempit depan rumah Dwi. Ia keluar dari lorong kecil dengan menenteng sebotol air mineral ukuran 1,5 liter di tangan kirinya. Sementara, di tangan kanannya tergantung satu keresek putih di jemarinya yang berisi tiga bungkus nasi. Lelaki itu tampak santai dengan bercelana pendek dan kaus. Jalannya gontai.

Dwi melihat lelaki itu menjelang Maghrib tiba, Rabu, 13 Januari 2016. Lelaki 33 tahun ini tak lain adalah tetangga depan rumah Matsani. Meski tak tahu namanya, dia yakin lelaki yang dilihatnya merupakan salah satu dari penghuni kos milik Matsani. Biasanya, Dwi melihat salah satu di antara mereka keluar dan kembali membawa bungkusan makanan.

Gang-gang sempit mirip jalan setapak di antara rumah-rumah penduduk Kampung Sanggrahan memang tak menyisakan banyak ruang. Dwi pernah melihat ketiganya. Tapi, mereka tak pernah menegur atau menyapa orang-orang di sekitarnya.

Bahkan dengan ibu kosnya, Fatimah, mereka bertiga jarang bertegur sapa. Hampir tak ada orang yang mengenalnya selama kurang lebih dua minggu mereka tinggal di sana.

Mentari pagi masih hangat terasa di tubuh, Kamis pagi. Pukul 08.30 WIB tepatnya. Fatimah sedang menyapu lantai rumahnya. Saat membuka pintu utama dan mulai menyapu teras, dia melihat seorang lelaki duduk menghadap arah luar sedang menali sepatu. Istri Matsani ini hanya bisa melihat bagian punggung. Saat itulah, Afif "terpergok". Ia terpaksa menyapa Fatimah untuk pertama kalinya.

"Bu mau berangkat dulu," ujar Afif mendahului.

"Iya, hati-hati," jawab Fatimah cepat seraya melihat wajah Afif.

Afif saat itu sedang ditunggu Ali di depan rumah. Tapi Ali, meski kenal baik dengan Matsani dan Fatimah, juga tak menyapa. Fatimah ingat, saat itu Afif mengenakan jaket dan bertopi. Sementara, Ali memakai rompi hitam. Tapi, dia tak melihat Ahmad dan Mas. Mungkin sudah berangkat, pikirnya. Fatimah tak pernah berpikir, sapaan pagi itu adalah pamitan terakhir dari seorang anak kos kepada ibu kosnya.   Oleh Mas Alamil Huda, ed: Subroto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement