Senin 04 Apr 2016 13:00 WIB

Jakarta Oh Jakarta

Red:

Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Kamis yang lalu mengungkap sisi gelap bisnis reklamasi dan properti di Teluk Jakarta. Orang kemudian menduga-duga bagaimana kaitan Gubernur DKI dengan perusahaan-perusahaan properti tersebut. Bahkan ada yang mencoba mengaitkannya dengan pengumpulan dana kampanye pilgub DKI tahun 2017 mendatang. 

Kita tidak akan membahasnya di sini karena sudah banyak sekali pemberitaan dan komentar mengenai hal tersebut. Pokok bahasan artikel ini lebih kepada sudut pandang ekonomi tentang bagaimana tindak pidana suap bisa terjadi di sebuah era keterbukaan informasi dan di mana upaya pemberantasan korupsi sedang dilakukan secara intensif. Ada beberapa catatan mengenai hal ini.

Pertama kita harus paham bahwa bisnis reklamasi merupakan bisnis skala raksasa. Menurut seorang menteri koordinator di era pemerintahan SBY, skala bisnis ini mencapai Rp 500 triliun.  Itu baru perkiraan di tahun 2014 dan hanya mencakup nilai jual tanah dan bangunan kalau sudah jadi. Mestinya sih lebih besar dari itu. Coba kita lihat perhitungan berikut ini.

Reklamasi akan menciptakan pulau buatan seluas 5.000 hektare atau 50 juta meter persegi yang bisa digunakan untuk permukiman baru, pelabuhan, jalan, dan ruang terbuka hijau. Kalau saja hanya setengahnya yang boleh dibangun dan dijual oleh pengembang dan harga-rata tanahnya mencapai Rp 20 juta per meter persegi, maka total nilai tanahnya akan mencapai Rp 500 triliun.

Kita belum memperhitungkan nilai bangunan rumah, kawasan komersial, dan pelabuhan.  Harga tanah dan bangunan bisa mencapai Rp 1.500 triliun. Itu kalau kita pakai rasio tiga banding satu yang biasa dipakai oleh para pengembang. Angka Rp 500 triliun atau Rp 1.500 triliun, tak peduli mana yang benar, menunjukkan bahwa proyek reklamasi dan permukiman baru di Teluk Jakarta merupakan megaproyek.

Kedua, pelaksanaan dari megaproyek ini hampir seluruhnya diserahkan ke korporat. Yang dimaksud korporat di sini adalah swasta dan BUMD. Kalau tidak salah, Jakpro yang merupakan BUMD DKI hanya kebagian satu pulau saja. Sisanya adalah swasta murni. Ada dua hal yang harus kita pahami mengenai swasta yang terlibat, yakni siapa yang mampu melaksanakan megaproyek ini dan bagaimana cara agar modalnya cepat balik.

Kalau kita bicara swasta yang mampu mengerjakan proyek ini maka kita hanya bicara segelintir taipan saja. Selain harus berpengalaman di dunia properti, mereka harus memiliki sumber dana yang sangat besar plus dukungan dari pusat kekuasaan. Yang memiliki tiga hal ini hanya segelintir saja dan mereka bukanlah taipan biasa-biasa saja. Hal ini berkaitan dengan isu yang ketiga.

Ketiga, megaproyek seperti ini pasti dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak biasa. Mestinya sudah bisa kita tebak dari awal bahwa mekanisme potong kompas akan menjadi modus operasi. Undang-undang dan peraturan akan mereka labrak, kesampingkan, dan bila perlu mereka ubah. Jadi, kalau izin gubernur keluar tanpa memenuhi persyaratan perundangan di atasnya, kita mestinya tidak usah kaget. Kalau perlu, mereka atur siapa yang duduk di kekuasaan. Di sinilah relevansi pemilihan gubernur DKI 2017 nanti.

Dari kacamata investor, megaproyek semacam ini harus betul-betul diamankan. Semakin lama, semakin tidak pasti. Karena itu, kita akan banyak mendengar argumen pentingnya percepatan reklamasi. Percepatan berarti potong kompas atau main seruduk. Makanya jangan heran kalau suap banyak mengalir tidak hanya ke anggota DPRD saja tetapi ke puluhan pejabat terkait.  Semoga saja KPK tidak hanya berhenti di anggota DPRD. Semoga OTT membuka kotak pandora yang masih gelap.

Kelima, investasi yang besar tentunya akan membawa implikasi bahwa kepentingan lainnya harus dikesampingkan. Kepentingan lingkungan hidup, rakyat miskin, atau nelayan tradisional tentunya akan secara sadar, atau by design, akan dianggap sebagai sesuatu yang menghalang-halangi. Itu akan dimasukkan sebagai risiko bisnis yang perlu dieliminasi.

Caranya bagaimana? Pakai kekuasaan. Harga kekuasaan di DKI cukup murah dibandingkan dengan skala proyek. Kalau mereka harus habiskan Rp 1,5 triliun sekalipun, itu baru satu per seribu nilai proyek. Murah, bukan?

Sebagai catatan akhir, barangkali sudah saatnya pemerintah pusat secara serius  bisa turun langsung.  Salah satunya dengan membentuk sebuah badan atau komite independen yang mengawasi pengembangan kawasan pantai Teluk Jakarta. Tentunya badan ini harus diisi oleh orang-orang yang kredibel di bidangnya. Jangan sampai pembangunan pulau buatan didorong oleh motif asal cepat balik modal saja. Jakarta oh Jakarta, dirimu tidaklah cantik, tapi penuh daya pikat bagi yang punya duit dan kekuasaan.   Oleh Iman Sugema

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement