Jumat 18 Mar 2016 14:00 WIB

Jokowi Bakal Panggil Dirut BPJS Kesehatan

Red:

 

Antara/Puspa Perwitasari    

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo akan memanggil direktur utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menjelaskan kenaikan iuran yang dibebankan kepada masyarakat. Kenaikan iuran itu sebelumnya sudah diteken Presiden Jokowi dalam bentuk perpres. Sejumlah pemda dan DPR sudah menolak kenaikan iuran tersebut yang direncanakan berlaku 1 April nanti.

''Saya akan panggil direksi dan manajemennya," kata Presiden saat meninjau pelaksanaan BPJS Kesehatan, di RSUD Sumedang, Jawa Barata, seperti dituturkan anggota Tim Komunikasi Presiden, Sukardi Rinakit, Kamis (17/3).

Kenaikan iuran peserta mandiri dan sebelumnya peserta penerima bantuan iuran (PBI) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Dalam beleid yang sudah diteken Presiden Jokowi itu terdapat kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja. Bagi penerima manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III, iurannya akan sebesar Rp 30 ribu dari sebelumnya Rp 25.500 per bulan.

Penerima manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II, iurannya menjadi Rp 51 ribu per bulan, sebelumnya hanya Rp 42.500. Sedangkan, untuk mereka yang menerima manfaat pelayanan  kelas I, naik dari Rp 59.500 per bulan menjadi Rp 80 ribu.

BPJS Kesehatan menyatakan, kenaikan iuran mulai berlaku pada 1 April mendatang. Presiden menandatangani peraturan itu pada tanggal 29 Februari 2016 dan mulai berlaku sejak diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 1 Maret 2016.

Setelah meninjau RSUD Sumedang, Presiden menyimpulkan, pelayanan kesehatan bagi pasien BPJS sudah cukup baik. Bahkan, 90 persen pasien di RSUD tersebut adalah peserta BPJS. Namun, yang masih menjadi persoalan adalah keterbatasan ruang perawatan.

Kondisi tersebut membuat antrean pasien cukup panjang. Jokowi sendiri telah meminta Menteri Kesehatan Nila Moeloek menambah ruang perawatan. "Menurut saya, pelayanan baik tapi ruangan kurang. Ini perlu segera ditambah,'' kata Presiden.

Komisi IX DPR menolak kenaikan iuran sebelum perbaikan pelayanan dilakukan BPJS kesehatan. Penolakan ini mencuat saat Komisi IX memanggil Menkes Nila F Moeloek dan Dirut BPJS Fachmi Idris terkait kenaikan iuran peserta mandiri pada Rabu (16/3) malam.

Seusai mendengarkan paparan dari pemerintah, mayoritas anggota Komisi IX menanyakan alasan kenaikan iuran. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menjelaskan secara terperinci. Karena itulah, Komisi IX meminta pemerintah menunda kenaikan tersebut.

"Saya sangat kecewa karena pemerintah tidak bisa menjelaskan secara detail dan bertanggung jawab alasan kenaikan iuran,'' kata anggota Komisi IX, Irma Suryani Chaniago, saat dihubungi, Kamis (17/3). Ia menambahkan, kinerja BPJS Kesehatan belum memuaskan.

Ia mengatakan, Komisi IX meminta BPJS Kesehatan memperbaiki pelayanan kesehatan yang belum memuaskan, kinerja BPJS terkait peningkatan kepesertaan mandiri dan audit investigasi terkait transparansi laporan keuangan/penggunaan anggaran.

Hal lainnya adalah mengenai laporan pendistribusian kartu penerima bantuan iuran (PBI). "Sebelum empat poin tersebut dilakukan dan diselesaikan BPJS Kesehatan, maka Komisi IX DPR tetap tidak akan menyetujui kenaikan tarif," ucap Wakil Ketua Fraksi Nasdem itu.

Untuk mempertegas empat poin rekomendasi di atas, menurut Irma, Komisi IX melalui Ketua DPR akan mengirim surat kepada Presiden Jokowi. Isinya, meminta agar Presiden menunda pelaksanaan Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.

Ia juga menuding BPJS dan pemerintah lepas tangan dari defisit keuangan BPJS Kesehatan. Menurut dia, seharusnya dicari dulu akar persoalannya dan bukan justru menaikkan iuran mandiri begitu saja. Sampai saat ini, 40 persen warga Indonesia belum menjadi peserta BPJS.

Dari data PBI, jumlahnya ada sekitar 37 persen. Sementara, pekerja penerima upah masih ada 30 persen yang belum mendaftarkan peserta BPJS Kesehatan. ''Kalau saja direksi BPJS bekerja maksimal untuk meningkatkan kepesertaan mandiri, tentu tak terjadi defisit.''

Irma mencontohkan, dari 39 juta penduduk Jawa Timur,16 persen atau sekitar 16 juta penduduk berasal dari peserta PBI. Sebanyak 7,5 juta berasal dari peserta mandiri. Namun, peserta yang belum masuk BPJS di Surabaya saja, misalnya, masih sekitar 60 persen.

Kemudian, dari peserta mandiri dari yang 7,5 juta itu, yang membayar iuran secara rutin hanya 1,5 juta pekerja. Irma mengatakan, bisa dibayangkan mengapa bisa terjadi defisit,'' jelasnya. Manajemen BPJS semestinya bertanggung jawab atas kepesertaan pekerja.

Manajemen BPJS diminta jangan hanya mengharapkan anggaran dari APBN, sebab kalau hanya mengandalkan APBN tidak akan bisa. Pengeluaran terbesar ada di peserta mandiri. Jadi, dana PBI malah aman. Bahkan, dana yang di PBI digunakan untuk pengobatan peserta mandiri.

''Ini jadi kebalik. Kok bisa seperti itu? Artinya ada pengelolaan manajemen yang kurang bagus,'' kata Irma.

Sesuai prosedur

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (P2JK Kemenkes) Donald Pardede menyatakan, permintaan penundaan kenaikan khususnya pada kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas tiga.

Menurut DPR, jelas Donald, permintaan penundaan ini perlu dilakukan sampai kegiatan audit. Pada dasarnya, kata dia, alasan kenaikan iuran ini sudah dijelaskan oleh pemerintah, yakni karena tidak imbangnya pendapatan iuran dengan biaya pelayanan kesehatan.

Defisit itu dapat mengancam kesinambungan BPJS Kesehatan. Menurut Donald, usulan kenaikan iuran tidak ditetapkan oleh satu kementerian atau lembaga, tetapi berdasarkan proses sebagaimana kaidah sebuah proses perpres.

Proses usulan tersebut dimulai dengan izin prakarsa perundangan. Kemudian, panitia dan kementerian yang membahas secara teknis substansi ini juga melibatkan pakar. Donald juga menerangkan sudah melakukan harmonisasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Selanjutnya, usulan tersebut oleh Kemenkumham diajukan ke Sekretariat Negara (Setneg). Hingga pada akhirnya, dia menambahkan, ditetapkan oleh Presiden Jokowi.

Mengenai fasilitas kesehatan yang masih bermasalah, Donald mengatakan akan terus berupaya membenahinya. Keterbatasan ruangan bagi pasien, misalnya, karena banyaknya kasus. Pasien berpenyakit kronis yang dulu tak berobat kini ramai berobat. rep: Halimatus Sa'diyah, Eko Supriyadi , Wilda, Fizriyani, ed: Ferry Kisihandi 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement