Senin 29 Feb 2016 15:00 WIB

Azan Terakhir di Keremangan Kalijodo

Red:

Republika/ Yasin Habibi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu (27/2) malam datang lagi di kawasan Kalijodo, akhir pekan lalu. Namun, kali ini ia berbeda dari ribuan Sabtu malam lainnya yang menyambangi lokasi tersebut.

Tak ada lagi ingar-bingar dentuman musik dangdut koplo. Deretan kafe yang sudah puluhan tahun berdiri di wilayah itu senyap tanpa suara. Kupu-kupu malam tak lagi berkeliaran. Tak ada yang memamerkan tubuh untuk memancing hasrat. Toh, para hidung belang yang biasanya seliweran tak tampak batang hidungnya malam itu.

Yang tampak di permukaan justru sejumlah polisi, anggota Brimob, TNI, Satpol PP yang berjaga-jaga, membuat pesona Kalijodo yang pernah menjadi primadona pria hidung belang itu pudar. Aliran listrik di kawasan itu telah diputus PLN dengan alasan keamanan. Saat senja kala datang, wilayah yang biasanya temaram dengan aneka lampu berwarna-warni saat malam tiba itu jadi jauh lebih gelap.

Warga yang tinggal sedikit jumlahnya dan pemborong sibuk dengan pekerjaan masing-masing membongkar isi hunian dalam gelap. Sebagian memereteli kabel listrik yang masih bisa dimanfaatkan.

Kawasan Kalijodo membentang sepanjang sekitar satu kilometer di sisi timur Kanal Banjir Barat (KBB), dengan luas sekitar 1,6 hektare. Sebagian besar wilayahnya masuk Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sisanya merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Pada Senin (29/2) ini, sebagian besar bangunan di wilayah yang disebut berdiri di jalur hijau DKI Jakarta itu akan dibongkar. Ribuan petugas keamanan bersiaga, sedagkan belasan alat berat menuntaskan hajat meratakan bangunan dengan tanah.

Lokasi tersebut ternama dengan perannya sebagai tempat praktik prostitusi. Kendati begitu, bukan hanya kafe dan rumah singgah mesum saja yang berdiri. Di lokasi itu terdapat juga rumah ibadah dan sekolah.

Republika menyambangi Mushala al-Muttaqin, salah satu rumah ibadah yang berdiri di dekat lokalisasi prostitusi Kalijodo, akhir pekan lalu. Mushala yang terletak di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara itu diresmikan pada 24 September 2003.

Jelang waktu eksekusi, kegiatan shalat lima waktu memang masih berlangsung di mushala tersebut. Namun, panggilan shalat tidak lagi kencang terdengar. "Listrik telah dimatikan sejak pukul 10.00 WIB, Jumat (26/2) kemarin," kata pengurus masjid, Pujiono (43 tahun).

Petugas PLN sempat mendatangi sejumlah tempat ibadah di Kalijodo untuk membuka aliran listrik, Jumat malam. Namun, karena sejumlah kabel listrik mushala dicuri orang, listrik pun tak lagi menyengat di sana.

Pada Sabtu (27/2) siang, pengurus mushala terlihat sedang mengangkut sejumlah perabotan. Di antaranya kabel, pintu besi, karpet shalat, beduk, rebana, hingga salinan Alquran. Barang-barang itu akan dipindahkan ke mushala di Rusun Marunda.

Pujiono berharap aktivitas keagamaan tetap tidak luntur meski berada di tempat yang berbeda. Selama ini, sejumlah kegiatan, seperti yasinan serta pengajian ibu-ibu dan anak-anak seusai shalat Maghrib rutin dilakukan setiap harinya di mushala tersebut. "Untuk anak yang ngaji sekitar 30 orang, laki-laki dan perempuan," kata dia.

Pujiono yang diamanahi menjadi bendahara mushala mengaku sudah menyerahkan masalah keuangan kepada marbut yang juga keluarga yang mewakafkan tanah mushala. "Saya sudah serah terimakan ke marbut. Dia orang tua yang mewakafkan tanah untuk membangun mushala," kata Pujiono.

Pascapenggusuran nanti, Pujiono memilih untuk pulang ke kampung halaman. Bersama istri dan anaknya, ia akan kembali ke Cilacap, Jawa Tengah, Senin (29/2). "Alhamdulillah, saya ada rumah keluarga istri di Cilacap," tutur Pujiono yang selama tinggal di Kalijodo bekerja di percetakan.

Bukan Pujiono sendiri yang akan pulang. Suasana permukiman di Kalijodo belakangan juga tampak lebih mirip kota mati. Sebagian besar penghuninya sudah berkemas pulang kampung atau menuju rumah susun yang disiapkan pemerintah di Marunda, Jakarta Utara.

Meski begitu, sebagian masih tinggal. Dian Mariani (57 tahun) salah satunya. Ia adalah warga RT 1, RW 5, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan. Dian telah tinggal di kawasan Kalijodo selama 17 tahun.

Dian bukannya menyerah. Namun, usahanya untuk menjual bagian bangunan rumahnya sebelum pembongkaran kian sulit. "Sampai sekarang rumah saya belum ada yang membeli dengan harga cocok. Semakin hari, semakin kurang (tawaran harga)," kata Dian.

Akhir pekan lalu, kata Dian, rumah berlantai tiga itu ditawar seorang pemborong dengan harga Rp 1,5 juta. Pemborong ingin mengambil asbes, seng, tripleks, kayu, dan bahan lain yang ada di rumah tersebut.

Namun, saat pemborong itu datang, mereka malah menurunkan harga penawaran menjadi Rp 1 juta. Itu pun tidak termasuk tukang yang menghancurkan bangunannya. "Jelas saya menolaknya," kata pria yang kesehariannya berjualan di warung di kawasan Kalijodo, Jalan Kepanduan II.

Meski barang-barang dalam rumah itu telah dikosongkan, Dian berniat tetap menjaga rumah miliknya. "Sampai akhir saya akan lihat dari seberang jalan."  c21 ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement