Jumat 12 Feb 2016 14:00 WIB

Manuver Demokrat-Gerindra Tunda Revisi UU KPK

Red:

JAKARTA -- Langkah Fraksi PDI Perjuangan cs untuk memuluskan rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi di Rapat Paripurna DPR, Kamis (11/9), berantakan. Manuver mendadak Kamis pagi yang dilakukan Fraksi Partai Demokrat dan sikap Fraksi Partai Gerindra yang menolak revisi membuat penetapan revisi UU KPK diundur. Kini, delapan fraksi yang tadinya sepakat merevisi, satu per satu mulai berbalik sikap.

"Waktu di Bamus ada usulan agar segera diparipurnakan, tapi tadi kami sepakat bahwa revisi UU KPK jangan diistimewakan, apalagi ini seolah syahwatnya DPR semata," tutur anggota Badan Musyawarah (Bamus) DPR dari Fraksi PAN, Teguh Juwarno, kepada Republika, Kamis (11/2). Teguh mengisyaratkan tak ingin undang-undang yang juga diinisiasi pemerintah itu seolah-olah hanya kepentingan DPR semata.

Ia menambahkan, dalam rapat Bamus kemarin, sebagian besar fraksi menyepakati revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK harus diperlakukan sama seperti UU lainnya tanpa ada prioritas atau urgensi apa pun. Menurut Teguh, agenda pengesahan draf RUU KPK sebagai usulan DPR akan dilakukan bersamaan dengan yang lain.

Dalam draf rencana revisi UU KPK yang sebelumnya disepakati, terdapat pasal soal pembentukan Dewan Pengawas KPK. Dewan itu bakal diberi kewenangan untuk membuat kode etik pimpinan KPK serta menentukan boleh dan tidaknya penyadapan serta penyitaan. Kewenangan penunjukan dewan tersebut ada di tangan presiden.

Selanjutnya, KPK juga akan diberi kewenangan menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Selain itu, KPK juga diberi kewenangan mengangkat penyidik sendiri. Selain soal pengangkatan penyidik, sejumlah pihak termasuk para pimpinan KPK menilai poin-poin tambahan tersebut bakal melemahkan lembaga tersebut.

Sebelumnya, pada Rabu (10/2), perwakilan sembilan fraksi di Baleg DPR sepakat untuk membawa rencana revisi UU KPK ke sidang paripurna untuk ditentukan kelanjutannya. Hanya Fraksi Gerindra yang menolak pembahasan rencana revisi tersebut.

Namun, kemarin, sejumlah fraksi berubah sikap. Yang paling mencolok adalah manuver Partai Demokrat. Fraksi Demokrat menyatakan menolak revisi undang-undang setelah turun maklumat dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. "Bapak (SBY) katakan, saat ini tidak tepat karena sangat sensitif. Apalagi, faktanya korupsi masih banyak," kata Juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul.

Padahal, dalam rapat internal Baleg sebelumnya, Demokrat justru bergabung dengan kelompok fraksi yang menyetujui revisi UU KPK. Ruhut kemudian berdalih perbedaan sikap ini terkait sikap kader Fraksi Demokrat di Baleg. Namun, ia tegaskan, sikap penolakan Demokrat terhadap revisi UU KPK akan menjadi kebijakan partai.

Ruhut mengatakan, Demokrat akan menyuarakan ketidaksetujuan soal revisi UU KPK ini di rapat paripurna nanti. "Aku akan fight nanti di paripurna, terserah orang mau bilang apa. Demokrat menolak. Tegas, kok. Tidak usah khawatir," tegas Ruhut.

Perubahan arah juga mulai menerpa Fraksi PAN dan Fraksi PKS. Anggota Bamus dari FPAN, Teguh Juwarno, menegaskan, fraksinya masih mungkin mencabut dukungan mengenai revisi UU KPK meski sebelumnya mendukung revisi di Baleg. "Sikap kita bisa berubah. Kalau user-nya (KPK) saja keberatan, untuk apa kita buat UU yang melemahkan user-nya sendiri," tutur Teguh.

Teguh menambahkan, sementara ini, sikap PAN memang masih setuju melanjutkan revisi UU KPK ke tahap selanjutnya. Namun, kalau nanti sikap KPK sudah jelas menolak revisi, PAN akan mencabut dukungannya dari proses pembahasan revisi UU KPK ini.

Dalam pandangan PAN, soal revisi UU KPK sangat terkait dengan kesepakatan yang pernah dibuat antara KPK dengan DPR. Dalam kesepakatan itu, KPK ingin ada perubahan ke arah perbaikan. Jadi, perubahan UU KPK harus dilakukan secara terbatas pada beberapa poin saja.

Sedangkan, anggota Fraksi PKS, Nasir Djamil, mengatakan, sidang pleno internal yang digelar Fraksi PKS kemarin pagi menyepakati, PKS hanya akan mendukung revisi UU KPK bila revisi tersebut bertujuan memperkuat agenda-agenda pemberantasan korupsi. ''Sehingga jelas, kalau memang kita belum membutuhkan (revisi UU KPK), ya jangan dipaksa,'' ujar Nasir.

Ia menegaskan, mesti ada kesepahaman antara DPR dan pemerintah soal revisi UU KPK. Kesepahaman ini diharapkan dapat mengurangi persepsi publik yang seolah-olah menggambarkan DPR ingin melemahkan KPK. ''Saya pikir harus duduk bersama-sama mencari jalan keluar. Jangan ada tudingan,'' lanjutnya.

Anggota Baleg dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan bahwa fraksinya tak menyetujui revisi UU KPK. "Makanya kemarin saya katakan tidak keberatan untuk dibahas, bukan setuju," ujar Arsul Sani.

Dengan demikian peta kekuatan politik terkait revisi UU KPK saat ini menjadi berimbang. Kubu yang sudah tegas menolak adalah Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra. Kubu yang kemungkinan berbalik arah dari mendukung revisi menjadi menolak revisi adalah FPAN, FPKS, dan FPPP. Di seberang, ada kubu yang tetap mendukung revisi UU KPK, yakni FPDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Nasdem, dan Fraksi Hanura.

Anggota Fraksi Gerindra, Desmond J Mahesa, menegaskan sikap fraksinya menolak revisi. Desmond memberi contoh, untuk poin kewenangan penyadapan, Gerindra menilai belum ada naskah akademis yang secara jelas menyebut KPK melakukan penyalahgunaan dalam kewenangan penyadapan.

Kemudian, terkait pemberian wewenang bagi KPK untuk menerbitkan SP3, Desmond menilai harus ada pengategorian yang jelas terkait hal ini. Penerbitan SP3 ini harus didukung penetapan dari bukti-bukti hukum yang ada. Jangan nantinya, ujar Desmond, SP3 ini menjadi semacam alat ATM dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, seperti yang terjadi di lembaga penegak hukum lainnya. ''Tentu KPK kan tidak seperti ini,'' tuturnya.

Anggota Baleg dari Fraksi PDIP, Arif Wibowo, menegaskan, revisi UU KPK bukan untuk memperlemah, tapi untuk menyinergikan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya. Sebab, niat dibentuknya KPK 13 tahun lalu adalah untuk menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi penegakan hukum, terutama tindak pidana korupsi. "Sinergi supaya tidak ada konflik dan tak terkesan tumpang tindih dalam pemberantasan korupsi, dan tidak bias politik," ujar Arif.

Ia menilai, sejauh ini masih banyak kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK sendiri. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi di lembaga penegak hukum. Menurut dia, hukum tidak semestinya tebang pilih. "Nuansa politiknya jauh lebih kental, contohnya pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK," tegas dia. rep: Agus Raharjo Reja Irfa Widodo ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement