Rabu 27 Jan 2016 12:00 WIB

Gerindra Khawatir Pemerintah Semena-mena

Red:

JAKARTA - Partai Gerindra menghormati perubahan sikap politik Partai Golkar yang menjadi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, di sisi lain, partai pentolan Koalisi Merah Putih (KMP) tersebut menilai sikap Golkar akan melemahkan pengawasan terhadap pemerintah.

"Pengawasan terhadap pemerintah akan makin lemah," ujar Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani, di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (26/1). Perubahan angin politik Partai Golkar membuat anggota KMP yang belum secara resmi mendukung pemerintah tinggal Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, PKS pernah bertandang ke Istana Negara menemui Presiden Jokowi dan membahas relasi partai itu dengan pemerintah pada 21 Desember 2015.

Muzani mengatakan tidak bisa menjamin keefektifan kontrol terhadap pemerintah jika hanya dua parpol yang menjadi oposisi di parlemen. Menurut dia, sebagus apa pun kinerja pemerintahan, seharusnya tetap memerlukan pengawasan yang kuat dan baik. "Tanpa pengawasan, pemerintah bisa semena-mena," tegas dia.

Ketua Fraksi Gerindra di DPR itu menegaskan, Gerindra tidak akan mengikuti manuver politik yang dilakukan oleh Golkar. Gerindra dan PKS menegaskan tetap loyal berada di KMP. Dua partai ini akan menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang pemerintah dan memerankan fungsi pemeriksa dan penyeimbang (check and balance).

Ahmad Muzani merunut, sejak awal, dukungan pemerintah di parlemen memang terbilang minim. Hal itu, kata dia, membuat pemerintah akhirnya mengambil langkah-langkah untuk memaksa partai di KMP mengubah haluan.

Menurut Muzani, hal itu wajar dilakukan pemerintah. Sebab, pemerintah ingin mengamankan setiap agenda dan kebijakan yang dikeluarkannya. Padahal, meski sebagai barisan partai yang berada di luar pemerintah, sejauh ini KMP justru lebih banyak mendukung kebijakan yang diambil oleh Jokowi.

Golkar mengumumkan dukungannya ke pemerintah pada penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada Senin (25/1) malam. Deklarasi dukungan terhadap Jokowi-JK yang ditandatangani Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Sekjen Golkar Idrus Marham tersebut langsung diserahkan kepada Menko Polhukam Luhut Pandjaitan.

Menurut Aburizal, sikap terbaru Golkar bukan berarti partai itu menjilat ludah sendiri setelah sebelumnya pernah menyatakan menjadi oposisi. Ia menegaskan, langkah itu justru diambil Golkar untuk mengikuti posisi asal partai, yaitu selalu berdiri di belakang pemerintahan yang sah.

Namun, sejauh ini Presiden Joko Widodo belum bereaksi atas perubahan sikap politik Golkar itu. "Belum ada sikap resmi Presiden terkait dengan pernyataan tersebut," ucap Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi, kemarin. Sedangkan, Wapres Jusuf Kalla sebelumnya menegaskan bahwa bergabungnya Golkar dengan pemerintah akan menjaga stabilitas politik.

Golkar meragukan

Wakil Ketua Fraksi PDIP Arif Wibowo masih menganggap deklarasi dukungan yang disampaikan Golkar ke pemerintah masih setengah hati. PDIP sebagai partai pengusung utama Joko Widodo-Jusuf Kalla, menurut dia, menunggu kerja nyata Golkar, terutama aksi nyata secara politis di DPR RI untuk mendukung pemerintahan yang efektif.

"Kan kemarin baru pernyataan sikap, belum ditunjukkan pada kerja-kerja politik, dalam konteks mendukung terwujudnya pemerintahan yang efektif," ujar Arif Wibowo. Menurut Arif, apa yang disampaikan oleh Golkar masih meragukan. Sebab, meski mendeklarasikan diri mendukung pemerintahan Jokowi, Golkar juga menegaskan tidak akan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP).

Hal itu membuat posisi Golkar masih belum jelas bagi Kerja Sama Partai Pendukung Pemerintah (KP3). Seharusnya, kata dia, Golkar menegaskan dirinya mendukung pemerintah atau ikut dalam barisan partai pendukung KMP.

Terhadap sikap Gerindra, Arif menolak anggapan bergabungnya Golkar ke pemerintah akan melemahkan fungsi pengawasan ke pemerintah. Hal itu juga pernah dialami oleh PDIP saat menjadi minoritas di DPR karena mengambil peran sebagai oposisi.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, yang dilakukan Golkar adalah pengulangan sejarah. "Sejarah terulang kembali. Di era pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), koalisi besar terbangun dengan melibatkan banyak parpol. Dari sembilan parpol, enam di antaranya berkoalisi mendukung pemerintah SBY," katanya.

Ia juga menilai partai oposisi yang jumlahnya jauh lebih sedikit sukar melakukan pengawasan berimbang dengan tepat. Siti mencatat, dari 10 parpol di Senayan, tujuh di antaranya telah mendukung pemerintahan Jokowi. Hal itu, menurut dia, memicu pertanyaan soal keefektifan sistem presidensial yg mengedepankan mekanisme pemeriksaan dan perimbangan.

Jika oposisi tidak mampu mengawasi dengan efektif, kata Siti, pengalaman masa pemerintahan SBY akan terulang. Partai-partai pendukung akan bersikap seperti partai oposisi. Siti menjelaskan, sejauh ini belum ada koalisi yang terformat dan terukur, yang ada hanya koalisi spontan dengan kecenderungan pragmatis dan oportunistis. rep: Agus Raharjo, Halimatus Sa'diyah/Lintar Satria, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement