Sabtu 23 Jan 2016 15:02 WIB

Menteri Minta Kampus Tangani LGBT

Red: operator
Sejumlah warga yang tergabung dari Forum Umat Islam Boyolali (FUIB) berunjuk rasa menolak pasangan sejenis di halaman kantor DPRD Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (16/10).
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah warga yang tergabung dari Forum Umat Islam Boyolali (FUIB) berunjuk rasa menolak pasangan sejenis di halaman kantor DPRD Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (16/10).

JAKARTA --Edaran lembaga konseling untuk mahasiswa penganut gaya hidup lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) memunculkan sorotan soal fenomena tersebut di kampus-kampus. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyatakan, pihak perguruan tinggi harus bergerak menyelesaikan segala bentuk penyimpangan sosial. 

Nasir menjelaskan, LGBT merupakan perilaku anomali dalam kehidupan sosial. Maka dari itu, situasi ini sebenarnya harus segera diselesaikan di setiap ruang yang menaunginya. "Perilaku ini harus ditata sesuai dengan tatanan sosial yang berlaku di masyarakat yang normal," kata Mohamad Nasir kepada Republika, Jumat (22/1).

Ia menegaskan, fenomena tersebut sebenarnya menjadi tantangan seluruh pihak universitas di Indonesia. "Tugas ini tidak hanya menjadi masalah UI (Universitas Indo nesia) yang harus diselesaikan, tapi seluruh universitas di Indonesia," kata dia.

Untuk bisa menata perilaku anomali mahasiswanya, Nasir mengatakan, pihak PT harus bisa mendeteksi perilaku komunitas mahasiswanya. Jika tidak sesuai tatanan masya rakat, perilaku mereka jelas harus diperbaiki ke arah yang lebih baik.

Sebelumnya, sebuah poster yang muncul di dunia maya menghebohkan pengguna media sosial pada Kamis (21/1). Isinya menawarkan jasa konseling untuk kaum LGBT.

Lembaga yang menawarkan jasa dalam poster tertulis sebagai Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) UI, yang berdiri sejak 17 Mei 2014 lalu. Di dalam poster itu terlihat empat foto mahasiswa dan mahasiswi dari UI yang sudah mengumumkan kecenderungan seksual mereka. 

Terkait munculnya poster tersebut, pihak UI mengatakan akan melarang kegiatan-kegiatan berbau LGBT di kampus. "Pihak UI tidak akan pernah melegalkan perilaku LGBT, bahkan kami akan memeranginya untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat setiap perilaku dan sikap para mahasiswa dan juga para dosennya," kata Wakil Rektor UI Bambang Wibawarta, kemarin.

Sedangkan, Rektor UI Muhammad Anis meminta SGRC UI tidak menggunakan logo dan nama UI. "Kami keberatan adanya sebutan UI pada komunitas tersebut. Kalau di luar kampus UI, ya silakan saja," ujar Anis, di kampus UI, kemarin. 

Pendiri sekaligus Chairperson SGRC UI Ferena Debineva menyangkal anggapan bahwa organisasinya menjadi ruang berkumpul kaum LGBT. "SGRC UI ini organisasi tingkat kampus. Berdiri sejajar dengan organisasi di kampus UI lainnya, seperti Mapala UI," ujarnya.

Ferena menyebut, SGRC UI lebih seperti study clubberisi mahasiswa yang tertarik dengan segala hal tentang seksualitas, lalu membahasnya secara ilmiah dengan gamblang.

"Kini sudah ada sekitar 200 anggota," terang mantan mahasiswa Fakultas Psikologi UI angkatan 2008 tersebut.

Menurut Ferena, anggota SGRC UI membahas berbagai isu seksual lewat diskusi mingguan di grup media sosial (medsos). Dalam pandangannya, kaum LGBT masih kerap dile cehkan, jadi korban perisakan (bullying), sementara tak memiliki wadah untuk mencurahkan isi hati.

Sementara CEO Putra Sampoerna Foundation (PSF) Nenny Soemawinata menyangkal keterangan dalam selebaran bahwa ia mendukung SGRC. Ia menegaskan, baik secara pribadi maupun atas nama PSF sama sekali tak terkait dengan kegiatan tersebut. 

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan, fenomena kelompok LGBT di lingkungan kampus sudah terjadi sejak dekade 1990-an. Menurut Kasandra, kaum LGBT saat itu jauh lebih tertutup dibandingkan saat ini. Seiring perkembangan media sosial, menurut dia, mereka menjadi lebih terbuka.

Ketua PP Pemuda Muham madiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, sikap kelompok agama dan ormas Islam jelas menentang LGBT karena hukumnya haram. Namun, hal itu tak lantas boleh dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kaum tersebut. "Umat Islam maupun kampus-kampus tidak boleh melakukan tindakan anarkistis.

Menghadapi mereka harus dengan melakukan dialog," kata dia. 

rep: Wilda Fizriyani, Rusdy Nurdiansyah, c36/dyah Ratna Meta Novia, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement