Kamis 07 Jan 2016 12:00 WIB

Thailand, Filipina, dan Vietnam Juga Risaukan MEA

Red:

BANGKOK - Kendati sudah mulai diterapkan sejak 1 Januari 2016 lalu, kesiapan negara-negara Asia Tenggara menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN belum merata. Para pemain besar di regional memiliki kekhawatirannya masing-masing terhadap kesepakatan perdagangan terbuka di kawasan ini.

Di Thailand, kekhawatiran utama yang mengemuka adalah soal penguasaan bahasa Inggris yang sangat rendah. Sejauh ini, menurut EF English Proficiency Index 2015, Thailand menempati urutan ke-14 dari 16 negara yang disurvei di Asia. Secara global, Thailand menempati posisi ke-62 dari 70 negara.

"Saya pikir saya adalah seorang akuntan yang bagus, tapi saya tak yakin bisa mendapat pekerjaan karena bahasa Inggris saya tak lancar," kata Tothsaporn Thongdee (20 tahun), seperti dikutip Bangkok Post, Selasa (5/1). Akuntan adalah salah satu profesi yang diperbolehkan bekerja lintas batas negara dalam kesepakatan MEA.

Kekhawatiran serupa diamini Pemerintah Thailand. Juru bicara Kantor Perdana Menteri Thailand, Sansern Kaewkamnerd, mengatakan, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha mendesak para tenaga kerja di Thailand meningkatkan kemampuan bahasa Inggris agar bisa berkompetisi di era MEA. Perdana Menteri Thailand mengiyakan, kemampuan bahasa Inggris adalah titik lemah Thailand dalam menghadapi MEA.

Selain penguasaan bahasa Inggris, ketersediaan tenaga kerja berkeahlian khusus juga menjadi tantangan Thailand.  The Nation melaporkan, hal itu karena sejauh ini jumlah pendaftar di sekolah kejuruan di Thailand tak sesuai kebutuhan.

Contohnya, sekolah kejuruan di Thailand hanya menghasilkan sekira 20 ribu ahli di bidang pengelasan setiap tahun. Sementara, kebutuhan tenaga kerja tersebut berada di kisaran 300 ribu pekerja. Kekurangan masif tersebut berpotensi diisi tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya.

Sedangkan di Filipina, sektor pertanian yang menyuarakan kekhawatiran atas berlakunya MEA. Otoritas Statistik Filipina melaporkan, produksi sektor pertanian Filipina mengalami penurunan sebanyak 0,1 persen pada kuartal ketiga tahun lalu. Penurunan itu disumbang penurunan produksi beras sebesar 15,7 persen, jagung sebesar 1,7 persen, dan tebu sebesar 41,5 persen.

Senator Ferdinand Marcos Jr mengatakan, posisi para petani di Filipina sangat rentan terdampak MEA. Terlebih, MEA tak lagi memperbolehkan subsidi pertanian dan pembatasan impor hasil tani.

"Kami sudah melihat dampak impor tak terbatas dan penyelundupan hasil tani seperti beras, bawang putih, dan bawang merah. Dengan penghapusan tarif impor, para petani akan semakin menderita," kata Marcos Jr seperti dikutip Manila Times. Ia mengakui, perusahaan perkebunan dan pertanian besar bisa mendapat untung dengan berlakunya MEA. Para petani kecil kian menderita.

Di Vietnam, yang juga menjadi kendala adalah soal ketersediaan tenaga ahli. Menurut Dirjen Departemen Pelatihan Kejuruan Vietnam Duong Duc Lan, Vietnam sudah tergolong lama bertumpu kepada pekerja ahli dari negara luar.

Hal tersebut bakal sukar dibalik jika tak ada langkah segera guna melahirkan pekerja-pekerja ahli di tengah kepungan negara-negara ASEAN. "Ini tantangan serius. Kalau Vitnam tak bisa menyediakan tenaga kerja, akan sangat mudah bagi pekerja dari 10 negara ASEAN lainnya untuk masuk," kata Duc Lan, seperti dikutip Vietnam News, kemarin.

Salah satu sektor yang bakal terdampak dari kurangnya tenaga kerja ahli tersebut adalah pariwisata. Tenaga pariwisata juga termasuk profesi yang diperbolehkan bekerja lintas batas melalui mutual recognition agreement (MRA).

Vietnam.net melansir, Institut Penelitian Pembangunan Pariwisata Vietnam mencatat pertumbuhan sektor pariwisata negara itu sebesar 6,2 persen sepanjang 2011-2015. Sektor pariwisata Vitnam dengan begitu akan membutuhkan kira-kira 620 ribu pekerja. Dengan jumlah itu, Vietnam masih kekurangan sekitar 40 ribu pekerja.

Sedangkan, di Malaysia, para pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak membagi optimisme soal penerapan MEA. Di lansir the Strait Times Menurut jajak pendapat yang dihelat Asosiasi Kamar Dagang Tiong Hoa Malaysia (ACCCIM), sebanyak 68 persen pengusaha kecil tak yakin MEA bisa membawa keuntungan bagi mereka.

Presiden ACCCIM Ter Leong Yap mengatakan, pasar ASEAN memang menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di Malaysia untuk melebarkan pasar. Meski begitu, mereka juga mesti mewaspadai arus masuk produk-produk dari luar yang akan memunculkan persaingan yang lebih ketat.

Chairman Bank Muamalat Malaysia Munir Majid mengungkapkan, UMKM mencakup 89 hingga 99 persen perusahaan di ASEAN. Sebanyak 52 hingga 97 persen tenaga kerja bekerja di sektor tersebut. "Hal itu menunjukkan, kebutuhan mereka harus diperhatikan bila tak ingin disapu oleh pesaing yang masuk," kata Munir, seperti dikutip the Strait Times.

Perusahaan-perusahaan di Singapura juga tak gegap- gempita menyambut berlakukan MEA tahun ini. Perusahaan pengepakan daging Golden Bridge misalnya, belum akan memasok produk ke negara-negara ASEAN dalam waktu dekat.

Direktur Manajer Golden Bridge Ong Bee Chip mengatakan, ia lebih memilih mengirimkan produknya ke Korea Selatan sebelum mulai memasuki pelabuhan-pelabuhan di Vietnam, Filipina, atau Indonesia. Ia menilai MEA belum akan menghilangkan halangan-halangan perdagangan antarnegara ASEAN dalam waktu dekat.

Demikian juga di bidang jasa. "Bahkan, selepas MRA diterapkan bukan berarti kita tak perlu mengajukan visa bekerja," kata direktur perusahaan konsultan perdagangan Mayer Brown Consulting Singapura, Wong Chian Voen, seperti dilansir the Strait Times. Ia mengatakan, selepas MEA, kebijakan-kebijakan imigrasi di masing-masing negara, bahkan yang mengadang pekerja asing, masih diberlakukan. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement