Rabu 09 Dec 2015 14:00 WIB

Langkah Trump Menuju Sisi Lebih Gelap

Red:

Where this hatred comes from and why we will have to determine. Until we are able to determine and understand this problem and the dangerous threat it poses, our country cannot be the victims of horrendous attacks by people that believe only in Jihad, and have no sense of reason or respect for human life.

Sorak-sorai membahana di Mount Pleasant, South Carolina. Donald Trump, kandidat presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, mendapatkan sambutan meriah dari para pendukungnya, setelah ia menyampaikan janji akan melarang Muslim masuk ke AS.

''Kita tak punya pilihan, selain melarang mereka masuk AS,'' kata Trump, Senin (7/12). Janji Trump di arena kampanye tersebut mengulang pernyataan yang dikeluarkan tim kampanyenya beberapa jam sebelumnya.

Pernyataan Trump terlontar menyusul penembakan di San Bernardino, California, pekan lalu, yang menewaskan 14 orang dan melukai 21 orang lainnya. Pelakunya suami istri, Syed Rizwan Farook, kelahiran AS, dan Tashfeen Malik, lahir di Pakistan, masuk ke AS melalui Arab Saudi.

Biro Investigasi Federal (FBI) menyebutkan, pasangan suami istri tersebut mengalami radikalisasi, hingga kemudian melakukan penembakan. Trump mengingatkan, serangan seperti itu dan yang terjadi pada 2011 bisa saja terulang kalau tidak ada pencegahan.

Karena itulah, Trump menekankan perlunya menutup sepenuhnya pintu masuk bagi Muslim hingga AS mampu mengidentifikasi apa yang saat ini terjadi. ''AS tak boleh menjadi korban serangan mengerikan orang-orang yang hanya percaya pada jihad,'' katanya.

Demi mendukung pandangannya, Trump menunjuk data hasil jajak pendapat dari lembaga pemikiran berhaluan konservatif, Center for Security Policy, yang menyatakan bahwa seperempat Muslim yang menjadi responden mendukung aksi kekerasan terhadap AS.

Trump pun mendorong agar masjid-masjid yang ada di AS diperiksa dengan ketat. ''Kita harus melihat yang terjadi di dalamnya.'' Manajer Kampanye Trump, Corey Lewandowski, kemudian memberikan penjelasan tambahan mengenai janji kampanye kandidatnya itu.

Saat Lewandowski ditanya apakah penutupan pintu bagi Muslim berlaku khusus hanya bagi imigran atau lebih luas, termasuk visa mahasiswa, wisatawan, dan pelancong lainnya ke AS, ia menjawab kebijakan ini diterapkan kepada setiap Muslim

Selepas kampanye di South Carolina, Trump tak berdiam diri. Ia berkicau melalui akun Twitter-nya. ''Baru saja menyampaikan pernyataan mengenai kebijakan penting soal mengalirnya kebencian dan bahaya ke negara kita. Kita harus bersikap waspada.''

Kicauannya segera saja menuai respons. Salah satunya dari pesaingnya dari Partai Demokrat, Martin O'Malley. ''@realdonaldtrump removes all doubt: Dia mencalonkan diri untuk menjadi presiden dengan kapasitas sebagai demagog fasis,'' katanya.

The Council on American-Islamic Relations turut berkomentar. ''Kita memasuki alam fasis.'' Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations Nihad Awad mengatakan, Trump terdengar layaknya pemimpin gerakan kelompok kekerasan daripada kandidat presiden negara besar seperti AS.

Gedung Putih juga terusik. ''Trump melangkah menuju sisi lebih gelap, elemen lebih gelap, dan mencoba mempermainkan ketakutan orang untuk melahirkan dukungan bagi kampanyenya,'' kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest kepada MSNBC.

Komentar Earnest soal Trump, seakan menegaskan kembali imbauan Presiden Barack Obama, Ahad (6/12) malam. Obama menyerukan kepada seluruh warga AS agar bersikap toleran terhadap warga lainnya, tak peduli agama yang dipeluknya.

Sejumlah rival Trump di Republik juga tak menyukai pernyataan Trump dalam kampanye tersebut. Jeb Bush menyebut, Trump telah membuat gusar banyak orang dan usulan kebijakannya soal Muslim main-main saja.

Kandidat lainnya, Lindsay Graham, menilai Trump telah membuat komentar absurd. ''Inilah alasan lain mengapa dia benar-benar tak cocok memimpin AS.'' Meski demikian, Ben Carson menyampaikan pandangan berbeda.

Juru bicara Ben Carson, Doug Watts, menyatakan, Carson menghendaki siapa pun yang berkunjung mesti dipantau selama berada di wilayah hukum AS. Kebijakan ini dilakukan pula oleh negara-negara lain di dunia.

Cendekiawan konservatif Ann Coulter bersikap senada. Di lamannya, ia menulis, ''Go Trump, Go!'' Sementara itu, calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton melalui Twitter-nya, mencela Trump. ''Ide Trump patut dicela, sarat prasangka, dan memecah-belah.''

Reuters menyebut, melalui pernyataan rasis, Trump berupaya memperoleh dukungan pemilih konservatif. Apalagi dalam beberapa bulan terakhir, posisinya paling tinggi di antara kandidat presiden lainnya dari Partai Republik.

Pernyataan Trump soal Muslim AS semakin keras menyusul serangan di Paris pada 13 November lalu. Puncaknya, pascapenembakan di San Bernardino. Sebelumnya, ia menolak masuknya 10 ribu imigran dari Suriah demi menangkal serangan teror.

Jajak pendapat oleh Reuters/Ipsos pascapenembakan di San Bernardino, menunjukkan perbedaan bagaimana Demokrat dan Republik memandang Muslim. Sebanyak 69 persen pendukung Republik memiliki ketakutan terhadap Muslim, sedangkan Demokrat 39 persen.

Trump juga sempat ramai diberitakan di Indonesia terkait pertemuannya dengan Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Trump Tower, New York City, pada 3 September lalu. Novanto bertemu Trump di sela acara The 4th World Conference of Speakers Inter Parliamentary Union. n ap/reuters ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement