Selasa 17 Nov 2015 13:00 WIB

Ketakutan Muslim yang Makin Bertambah

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Ketakutan Muslim yang Makin Bertambah


Kebencian tak butuh waktu lama untuk menyebar. Belum 12 jam sejak serangan di sejumlah tempat yang menewaskan seratus lebih orang di Paris, Prancis, pada Jumat (13/11) malam, ia sudah mulai mengambil tempat.

Lokasinya di sebuah masjid bernama Sahaba, yang terletak di Creteil, sekira 11 kilometer dari pusat Kota Paris. Dilansir Le Parisien, saat jamaah hendak menunaikan ibadah shalat Subuh pada Sabtu (14/11) dini hari, mereka menemukan tempat ibadah mereka tercoreng-moreng.

Tanda silang berwarna merah dan rerupa corat-coret lain muncul di tembok luar masjid. Catnya belum lagi kering saat ia mula-mula ditemukan. Menyusul temuan itu, seluruh kegiatan di masjid tersebut ditiadakan hingga waktu yang belum ditentukan.

Lebih jauh ke selatan Paris, corat-coret juga ditemukan di sebuah masjid di Oloron-Sainte-Catherine. "Bangunlah Prancis!" dan coretan yang mengingatkan pada masa-masa sebagian warga Prancis berpihak pada pasukan Nazi Jerman sepanjang Perang Dunia II terlihat di tembok. Slogan-slogan serupa juga dicoretkan pada salah satu kios daging halal di kota tersebut.

Sementara, di Evreux, grafiti-grafiti anti-Muslim juga muncul pada bangunan-bangunan di pusat kota. "Kematian untuk Muslim!" dan "Pilih Koper atau Peti Mati", sedikit di antaranya. Saat kemarahan dan kesedihan mewarnai sebagian besar pemberitaan soal penyerangan Paris, yang muncul pada warga Muslim di Prancis adalah ketakutan. Begitu berita soal penyerangan mengemuka, tak sedikit yang berharap sungguh-sungguh bahwa pelakunya bukan Muslim.

Saat yang terindikasikan sebaliknya, umat Muslim di Prancis seperti paham, hidup ke depannya tak akan lagi mudah. Terlebih karena penyerangan kemarin adalah peristiwa kedua yang bisa dijadikan pemantik kebencian terhadap Muslim. Sebelumnya, Muslim di Prancis sudah lebih dulu mengalami pelecehan selepas serangan mematikan ke kantor majalah satire Charlie Hebdo.

"Akan sulit bagi orag-orang seperti saya untuk mencari pekerjaan," kata Rachid (30 tahun) seperti dikutip Euronews, Senin (16/11). Rachid adalah imigran asal Maroko yang tinggal di Barbes, wilayah permukiman di Paris yang banyak dihuni Muslim.

Mustapha Zilfi, imigran Afrika Utara, menuturkan, sejak tiba di Prancis pada 2000, ia tak pernah dihentikan dan diperiksa polisi sekalipun. Namun, hal tersebut berubah pada Ahad (15/11). Zilfi dihentikan petugas kepolisian dan ditanyai isi dompet serta tasnya. "Saya merasa terhina. Karena, sejak 15 tahun lalu saya selalu merasa sudah jadi orang Prancis," kata Mustapha.

Asif Arif (28 tahun) menilai bahwa gelombang Islamofobia sukar dielakkan menyusul peristiwa penyerangan di Paris. "Itu bukan hal yang tak biasa. Serangan terhadap Muslim akan meningkat bukan saja di Paris, melainkan di seluruh Prancis," kata Asif.

Sebetulnya, tanpa peristiwa pekan lalu pun gelombang Islamofobia memang kian panas di Prancis. The Collectif Contre L'Islamophobie en France (CCIF), organisasi yang mengawasi kekerasan terhadap Muslim di Prancis, mencatat, enam bulan sejak penyerangan Charlie Hebdo, serangan fisik terhadap Muslim meningkat sebanyak 500 persen. Sedangkan, tindakan vandalisme dan pelecehan tempat-tempat ibadah Muslim meningkat hingga 400 persen.

Selepas penyerangan, pihak sayap kanan di Prancis juga langsung mengampanyekan pembatasan buat para migran. Marine Le Pen, pimpinan partai sayap kanan National Front, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengampanyekan penutupan perbatasan bagi pengungsi dari Timur Tengah ke Prancis pascaserangan.

Yang menyesakkan buat sebagian warga Muslim Prancis, jangankan ikut serta dalam penyerangan, mereka bahkan nyaris jadi korban. Salah satunya Asma Jaber (25 tahun), seorang perempuan migran dari Suriah. Bendera Prancis ia sematkan jadi hijab saat menonton pertandingan sepak bola antara Prancis dan Jerman di Stade de France. Ketika tengah asyik menyaksikan babak kedua, kenang Jaber, ledakan mengguncang bagian luar stadion.

Ia jadi bagian dari para penonton yang panik begitu kabar soal aksi penyerangan menyeruak. "Kami seperti dalam mimpi buruk," ujarnya seperti dikutip Aljazirah.

Serupa juga dirasakan Nabil, seorang petugas lapangan di Stade de France. "Saya hanya seratus meter dari ledakan pertama. Bom itu tak membedakan siapa yang Muslim, atau siapa yang orang Buddha," kata dia seperti dilansir Reuters.

Dan, gelombang ketakutan dan kebencian tersebut menyebar hingga ke Amerika Serikat. Alex Malloy (23 tahun), seorang warga Manhattan, New York, AS, punya kisah tersendiri hanya beberapa jam selepas serangan di Paris mengemuka.

Lewat akun Twitternya, ia menceritakan kisah perjumpaannya dengan seorang sopir taksi Muslim di New York pukul 23.00 waktu New York. Saat memasuki taksi, menurut Malloy, ia disambut ucapan terima kasih bertubi-tubi sang sopir.

Ia kemudian mengatakan bahwa Malloy adalah penumpang pertamanya setelah dua jam tak ada yang bersedia naik taksinya. Percakapan selanjutnya, kata Malloy, adalah salah satu momen paling menyedihkan dalam hidupnya.

Sang sopir taksi, kata Malloy, menangis sepanjang perjalanan. "Ya Allah, saya tak percaya ini. Orang-orang mengira saya bagian dari penyerangan. Tak ada yang bersedia naik taksi saya karena mereka merasa tak aman. Saya tak bisa bekerja seperti ini," tulis Malloy mengutip sang sopir.

Meski begitu, media sosial juga ramai dengan rerupa seruan untuk melepaskan umat Islam secara keseluruhan dari kekejian di Paris. Dari kalangan Muslim, muncul tagar #NotInMyName di Twitter untuk menegaskan bahwa pelaku penyerangan bukan bagian dari umat Islam. Lainnya menegaskan bahwa terorisme tak punya agama.

Pada akhirnya, teror di Paris adalah juga teror untuk warga Muslim di negeri itu, juga di negara-negara di mana mereka adalah minoritas. Saat warga lain selesai berduka, saat bendera merah-putih-biru tak lagi menghiasi profil foto di media sosial, mereka bisa jadi masih terus hidup dalam ketakutan yang menjadi-jadi. melisa riska putri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement