Jumat 30 Oct 2015 13:00 WIB

Pemerintah Masih Meraba-raba Naskah TPP

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Pemerintah Masih Meraba-raba Naskah TPP 


JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya bergabung dengan kerja sama dagang Trans-Pacific Partnership (TPP) di Washington, Senin (26/10). Kendati demikian, hingga sejauh ini, pejabat terkait di pemerintahan belum tahu pasti isi resmi dari perjanjian dagang tersebut.

"Kita tentunya harus pelajari dulu teksnya, seberapa dalam liberalisasinya," ujar Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi, kepada Republika, Kamis (29/10). Isi detail dari perjanjian TPP hingga saat ini memang belum dipublikasikan secara resmi oleh negosiator dari 12 negara anggota.  

Bahkan, parlemen negara-negara anggota juga belum mengetahui isi regulasi yang masih harus mereka setujui agar bisa beroperasi tersebut. Sejumlah bocoran isi TPP sudah mengemuka. Pemerintah Jepang, seperti dilansir Nikkei Review, sudah mengumumkan sebagian poin perjanjian.

Namun, Indonesia sebagai negara yang berencana bergabung belakangan tak punya kewenangan merevisi poin-poin perjanjian. Sebabnya, poin-poin tersebut sudah disepakati 12 negara-negara inisiator terlebih dulu.

Bachrul menjelaskan, kesepakatan perdagangan TPP cukup penting. Namun, menurut dia, Indonesia saat ini belum siap berpartisipasi karena perjanjian tersebut diindikasikan memiliki aspek liberalisasi yang sangat dalam dan luas. 

Menurut Bachrul, sebagai ilustrasi, dampak langsung jika Indonesia mengikuti TPP, antara lain, harus dapat menyetujui tidak ada provisi yang menganakemaskan negara berkembang dalam hal konten produksi maupun kerja sama teknologi.

Selain itu, dampak lainnya, yakni liberalisasi barang impor maupun ekspor melalui eliminasi tarif dan pajak ekspor. "Sehingga, program pemerintah untuk menjalankan hilirisasi melalui pengenaan pajak ekspor tidak diperbolehkan, padahal GATT (kesepakatan umum tarif dan perdagangan WTO) membolehkan," kata Bachrul. 

Tak hanya itu, dalam perjanjian tersebut juga disebutkan liberalisasi investasi dengan syarat yang berat, di antaranya tak boleh ada pemaksaan penggunaan konten lokal. Hal tersebut dapat menjadi kerugian karena Indonesia saat ini sedang menggiatkan penggunaan konten lokal dan investasi untuk tujuan ekspor. 

Pada TPP, ada provisi hak investor untuk mengajukan kebijakan pemerintah ke arbitrase internasional. Menurut Bachrul, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Investasi yang menyatakan jika ada dispute alias sengketa, harus diselesaikan oleh investor dan pemerintah. "TPP juga mensyaratkan liberalisasi jasa dengan pendekatan negative list, seperti investasi barang. Jika ini dilakukan, investasi jasa akan diperlakukan seperti investasi barang," ujar Bachrul.

Menurut Bachrul, dengan adanya syarat liberalisasi jasa tersebut, para pengunjung bisnis dari luar negeri yang baru berniat berinvestasi di negara tertentu harus sudah dilindungi layaknya investor. Padahal, sistem investasi Indonesia hanya menganut post-establishment. Artinya, investor yang melakukan investasi baru berhak mendapatkan proteksi. 

Bachrul mengatakan, liberalisasi jasa menurut General Agreement on Trade in Services (GATS) yang diregulasikan WTO masih memperbolehkan limitasinya pada akses market dan regulasi domestik. Selain itu, dalam GATS tidak ada dispute antara investor dan negara, dan hanya ada penyelesaian dispute negara melawan negara. 

Ia menilai, apabila Indonesia ingin bergabung ke TPP, harus melakukan reformasi ekonomi dan regulasi, seperti yang dilakukan oleh Vietnam dan Malaysia. Sementara untuk saat ini, Indonesia belum punya komitmen relaksasi kebijakan atau belum siap untuk melakukan perundingan. 

Bukan pihak Kemendag saja yang masih mempertanyakan perjanjian TPP. Sebelumnya, pihak Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian belum mengetahui dengan pasti isi perjanjian tersebut. Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady menegaskan, masih banyak yang harus dibenahi sebelum Indonesia memutuskan bergabung dalam kerja sama TPP. Salah satu hal terpenting adalah mengenai daya saing produk industri. 

    

Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto juga mengatakan, sebelum memutuskan untuk bergabung, Indonesia harus menghitung secara teliti untung ruginya dan melakukan pendalaman studi. Tinjauan mendalam ini sangat diperlukan agar kesepakatan nantinya tidak mengganggu industri nasional secara menyeluruh. 

Hal senada dikatakan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Ia juga mengatakan menteri-menteri terkait masih melakukan kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan TPP. Pramono menyebut, perlu sebuah kajian yang mendalam agar keputusan masuk dalam TPP benar-benar membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. "Presiden telah memberikan arahan untuk dikaji secara mendalam. Jadi, keputusan apakah akan bergabung dan kapan waktunya, tentu perlu pengkajian yang sangat dalam," kata dia. n satria kartika yudha/halimatus sa'diyah ed: fitriyan zamzami

***

BOCORAN DARI JEPANG

-    Sebesar 95 persen dari 9.018 item impor dihapuskan tarif impornya.

-    Pemerintah dilarang memaksa perusahaan asing mengungkap teknologi.

-    Pemerintah dilarang menyita lahan perusahaan asing  secara tak pantas. 

-    Perusahaan asing bisa meminta ganti rugi bila pemerintah menyalahi poin kesepakatan.

-    Perusahaan asing dibolehkan mengikuti tender proyek publik dengan anggaran tertentu.

-    Paten produk farmasi berlaku selama lima tahun.

-    Pengistimewaan BUMN dibatasi.

-    Anggota harus mematuhi standardisasi ketenagakerjaan.

-    Anggota harus mematuhi standardisasi lingkungan hidup.

-    Anggota harus mematuhi standardisasi hak cipta.

    

Sumber: Nikkei Review 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement