Senin 19 Oct 2015 12:00 WIB

Setahun Pemerintahan Jokowi-JK

Red:

Setahun yang lalu, ekspektasi terhadap pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) begitu tinggi. Bahkan, saking terlalu tingginya ekspektasi atas terpilihnya Jokowi-JK tersebut, beberapa analis "berani taruhan" pasang target nilai tukar rupiah terhadap USD bakal menguat hingga level Rp 10.000 per USD.

Tentunya sah-sah saja membangun ekspektasi yang tinggi terhadap pemerintahan baru. Dulu, di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK, ekspektasi yang tinggi juga terjadi. Terlebih lagi, saat itu, SBY-JK adalah presiden dan wakil presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung. Namun, semestinya ekspektasi yang tinggi tersebut tetap harus berada dalam koridor yang realistis.

Dalam janji-janji kampanyenya, Jokowi-JK menjanjikan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen selama lima tahun masa pemerintahannya. Hal yang sama juga disampaikan oleh pasangan Prabowo-Hatta. Sebuah target pertumbuhan yang fantastis karena pada saat yang sama situasi ekonomi dunia sedang mengalami pelemahan. Tentu ini menjadi pertanyaan, bagaimana cara mengejar target pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen tersebut di saat ekonomi kita saat itu sedang bergerak ke bawah? Padahal, negara-negara lain, bahkan Cina sekalipun, sedang berusaha agar tetap survive dari pengaruh krisis ekonomi global dan tidak berpikir bisa tumbuh secara agresif.

Melalui harian ini, saat itu saya telah mengingatkan kepada semua pasangan calon presiden dan wakil presiden hendaknya realistis dalam memberi janji-janjinya kepada publik. Sebab, janji yang tidak realistis pada akhirnya akan menjebak diri sendiri. Dan terbukti, di tahun pertamanya, pemerintahan Jokowi-JK ternyata juga tidak mampu mengelak dari pengaruh krisis ekonomi global.

Berbagai kejadian yang bersumber dari faktor eksternal, seperti (i) ketidakpastian kebijakan normalisasi di Amerika Serikat (AS), (ii) ketidakpastian pemulihan ekonomi Eropa, (iii) pelemahan ekonomi Cina, (iv) perang mata uang (currency war), dan (v) pelemahan harga komoditas secara nyata telah memberi pengaruh negatif terhadap perekonomian kita.

Sejauh ini kita bisa menyaksikan nilai tukar rupiah terhadap USD melemah cukup masif dan menjadi mata uang yang berkinerja relatif terburuk dibanding peers. Rupiah dalam sebulan terakhir sempat menyentuh di atas Rp 14.000 per USD sebelum menguat kembali di kisaran Rp 13.500-an. Bahkan, pemerintah sendiri terlihat tidak begitu yakin bila rupiah akan mampu menguat kembali sebagaimana terlihat dari ditetapkannya asumsi nilai tukar rupiah pada APBN 2016 sebesar Rp 13.900 per USD.

Berbagai kejadian tersebut telah menyebabkan kinerja internal perekonomian Indonesia terganggu. Pertumbuhan ekonomi kita dalam setahun terakhir bergerak ke bawah. Pada kuartal IV-2014, ekonomi kita tumbuh 5,01 persen (year on year, yoy) melambat bila dibanding periode yang sama 2013 sebesar 5,61 persen. Sementara itu, bila dibandingkan dengan kuartal III-2014, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2014 tersebut justru terkontraksi 2,06 persen (quarter to quarter, q-to-q).

Memasuki 2015, kinerja pertumbuhan ekonomi kita makin menurun. Pada kuartal I-2105, ekonomi kita hanya tumbuh 4,72 persen (yoy), melambat dibanding periode yang sama 2014 sebesar 5,14 persen dan mengalami kontraksi sebesar 0,18 persen (q-to-q) bila dibanding kuartal IV-2014. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi tersebut berlanjut ke kuartal II-2015 yang hanya tumbuh 4,67 persen (yoy), lebih rendah dibanding capaian kuartal II-2014 yang tumbuh 5,03 persen dan tumbuh 3,78 persen (q-to-q).

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan mengapa ekonomi kita tidak bisa mengelak dari pengaruh krisis global tersebut. Perekonomian kita telah terintegrasi dengan perekonomian global. Di sisi lain, secara internal, memang banyak hal yang harus dibenahi terkait dengan struktur perekonomian kita.

Pertama, sejak 2011 transaksi berjalan (current account) kita mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak krisis ekonomi 1997/98. Kedua, utang luar negeri (ULN) korporasi yang meningkat secara tajam dan sekitar 80 persen dari ULN korporasi tersebut tidak dilengkapi dengan transaksi lindung nilai (hedging). Sebagai pengingat, tingginya utang luar negeri korporasi inilah yang telah menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi 1997/98.

Ketiga, struktur ekspor kita belum berubah secara fundamental. Ekspor kita masih sangat tergantung pada komoditas (natural resources) sehingga sangat rentan dengan perubahan harga di pasar global. Keempat, struktur industri manufaktur kita rentan akibat masih tingginya komponen impor, baik untuk pengadaan bahan baku maupun alat-alat produksi (barang modal).

Kelima, sisi supply Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan (demand) masyarakat yang tinggi seiring dengan peningkatan jumlah kelas menengah. Akibatnya, kebutuhan masyarakat terpaksa dipenuhi dengan impor.

Keenam, kebutuhan energi kita terus meningkat. Sayangnya, karena penyediaan infrastruktur energi kita tidak memadai, maka pemenuhan energi tersebut terpaksa dipenuhi dengan impor.

Saya yakin, pemerintah sebenarnya telah menyadari berbagai kekurangan tersebut. Sayangnya, kesadaran tersebut tidak diikuti dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Dalam setahun ini, manajemen pengelolaan ekonomi belum berjalan sistematis dan terorganisasikan dengan baik, tidak terlihat adanya penentuan skala prioritas yang tepat dan tidak menunjukkan adanya koordinasi yang baik di antara para pemangku kepentingan: pemerintah, otoritas moneter, dan DPR. Pendekatan penanganan krisis dan pengelolaan ekonomi cenderung sporadis, jangka pendek dan pragmatis, serta tidak disertai dengan koordinasi yang baik, terutama di jajaran internal pemerintah.

Pemerintahan Jokowi-JK juga belum memperlihatkan team work. Koordinasi di antara kementerian belum berjalan baik. Sejumlah menteri terlihat tidak harmonis, seperti terlihat dengan adanya friksi antara Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Mineral dengan Wakil Presiden, Menteri BUMN, Menteri ESDM, serta dengan sejumlah BUMN seperti Pelindo II. Bila kondisi ini berlanjut tentunya dapat menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melemah dan kemampuan leadership Presiden dalam mengelola pemerintahannya juga dipertanyakan.

Pemerintahan Jokowi-JK, juga belum mampu menyakinkan investor asing masuk ke Indonesia. Hal ini terlihat dari melemahnya capital inflow selama setahun terakhir, baik investasi portofolio maupun investasi langsung. Arus modal masuk (capital inflow) yang berasal dari Investasi portofolio pada Semester I-2015 baru mencapai USD 14,5 miliar, turun dibanding capaian semester I-2014 sebesar USD 16,7 miliar. Sementara itu, pada semester I-2015, investasi langsung yang masuk baru mencapai USD 5,9 miliar, masih di bawah capaian periode yang sama 2014 sebesar USD 6,9 miliar.

Saya berpendapat bahwa belum banyak yang bisa dihasilkan oleh pemerintahan Jokowi-JK bagi perekonomian kita. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikejar, terutama dalam memperkuat fondasi perekonomian kita melalui langkah-langkah perbaikan struktural. Mudah-mudahan, memasuki tahun keduanya, kinerja pemerintahan Jokowi-JK menjadi lebih baik, dan juga menemukan momentum yang baik pula.***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement