Senin 05 Oct 2015 13:00 WIB

Warga Sudah Beli Oksigen Ribuan titik asap masih membara di Sumatra dan Kalimantan.

Red: operator
Oksigen
Foto: blogspot
Oksigen

REPUBLIKA.CO.ID,Warga Sudah Beli Oksigen

Ribuan titik asap masih membara di Sumatra dan Kalimantan.

PEKANBARU - Kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti Sumatra dan Kalimantan sejak sebulan lalu belum juga tertangani. Kesehatan warga kian terancam akibat kabut yang terus menguar tersebut.

Di Pekanbaru, Riau, indeks standar pencemaran udara (ISPU) terus menunjukkan angka mengkhawatirkan. Pada Ahad (4/10), konsentrasi partikulat di kota itu sempat mencapai angka 677,64 mikrogram per meter kubik (ugram/m3). 

Dalam skala pencemaran udara itu, ambang batas pencemaran yang berbahaya bagi manusia terletak pada angka 350. Kondisi pencemaran dengan angka berkali-lipat dari ambang batas berbahaya tersebut sudah terjadi di Pekanbaru sebulan belakangan.

Terkait tingkat pencemaran yang berbahaya itu, sejumlah warga Pekanbaru terpaksa membeli tabung oksigen guna merasakan udara segar. "Kami dikasih Allah udara untuk bernapas yang bersih, sekarang kita mesti beli. Terasa sekali gitu, gimana bernapas kalau harus beli (oksigen)," kata salah satu warga Pekanbaru, Herlia Santi, kepada Republika, Ahad (4/10).

Ia menjelaskan, sudah beberapa waktu ini mengidap batuk yang tak kunjung sembuh akibat paparan kabut asap. Belakangan, ia juga mengalami sesak nafas. Herlia akhirnya menyerah dan membeli tabung oksigen portabel, kemarin. "Soalnya saya sudah sesak. Enggak bisa nahan lagi," ujar dia.

Oksigen portabel yang ia beli berukuran 500 cc. Alat yang harganya sekitar Rp 48 ribu itu, dapat digunakan untuk 10-15 kali semprot. Sebagian rekan-rekannya memilih tabung oksigen berukuran tujuh meter kubik yang harganya Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu yang bisa digunakan untuk lima hari. 

Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat, polusi asap di berbagai kabupaten/kota sejak lebih sebulan terakhir telah mengakibatkan 54.135 warga menderita sakit. "Penyakit paling banyak adalah infeksi saluran pernafasan atas dengan jumlah sebanyak 44.960 orang," kata Kepala Dinas Kesehatan Riau Andra Sjafril, kemarin. 

Kondisi serupa terjadi di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pada pukul 10.00 WIT, Ahad (4/10), konsentrasi partikulat di kota itu mencapai angka 1.949,42 ugram/m3. Kendati sempat turun pada siang hari, angka tersebut naik kembali menjadi 1.647,22 pada 19.00 WIT.

Hertiani, warga Petuk Ketimpun, Palangka Raya, juga mengaku terpaksa membeli tabung oksigen. Ia khawatir udara di Palangka Raya membahayakan perkembangan janinnya yang baru berusia enam bulan.

Dia mengatakan, sudah sebulan terakhir tidak keluar rumah dan terpaksa menghirup udara segar dari tabung oksigen yang dibeli dari apotik demi menjaga kesehatan anak yang sedang di kandung. "Kalau bisa, pemerintah menyediakan secara gratis tabung oksigen. Itu paling dibutuhkan masyarakat, khususnya anak-anak dan ibu hamil," kata Hertiani.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengiyakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan belum dapat dipadamkan secara tuntas. Pola titik api (hotpsot), menurut dia, masih fluktuatif. 

Satelit Terra Aqua dari NASA pada Ahad (4/10) mencatat 1.820 titik api, yaitu di Sumatra 1.563 titik, dan di Kalimantan 257 titik. 

Konsentrasi hotspot paling banyak di Sumatra Selatan (Sumsel), persisnya di perkebunan dan hutan tanaman industri di Ogan Komering Ilir (OKI) dan Musi Banyuasin (Muba). Asap dari daerah itu terbawa angin ke arah barat laut-utara sehingga menambah kepekatan asap di Jambi dan Riau, juga ke wilayah Malaysia. 

Ia mengatakan, jarak pandang masih pendek dan menyebabkan penerbangan terganggu. ''Asap di Jambi dan Pekanbaru hanya bisa dihilangkan jika sumber kebakaran di OKI, Sumsel, dipadamkan secepatnya,'' jelas Sutopo.

Pemerintah, menurut dia, terus berupaya memadamkan kebakaran lahan dan hutan. "BNPB mengerahkan tujuh helikopter dan pesawat water bombing, serta satu pesawat Casa hujan buatan di Sumsel,'' jelas dia. Meski begitu, ia mengeluhkan langkanya awan potensial di Sumsel menyebabkan hujan buatan belum optimal. n antara ed: fitriyan zamzami 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement