Jumat 04 Sep 2015 14:00 WIB

Polemik Label Produk GMO

Red:

Amerika Serikat telah lama mengembangkan bioteknologi dalam bidang pertanian, termasuk genetically modified organism (GMO). Melalui Cochran Fellowship-USDA, enam jurnalis Indonesia, termasuk Ferry Kisihandi dari Republika, menyambangi AS untuk melihat lebih dekat penerapan bioteknologi dan perdebatan yang melingkupinya. Berikut bagian keempat dari lima tulisan.

Perdebatan sengit di ruang sidang mereda. Pemungutan suara menyudahi perdebatan itu. Pada 23 Juli, DPR Amerika Serikat menolak kewajiban pemberian label terhadap produk pangan yang berasal dari hasil panen genetically modified organism (GMO).

Sebanyak 275 anggota menolak, sedangkan 150 lainnya mendukung adanya pelabelan. Keputusan ini menjadi kemenangan bagi perusahaan pertanian dan makanan. Sebelumnya, mereka melakukan lobi intens agar DPR menolak pelabelan produk GMO.

Mereka beralasan, label hanya akan menjadi beban biaya tambahan bagi produk yang mereka jual. Sementara, konsumen, kelompok pemerhati kesehatan dan lingkungan, serta pelaku industri makanan organik memandang penting pelabelan ini. Alasan utama mereka adalah transparansi, yang berarti konsumen berhak tahu bahwa produk yang mereka konsumsi berasal dari GMO.

Pelabelan sudah berlaku pada produk pertanian organik di AS. Di toko milik HEB Grocery Store, jaringan ritel ternama AS, di Austin, Texas, misalnya, saat konsumen mencari sayuran organik, terpampang tulisan 'organik' dan label organik melekat pada produk tersebut.

Bentuknya berupa lingkaran dengan tulisan USDA (Departemen Pertanian AS) berwarna hitam di bagian atas dengan latar berwarna putih, sedangkan di bagian bawah tertulis organik berwarna putih dengan latar hitam. Label yang dikeluarkan USDA menandakan produk organik itu telah memenuhi syarat keamanan pangan. Melalui label yang melekat pada produk organik itu, konsumen meyakini keamanan produk yang akan mereka konsumsi.

Ada juga perusahaan yang menyatakan dalam kemasannya bahwa produk mereka bebas GMO. Pada kemasan bagian belakang teh merek Bigelow, misalnya, terdapat keterangan non-GMO. Ini menjelaskan, tanaman teh mereka bukan hasil rekayasa atau modifikasi genetik.

Maskapai American Airlines menyajikan teh ini dalam penerbangan dari Bandara Internasional O'Hare Chicago ke Bandara Reagent, Washington DC, pada 19 Agustus 2015. Gilman Cheese Corporation yang memproduksi White Cheddar berlaku seperti Bigelow.

Pada bagian depan kemasan produknya, Gilman memberikan keterangan non-GMO. Produk ini terdapat pada layanan makan kepada penumpang maskapai United dalam penerbangan dari Bandara Internasional Dulles, Washington, menuju Narita, Jepang, pada 23 Agustus.

Tuntutan adanya pelabelan, meneguhkan hasil survei Pew Research yang dirilis pada 29 Januari 2015. Pew mengungkapkan, sebanyak 57 persen publik AS memandang bahwa produk hasil GMO tak aman dikonsumsi, sedangkan 37 persen menyatakan aman.

ABC News pun menyampaikan hasil surveinya terkait pelabelan ini. Menurut mereka, 93 persen responden menghendaki adanya label pada produk-produk hasil pengembangan GMO sebagai jaminan keamanan pangan.

Melalui konferensi video di Texas A&M University, College Station, Texas, Senin (10/8), Direktur Eksekutif The Advisory Committee on Biotechnology and 21st Century Agriculture Michael Schechtman mengakui, soal label masih menjadi perdebatan di AS. Menurut dia, sebagain konsumen berpendapat, label merupakan persoalan transparansi.

Label memberi tahu konsumen, produk yang mereka konsumsi adalah hasil dari GMO. Apalagi, 90 persen produk pertanian di AS, termasuk jagung dan kedelai, berasal dari GMO.

Sampai saat ini, Pemerintah AS tak mewajibkan pelabelan pada produk-produk hasil GMO. "Namun, kalau ada yang sukarela melakukannya, pemerintah mengizinkan," kata Schetchtman yang berbicara dari Washington DC.

Dengan kondisi seperti sekarang, Schetchman menyebutkan semua berpulang pada konsumen. Merekalah yang menentukan apakah mengambil produk pertanian hasil GMO kemudian mengonsumsinya atau meninggalkannya sama sekali. "Pilihan ada di tangan konsumen," kata Schetchman. Ia menambahkan, selama ini pemerintah bersikap terbuka soal GMO. Dalam prosesnya, semua keputusan dan kebijakan terkait GMO melibatkan partisipasi publik.

Charlestin Orwig, perusahaan public relation yang khusus menangani perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian, mengungkapkan, sebagian besar konsumen memang menaruh perhatian mengenai keamanan produk dari pengembangan GMO. Menurut CEO Charlestin Orwig Mark Gale, kesimpulan itu terungkap dari hasil survei yang mereka lakukan pada 1.000 konsumen di seluruh AS dengan mewawancarai mereka melalui telepon. Survei berlangsung pada Januari 2014.

Dalam pandangan Gale, perhatian konsumen pada keamanan pangan membuat mereka menuntut agar label disematkan pada produk-produk pertanian hasil GMO. Di sisi lain, industri makanan merasa keberatan.

Alasannya, mereka yang menanggung beban biaya dari proses pelabelan itu sehingga harga produk mereka bakal lebih mahal. Perbedaan pandangan ini, menurut prediksi Gale, bisa berlangsung dalam waktu lama.

Hal yang sama pernah terjadi pada proses pelabelan terhadap produk organik. "Prosesnya akan lama, seperti label pada produk organik yang akhirnya berlaku pada 2009," kata Gale. Ia menambahkan, ada sejumlah negara bagian yang berencana pula menerapkan pelabelan.

Kondisi ini ia anggap juga menjadi perhatian karena bila kewajiban pelabelan dilakukan, akan ada standar berbeda dalam proses pelabelan di setiap negara bagian. Karena itu, ia menegaskan, butuh waktu lama jika memang akhirnya label produk GMO berlaku.

Sementara, konsumen seperti Holli Leggette lebih menekankan edukasi terhadap konsumen mengenai GMO yang merupakan hasil dari bioteknologi. Misalnya, sekarang ini sudah secara luas GMO digunakan di lahan pertanian di seluruh AS.

Benih-benih jagung, kedelai, dan sorgum yang merupakan GMO memiliki ketahanan terhadap hama dan hasil panen lebih banyak dibandingkan benih biasa. Leggette yakin pada masa mendatang GMO dapat diandalkan untuk mengatasi kebutuhan pangan di dunia.

Pada 2050, populasi dunia mencapai 9 miliar manusia dan ini membutuhkan produk pertanian GMO untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka karena produktivitas GMO lebih tinggi. Secara ilmiah, kata Leggette, asisten profesor jurnalisme dan komunikasi pertanian di Texas A&M University, GMO pun telah dinyatakan aman.

Namun, saat ditanya soal label pada produk hasil GMO juga bisa menjadi alat edukasi dalam artian label menunjukkan sebuah produk merupakan hasil GMO dan mendorong konsumen mencari tahu informasi lebih banyak soal GMO, Leggette berdalih, "Biasanya, saat berbelanja konsumen hanya mengambil barang yang diinginkan tanpa melihat label pada barang tersebut."

Managing Director Food and Agriculture Biotechnology Industry Organization Matthew O'Mara menganggap tak perlu ada label. Selama ini, produk GMO telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Bagi dia, label hanya soal pemasaran.

Perusahaan yang menyematkan label pada kemasan produknya, mungkin saja bisa menarik perhatian konsumen bahwa mereka menjual produk non-GMO yang dianggap sesuai keinginan konsumen.  ed: Nur Hasan Murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement