Kamis 27 Aug 2015 14:00 WIB

Mereka yang Sibuk Mengurus Pendaftaran (Bagian 3)

Red:

Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) di Depok tahun ajaran 2015-2016 menimbulkan persoalan berkepanjangan. Sekolah filial atau kelas jauh yang seharusnya menjadi program positif, malah diwarnai aksi pungutan liar. Wartawan Republika, Andi Mohammad Ikhbal, melakukan investigasi untuk mengungkap kacaunya persiapan sekolah filial di kota  tersebut.

Siang itu, ratusan remaja dengan pakaian olahraga berkumpul di sebuah lapangan. Mereka baris melebar. Satu per satu yang baru datang, langsung mengikuti urutan ke belakang. Semakin lama, semakin panjang. Lahan sekolahan itu hampir penuh. Padat terisi rombongan 'anak baru gede'.

"Selamat datang siswa-siswi SMAN 3 filial Depok," kata Kepala Seksi SMA, Dinas Pendidikan Kota Depok, Diah Haerani, Selasa (18/8), di depan barisan murid-murid tersebut. Mereka menyambut dengan tepuk tangan meriah. Mereka seolah lupa kalau sekolah reguler sudah aktif tiga pekan lalu.

Sebagian tak merasa sudah ketinggalan materi pelajaran. Asalkan bisa masuk sekolah negeri, buat mereka sudah cukup membahagiakan. Sisanya, mungkin sedih karena baru resmi mendapat sekolah sekarang ini. Namun, mereka tetap bertepuk tangan tertular keceriaan.

Salah satunya, Rangga (bukan nama sebanarnya), dia sempat ragu dengan penyelenggaraan kelas jauh SMAN 3 ini. Sebab, sejak masa pendaftaran pada 6-8 Agustus, ia tak langsung duduk di bangku kelas mendengarkan guru atau sekadar mengerjakan tugas. Justru, ia harus melalui prosedur tes masuk.

"Pekan ini juga belum aktif belajar. Katanya baru mulai Senin depan," kata dia.

Rangga datang ke SMA ini tak bersama orang tuanya. Ia naik motor berboncengan dengan teman yang juga tercatat sebagai siswa filial SMAN 3 Depok. Namun, saat akan pulang, Rangga menghampiri sekumpulan pria di parkiran motor. Lalu, ia salaman, mencium tangan salah satu dari mereka.

Kumpulan orang-orang ini memang selalu terlihat setiap kali ada SMAN 3 filial mengadakan kegiatan siswa di SD Karakter Bangsa, lokasi kelas jauhnya. Gelagat dan gaya mereka terlihat sama. Menggunakan jaket bahan. Sebagian lagi mengenakan rompi bertuliskan wartawan.

Namun, mereka bukanlah awak media pada umumnya. Nama media mereka seperti asing terdengar. Saat Republika mewawancarai Kepala Sekolah SMAN 2, Umar, seorang oknum wartawan ini ikut 'nimbrung'. Ia memotong sesi tanya jawab itu dengan nada lantang.

"Pokoknya sekolah filial ini bagus Pak, bisa memfasilitasi anak-anak yang belum bersekolah," kata dia. Pernyataan itu hanya dibalas senyuman oleh sang kepsek, Umar.

Umar terlihat memiliki kedekatan dengan sejumlah oknum tersebut. Saat para siswa sibuk melihat hasil penempatan jurusan, mereka berkumpul dengan kepsek sekaligus ketua kelompok kerja kepala SMA (K3SMA ) Kota Depok. Suasana cair. Akrab.

Umar sendiri sempat menepuk pundak wartawan Republika sambil berpesan, "Kalau ada perlu apa-apa, kabari saja," ujar dia. Entah apa maksud dari pernyataan itu.

Beberapa orang tua murid mendatangi pria berpakaian batik dinas itu untuk bertanya-tanya terkait sekolah filial ini. Awalnya, para wali murid ini menyatakan keraguan mereka atas sekolah kelas jauh SMAN 3 ini. Mereka berharap ada penjelasan langsung dari Umar terkait bagaimana sistem belajar-mengajar, lalu guru di kelas, dan bagaimana ijazahnya nanti. Apakah sekolah ini benar-benar ada?

"Ini kan di bawah naungan SMAN 3, jadi ijazah nanti dari SMAN 3. Terus, guru juga sudah kami siapkan. Belajarnya di sekolah ini kok," jawab Umar tenang.

Tiba-tiba saja, seorang bapak berkacamata langsung mendekati Umar. "Saya sebenarnya mau anak saya masuk SMAN 2. Bisa tolong dibantu, Pak?" tanya dia. Umar hanya ketawa cengengesan.

"Ini kan sudah masuk di SMAN 3. Sama saja kok," jawab dia menolak.

Laki-laki itu berusaha melobi Umar. Ia juga tak masalah kalau proses transfer anaknya nanti pada semester dua. Ia sangat berharap putranya mendapat ijazah SMAN 2, bukan SMAN 3. Apalagi kelas jauh.

Berbeda halnya dengan Kepala Sekolah SMAN 3 yang baru, Zarni Fatma. Ia terlihat sedikit canggung saat berkomunikasi dengan sejumlah orang di situ. Wanita berjilbab ini justru cenderung menjauhi kerumuman atau untuk sekadar bertatap muka dan tegur sapa.

Pada saat pertemuan itu, hanya Zarni dan Umar yang hadir dari perwakilan sekolah. Sedangkan Kepala Sekolah SMAN 8, Sahadi, tak terlihat. Padahal, dalam zona SMAN 3 filial merupakan gabungan dari tiga sekolah, yakni, SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 8

Sejumlah orang masih sabar berdiam diri di halaman parkir sekolah. Asap mengepul dari mulut mereka. Puluhan batang rokok bekas bercecer di sana. Padahal, terdapat tulisan "kawasan bebas asap rokok" di area itu. Mereka masih menunggu rapat guru dan dinas rampung.

"Bu Diah," panggil salah satu dari mereka saat Diah keluar dari ruangan.

Para pria-pria dengan jaket dan rompi ini langsung mendatangi pejabat dinas. Pun, Diah mendekati mereka. Ada percakapan cukup serius antara mereka. Tak lama setelah itu, mereka langsung mengadang Kepsek SMAN 3, Zarni. Terakhir kembali merapat ke Umar, kepsek SMAN 2.

"Pak Umar, sebenarnya Kepala Sekolah SMAN 3 filial ini siapa sih?" tanya seorang oknum yang mengenakan jaket LSM. "Bu Zarni lah," jawab Umar. "Kok dia ditanya malah tak tahu apa-apa?" tanya balik oknum LSM ini. Umar hanya tersenyum pendek, sebelum akhirnya berpamitan pulang.

Republika sempat berpura-pura menjadi perwakilan orang tua murid, bertanya kepada seorang oknum yang mengatasnamakan wartawan. "Masih sempat masukin saudara ke sekolah ini tidak, bagaimana prosedurnya, lewat siapa minta tolongnya?" kata Republika merentet pertanyaan.

"Saya tidak tahu Mas, jangan tanya saya," jawab dia singkat sambil menghindar.

Namun, menurut sumber Republika dari Dinas Pendidkan Kota Depok yang tak ingin diketahui identitasnya, mereka itu adalah para calo yang meminta pungli kepada orang tua siswa. Adanya sekolah filial ini sendiri sebetulnya upaya untuk menyelamatkan mereka dari orang tua murid.

"Dinas ini sebenarnya menyelamatkan mereka. Ini semua orang-orang LSM dan oknum wartawan. Kalau tidak bikin sekolah filial, mereka bisa habis sama orang tua murid," ujar dia.

Ke manakah dana yang disetor orang tua murid mengalir, apakah juga sampai ke oknum di dinas pendidikan? Sumber ini hanya terdiam. Ia langsung mengangkat matanya ke atas. Tubuhnya seketika mematung. Tak ada jawaban langsung dari dia. "Kalau dibilang dosa, ya dosa sih cara seperti ini, tapi saya tak pernah terima 'sogokan' seperti itu, Mas," ungkap dia.

Lalu, bagaimanakah nasib ratusan anak-anak itu di sekolah barunya? Tulisan berikutnya akan membahas masalah itu. ed: subroto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement