Rabu 26 Aug 2015 14:00 WIB

Jutaan Rupiah Melayang Demi SMA Negeri (Bagian 2)

Red:

Pendaftaran peserta didik baru (PPDB) di Depok tahun ajaran 2015-2016 menimbulkan persoalan berkepanjangan. Sekolah filial atau kelas jauh yang seharusnya menjadi program positif malah diwarnai aksi pungutan liar. Wartawan Republika, Andi Mohammad Ikhbal, melakukan investigasi untuk mengungkap kacaunya persiapan sekolah filial di kota tersebut.

Pria kurus berkemeja putih kotak-kotak hitam itu duduk di atas jok. Motornya ia parkir di pinggir jalan menghadap bangunan bertembok merah. Tepat di depan gerbang masuk, Ridho (bukan nama sebenarnya) memijat-mijat dahi. Kepala bapak paruh baya itu tertunduk. Matanya terpejam.

"Saya harus bayar Rp 7 juta supaya anak saya masuk SMA negeri di Depok. Ini baru DP Rp 4 juta," kata dia sambil mengangkat wajah, memelas.

Tak lama setelah itu, raut Ridho berubah. Ia menampakkan senyum lebar. Tangannya terangkat. Melambai-lambai ke arah bangunan merah itu. Seorang bocah kurus mengenakan seragam putih biru di balik pagar besi membalas lambaian tangan Ridho. Ia melangkah pelan ke arah Ridho.

"Itu anak saya. Dia pintar kok. Nilai ujiannya kemarin 34,85, tapi tidak lolos PPDB online SMAN 2 Depok," ujar dia ketika sedang menyambut sang anak dari jauh, Reno (bukan nama sebenarnya).

Saat pengumuman hasil seleksi, Ridho bersama Reno mengecek di internet. Ia nyaris tak berkedip mencari nama Reno. Berulang-ulang ia baca satu per satu dengan teliti daftar tersebut. Sayang, nama anaknya tak tercantum sebagai siswa lulus PPDB online.

Bukannya kecewa, Ridho malah heran. Sebab, ia mendapati sebuah nama dengan nilai ujian akhir di bawah rata-rata, sekitar 30 koma sekian, tetapi berhasil lolos masuk SMAN 2 Depok. Mendadak, Ridho melihat senyuman Reno pudar seketika. Wajah sang anak yang selalu ceria itu langsung murung. Hilang semangat.

Ridho mengaku jauh lebih sakit daripada Reno. Enggan melihat sang anak kecewa lebih jauh, ia langsung mendatangi sekolah negeri favorit itu. Bapak berkulit gelap ini hendak menemui komite sekolah. "Tapi yang ada, saya di lempar-lempar. Tidak jelas di mana dan siapa mereka itu," kata dia.

Ia pulang dengan penuh kepura-puraan. Ia berkata kepada Reno kalau masalah nilainya tengah diatasi sekolah. Ia berbohong karena usahanya sia-sia. Dari sana, Ridho bertekad untuk mencari orang yang dianggap mampu memberikan akses masuk SMA negeri untuk putranya itu.

Dari pembicaraan mulut ke mulut, Ridho berhasil menemui seorang oknum LSM. Tepatnya mafia pendidikan atau calo. Ia meyakinkan Ridho bahwa Reno akan masuk SMAN 2 tetapi butuh dana tambahan sebesar Rp 7 juta. Keberatan dengan jumlah tersebut, Ridho menyanggupi Rp 5 juta. "Saya ini kerja serabutan. Besar banget biayanya, tapi saya akan usahain demi sekolah anak saya," ungkap dia dengan nada berat.

Calo ini katanya punya koneksi dengan sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Depok. Sebab, beberapa kali ia pernah dimintai uang untuk keperluan berkas administrasi. Habis sudah uang Ridho sebesar Rp 4 juta untuk oknum LSM tak jelas itu.

Kekecewaan memuncak pada 27 Juli kemarin. Ia pikir, dengan jumlah uang yang masuk itu, sang anak sudah tercatat sebagai siswa SMAN 2 Depok. Namun, pada hari permulaan sekolah tahun ajaran baru, ia tak menemukan kejelasan. Ridho mendatangi SMAN 2 Depok bersama Reno yang sudah berseragam putih abu-abu, tetapi ditolak.

"Saya bilang kalau anak saya sudah terdaftar. Pihak sekolah minta saya cek berkas punya Reno, tapi pas saya cari, berkasnya tidak ada," tambah dia. Setelah itu, oknum LSM tersebut juga mendadak tak bisa dihubungi. "Aku masuk sekolah swasta ajalah, Pak," kata Reno tiba-tiba saat itu ke Ridho.

Pria asal Jakarta itu tak juga menyerah. Selang beberapa hari, ia menemui seorang yang kabarnya dapat membantu memasukkan siswa ke SMAN 3 Depok. Orang itu adalah mantan akuntan sekolah, akrab disebut "Pak Haji". Ia tak tahu siapa nama sebenarnya oknum ini.

Pak Haji memberi tahu kalau SMAN 3 Depok membuka kelas jauh di SD Karakter Bangsa. Tetapi, ia kembali mengerutkan kening karena oknum staf sekolah ini ternyata juga membuka harga atas jasanya. "Dia tanya, berapa biaya saya berani bayar," ujar dia.

Baru kali ini Ridho akhirnya putus asa. Tak mungkin ia keluarkan lagi uang agar sang anak bisa bersekolah. Sudah habis tabungan dan menumpuk utang demi membayar Rp 4 juta ke calo, oknum LSM tersebut. Lalu, harus ke mana lagi orang kecil seperti Ridho mencari dana tambahan/

Untungnya, Rabu (12/8), sang oknum LSM itu mengabari ke Ridho. Bukannya di SMAN 2, dia justru mengarahkan Reno ke SMAN 3. Sama seperti  kata "Pak Haji" kemarin, sekolah tersebut membuka kelas tambahan. Syaratnya, membuat surat permohonan ke SMA negeri di Jalan Raden Saleh itu.

Sekarang ia mendaftarkan Reno ke SMAN 3 filial atau kelas jauh. Pada Kamis (13/8), pihak sekolah baru menyelenggarakan placement test. Kira-kira mana jurusan tepat untuk calon muridnya tersebut, IPA atau IPS. Ini adalah tahapan kedua dari prosedur masuk sekolah filial.

Ridho baru mengikutsertakan Reno pada tes ini. Ia tak hadir dalam tahap pertama, yakni psikotes. Namun, pihak sekolah tetap mencatat Reno sebagai calon murid meski melewatkan satu tahapan sebelumnya.

Berbeda dengan Ridho, orang tua calon murid SMAN 3 filial, Ani (bukan nama sebenarnya), justru menarik putrinya, Risa (bukan nama sebenarnya), dari sekolah tersebut. Ia merasa tak yakin. Wanita yang profesinya sebagai notaris ini kini mendaftarkan anaknya ke Sekolah Islam Terpadu Depok.

"Soalnya saya masukkan anak saya ke SMAN 2, kok malah ke SMAN 3. Sudah gitu, kelas jauh. Bagaimana nanti gurunya, pelajarannya, dan ijazah anak saya?" ungkap Ani.

Ani memang tak mengikutkan Risa dalam PPDB online karena alasan nilai ujian akhir sang anak dianggap rendah. Sedangkan, ada seorang tetangga, mantan wartawan, diakui mampu membuka "jalur belakang" masuk SMAN 2. Dengan syarat, Ani harus menyiapkan uang Rp 15 juta, pembayaran tunai.

Ibu muda ini kemudian melunasi uang "sogokan" tersebut. Harapannya, sang anak dapat masuk ke sekolah regular, masuk per Senin (27/7). Namun, saat hari yang ditunggu tiba, ia tak mendapat kejelasan, malah diminta datang ke SD Karakter Bangsa, Sabtu (8/8), untuk pendaftaran sekolah.

"Pas pengumuman, ternyata orang-orang di sana malah bilang kalau sekolah ini akan jadi SMAN 14. Sementara ini menjadi SMAN 3 filial," ujar dia.

Ani sempat geram kepada oknum mantan wartawan itu. Sebab, bukan sekolah kelas jauh yang ia inginkan untuk Risa. Ia sengaja tak buru-buru mendaftarkan anaknya di swasta karena ada harapan untuk masuk di SMAN 2, tetapi justru diarahkan ke SMAN 3, terlebih kelas filial.

Akhirnya, ia mengancam akan melaporkan kelakukan oknum ini ke komite sekolah provinsi bila tak mengembalikan uangnya yang Rp 15 juta kemarin. Wanita ini merasa tertipu dengan aksi mafia pendidikan tersebut karena masuk SMAN 3 filial itu tak perlu biaya sebesar itu.

"Sekarang masalah sudah selesai kok. Dia sudah kembalikan Rp 10 juta. Sisa Rp 5 juta lagi nanti menyusul," ujar Ani.

Ia meminta Republika tak mempersoalkan kasus terkait anaknya ini. Ani juga enggan menyebutkan siapa orang yang telah menawarkan jasa calo tersebut. Ani masih menyimpan rasa toleransi ke orang tersebut lantaran mantan wartawan ini sudah tak lagi memiliki penghasilan.

"Saya sudah maafkanlah. Kasian juga orang ini. Mungkin cuma itu cara dia cari makan buat hidup," tambah Ani menutup pembicaraan.

Sumber Republika yang tak ingin disebut identitasnya mengatakan, para mafia pendidikan ini sebagian besar diduga adalah wartawan dan LSM. Mereka diduga berhubungan dengan dinas pendidikan untuk memperoleh jatah kursi di sekolah negeri. Makanya, mereka menarik pungutan liar (pungli).

Hanya, untuk kali ini, mereka membawa kuota calon murid dalam jumlah banyak sehingga tak tertampung. Kelebihan kuota inilah yang diduga menjadi pemicu dibukanya kelas filial.

"Makanya SMAN 3 filial ini seperti tidak ada persiapannya. Kayak mendadak dibentuk," ujar dia. Lalu, bagaimana pengadaan sekolah filial itu? Tulisan selanjutnya akan membahas hal tersebut. ed : subroto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement